ALLYSSA NADA ARYATI/191241061
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS AIRLANGGA
Jauh sebelum kita mengenal pengobatan modern (medis) seperti di masa sekarang, masyarakat Indonesia melakukan pengobatan dengan cara-cara tradisional. Pengobatan tradisional sudah menjadi bagian dari sejarah hidup masyarakat Indonesia yang tak terpisakan dan secara terus menerus diwariskan dari masa nenek moyang kita hingga saat ini. Setiap daerah di Indonesia memiliki metode khasnya dalam mengobati penyakit tertentu melalui pengobatan tradisional. Beberapa contoh dari pengobatan tradisional di Indonesia yang paling terkenal adalah jamu, bekam, kerokan, dan pijat urut.
Jamu merupakan ramuan tradisional yang terbuat dari tanaman herbal seperti daun sirih, jahe, kencur, kunyit, temulawak, dan berbagai tanaman obat lainnya yang dipercaya dapat meberikan khasiat pada kesehatan tubuh. Jamu sudah dikenal masyarakat Indonesia sejak berabad-abad lalu. Meskipun sudah berlalu ratusan tahun, jamu masih menjadi andalan sebagian masyarakat hingga saat ini, baik itu dalam mengobati penyakit maupun untuk sekadar meningkatkan kondisi tubuh agar tidak mudah terkena penyakit.
Meskipun jamu telah menjadi andalan kita selama beratus-ratus tahun serta terbuat dari bahan-bahan yang alami, bukan berarti jamu tidak memilki efek samping yang dapat merugikan kesehatan. Tidak hanya efek samping jangka pendek, tetapi jamu juga dapat menimbulkan efek samping jangka panjang, sebagai contoh jamu dapat menyebabkan gangguan liver jika dikonsumsi terlalu banyak. Banyak dari masyarakat yang merasa skeptis akan keefektivitasan jamu yang akan mereka konsumsi. Pembuatan jamu yang belum sepenuhnya teruji secara ilmiah dan tidak dilakukan oleh tenaga yang bersertifikasi menjadi salah satu alasan mengapa masyarakat masih merasa ragu menjadikan jamu sebagai pengobatan utama.
Selain itu, berita negatif tentang jamu yang bertebaran di media sosial semakin memperburuk citra jamu di masyarakat. Berita seperti efek samping negatif dari jamu, penarikan produk, atau klaim bahwa produk jamu yang ditawarkan mengandung bahan kimia yang berbahaya memperkuat skeptisme masyarakat terhadap jamu. Hal-hal tersebut menjadikan masyarakat lebih percaya kepada pengobatan modern yang telah teruji klinis.
Pemerintah sendiri, setelah mempertimbangkan pendapat para ahli, tidak menyarankan penggunaan jamu sebagai sarana pengobatan. Penggunaan jamu sebagai sarana pengobatan hanya diperbolehkan jika sudah melalui pengawasan ketat dalam proses produksinya. Terlebih, produsen jamu pada jaman sekarang banyak ditemukan dengan sengaja menambahkan bahan kimia obat (BKO) yang diberikan dengan dosis asal-asala serta tanpa pengawasan tenaga professional.
Data hasil Riset Kesehatan Dasar Tahun 2010 menunjukkan bahwa penggunaan jamu oleh masyarakat Indonesia lebih dari 50%. Karena itu, sangat tidak mungkin untuk menyetop masyarakat menggunakan jamu sebagai obat yang sudah sejak lama mereka andalkan. Meskipun demikian, pihak dokter khususnya dokter spesialis masih tidak mau menerima jamu sebagai pengobatan dengan alasan jamu belum teruji klinis. Hasilnya, sebagai jalan tengah, Kementerian Kesehatan melalui Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan menjalankan program Saintifikasi Jamu (SJ) berdasarkan Peraturan Kementerian Kesehatan RI No.003/PerMenKes/I/2010 untuk membuktikan khasiat jamu dengan metode penelitian berbasis pelayanan. Hadirnya pengawasan tenaga profesional diharapkan dapat mewujudkan standarisasi dalam pembuatan jamu sebagai obat yang sudah terbukti secara ilmiah.
KATA KUNCI: Jamu, Klinis, Obat, Teruji.
DAFTAR PUSTAKA
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2010. Riset Kesehatan Dasar 2010. https://repository.badankebijakan.kemkes.go.id/id/eprint/4417/1/LAPORAN%20NASIONAL%20RISKESDAS%20TAHUN%202010.pdf [online]. (diakses tanggal 20 September 2024).
Purwaningsih, E.H., 2013. Jamu, obat tradisional asli Indonesia: pasang surut pemanfaatannya di Indonesia. EJournal Kedokteran Indonesia, 1(2), pp.85-89.
Woerdenbag, H.J. and Kayser, O., 2014. Jamu: Indonesian traditional herbal medicine towards rational phytopharmacological use. Journal of herbal medicine, 4(2), pp.51-73.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H