Mustofa Bisri, seorang ulama besar yang juga dikenal sebagai penyair dengan karya-karya puisi yang tidak kalah besarnya, menerbitkan antologi puisi yang bermuatan nilai-nilai kehidupan. Puisi karya Mustofa Basri ini lahir dari kata hati, suara nurani, tetapi juga tetap ada keindahan didalamnya.
Puisi merupakan ragam sastra dengan pengaplikasian Bahasa yang terikat oleh mantra, irama, penyusun larik, bait, atau rima.
Aspek religius banyak mendominasi makna dan suasana puisi karya Mustofa Bisri. Pemahaman dan penerapan nilai keagamaan ini yang kemudian melahirkan nilai-nilai luhur kehidupan.
Puisi karya Gus Mus ini sering kali melontarkan kritik-kritik pedas terhadap pemerintah akibat praktik ketidakadilan yang akhirnya menimbulkan persoalan di kalangan masyarakat bawah. Maka dari itu, Gus Mus kerap menjadikan puisi sebagai menara pikiran dalam membentuk citra dan stigma. Termasuk juga anti korupsi melalui pembangunan citra dan stigma negative pada korupsi dan pelakunya.
Puisi berjudul ”Berapa Lama” yang diterbitkan dalam buku “Aku Manusia, Kumpulan Puisi” ini terbit pada tahun 2016. Beberapa baitnya berisi kritik-kritik atas kegagalan pemerintah dalam menegakan keadilan.
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia merupakan prinsip utama yang harus dijalankan bagi para pemimpin bangsa ini. Keadilan akan terwujud jika pemimpinnya tidak hanya memikirkan kepentingan diri dan golongannya. Sistem pemerintahan yang tidak adil akan menimbulkan kesenjangan sosial yang semakin luas. Seperti pada penggalan puisi berikut
Banyak yang tinggal di gedung beratap beton
Menimbun rongsokan berton-ton
Banyak yang tinggal di emper-emper sempit dipeluk langit
Menjumputi remah-remah hidup yang pahit
(Bisri,2016,hlm39)
Puisi diatas merupakan kritik terhadap pemerintah atas kegagalannya dalam menjalankan prinsip keadilan sosial. Bait menimbun rongsokan berton-ton ini merupakan refleksi perilaku kehidupan masyarakat Indonesia yang hidup dengan kemewahan dan bergelimang harta. Kondisi inilah yang memicu lahirnya korupsi.
Jika direnungkan, kurang apa hidup para pemimpin bangsa ini sampai mereka masih bisa korupsi jika bukan untuk memenuhi gaya hidup yang tinggi. Dalam puisi diatas digambarkan sebagai rongsokan. Padahal, disamping mereka masih banyak orang-orang yang hidup menderita, susah untuk makan bahkan tinggal di kolong jembatan.
Nafsu berkuasa dan menimbun harta merupakan faktor utama timbulnya masalah korupsi. Tidak ada lagi kata ikhlas dalam diri seorang koruptor. Semua yang dilakukan dan dikorbankan merupakan upaya untuk mendapatkan imbal balik yang lebih besar.
Maka dari itu, hal ini memberikan pelajaran yang besar untuk memiliki rasa kepedulian sosial. Dalam menjalankan nilai-nilai kehidupan seseorang harus memiliki modal kepedulian dan kepekaan sosial yang besar, apalagi ketika kita berada di posisi sebagai pengambil keputusan dan kebijakan. Kebiasaan korup yang dijalankan pemerintah ini menimbulkan banyak kerusakan yang amat parah bagi bangsa. Hal ini menjadi kesadaran bersama sehingga kemudian dijadikan alasan untuk mengubah kebiasaan untuk memperbaiki perilaku dan tatanan nilai yang dianut.
Sebagai manusia kita harus memiliki prinsip, jika kita sebagai manusia saja tidak berprinsip maka akan membuka peluang lahirnya perilaku korup pada sebagian besar orang Indonesia. Orang yang tidak mampu menjadi dirinya sendiri memiliki kecenderungan mudah tergoda dengan apa yang dimiliki oleh orang lain. Bahkan, orang rela melakukan apapun hanya untuk bisa memiliki apa yang dimiliki orang lain, termasuk dengan mencuri atau korupsi.
Memikirkan dan mempertimbangkan adalah pelajaran yang harus ditanamkan dalam diri. Kerusakan yang sudah ditimbulkan oleh keserakahan, keangkuhan, kebodohan, dan ketamakan harus menjadi bahan renungan untuk memperbaiki diri.
Jadi, untuk apa sebenarnya mengejar kekuasaan, menumpuk kekayaan, dan menghalalkan segala cara jika pada akhirnya hanya akan berujung pada kerusakan dan kehancuran.
Puisi ini mengingatkan kita untuk senantiasa memiliki kesadaran tentang keterbatasan sebagai manusia. Tidak mungkin semua keinginan manusia dapat diwujudkan jika tidak atas ridha-Nya. Maka, menghalalkan segala cara untuk mewujudkan keinginan, termasuk didalamnya korupsi dapat diredam dengan cara memikirkan dan mempertimbangkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H