Mohon tunggu...
Alma Tiara
Alma Tiara Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

ia tertarik untuk belajar menulis sastra dengan merangkai kata dan diksi sebagai luapan emosi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mei Pahit

27 Mei 2023   08:12 Diperbarui: 27 Mei 2023   08:13 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Indahnya kalah itu. Burung-burung bernyanyi ria menyambut datangnya pagi. Angin bertiup kesana kemari mengiringi tiap langkah kaki menelusuri gemuruh ombak yang menyisir bibir pantai. Disuguhi terpaan angin sejuk yang membelai diri. Indahnya hari ini. Hiasan terindah dengan segala penyempurnaannya. Menampilkan lukisan maha indah. Yang tergores dari nafas sang alam. Kuhadapkan wajah tanpa kedipan mata pada arunika. Tiap langkah kaki itu momen indah bagiku yang tak pernah terlewatkan oleh kamera yang kugengam. Sampai momen yang tersimpan dikamera dua bulan lalu jadi korban. Dua bulan lalu.

Dua bulan lalu
Aku bergegas ke terminal bus. Dan tak lupa membawa kamera kesayanganku. Dengan kecepatan cukup, akhirnya standar sepeda motorku tiba di halaman terminal. Aku melangkahkan kakiku persis ke arah bus. Ya.. itu bus yang akan di naiki oleh Heru. Suara hiruk pikuk dan diiringi sinar sore aku melihat seorang wanita yang tingginya tak jauh berbeda dengan ku sedang berdiri di depan pintu bus. Dan aku memilih duduk di kursi terminal yang posisinya tepat di hadapan wanita itu. Ternyata aku sampai lebih dulu dari Heru. Langsung ku jepret keadaan disana sebagai moment aku menunggu Heru.

"D-di-dini?" suara seorang wanita dengan ragu-ragu memanggil namaku saat aku usai mengambil beberapa gambar.

wanita itu yang ku lihat dari kejauhan tadi. Eh.. siapa, ya? Mukanya seperti pernah kulihat, tapi aku tidak bisa mengingat namanya.

"Benar Dini, kan? Teman Heru?" katanya lagi.
"Iya. Kamu..."

Aku masih berusaha mengingat namanya sebelum akhirnya dia menyebut namanya sendiri." Vera."

"oh...iya, Vera teman dekat Heru, ya?" kataku semringah dan mencoba mengingat cerita Heru tentang kedekatan pertemanan mereka berdua kala itu.

"sendiri?" tanyanya.

"Iya" responku
"Oh, kamu mau berangkat? Atau menjemput orang atau ngapain?"
 "Aku mau melihat keberangkatan Heru di terminal ini" jawabku
"Wah, sama dong. Aku juga sedang menunggu Heru sore ini. Semalam dia WhatsApp aku dan bilang kalau dia akan berangkat pukul 15.35 sore ini. Tambahnya menjelaskan dengan sejelas mungkin

Ternyata wanita ini lebih tahu tentang keberangkatan Heru dibandingkan aku.

"ketemu dengan Heru di mana, Din? Tanyanya lagi.
 
ini sesi interogasi atau apa, sih?

"di kampus. Aku pernah satu kegiatan dengan dia," jawabku seramah mungkin


"oh begitu" responya
"kalau kamu teman lama Heru, ya?" pertanyaan yang sia-sia yang sebenarnya aku tahu jawabannya. Kan Heru cerita kalau mereka sudah berteman lamanya.

"Ya... bisa dibilang cukup lama. Hmmm... Desember 2015 kami berkenalan terus dekat, dan 11 Mei 2016 dinyatakan perasaannya kamipun menjalin hubungan pacaran sampai saat ini. Jawabnya sambil memutar-mutar bola matanya, berusaha mengingat dan ditutup dengan melontarkan senyumannya.
"Mei 2016? Kamu yakin"
"Ya, aku takkan pernah lupa moment special itu" responya.

Siapa yang harus ku percaya. Heru atau Vera? Ada apa ini? Aku semakin binggung. Ternyata Heru....

Heru tiba dan menyambut aku dan Vera dengan  baik. Ada sedikit harapan agar aku bisa membalasnya dengan baik pula. Lantas hal itu tak terjadi. Ah jantung ini! Tak bisa kutahankan kalau perasaan ini sangat campur aduk. Kuakui kalau saat ini aku begitu bahagia bertemu dengan pria yang bisa memiliki hatiku. Tapi juga sedih, saat ini aku berada di posisi serba salah. Bertahan dengan rasa sakit atau melepas walau sulit.

Arunika perlahan pergi meninggalkanku dan mentari terik datang menyapa. Heru bukan lagi menjadi pilihan namun jalan yang memang harus aku

 tinggalkan. Bagiku kau tetap menjadi alasan, agar aku bisa tetap  bersabar dan bertahan untuk mengejar pria yang lebih menghargai perasaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun