Mohon tunggu...
Allyne Hutajulu
Allyne Hutajulu Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Perempuan

Pelajar Sekolah

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hitam Putih Pandemi

20 Agustus 2021   12:24 Diperbarui: 20 Agustus 2021   12:41 287
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi Pribadi

Takdir tak bisa diubah, tapi langkah hidup tak boleh pasrah. Kehidupan yang bercerita tentang hitam dan putih, baik atau buruk, berusaha atau menyerah sama halnya dengan pandemi yang sedang melanda dunia saat ini. Pandemi Covid-19 menuntut orang untuk tetap di rumah saja demi memutus rantai penyebaran virus. 

Bercermin dari proses metamorfosis ulat menjadi kupu-kupu, ada arti kehidupan yang begitu dalam yang bisa kita petik dari pandemi ini. Saat ulat menjadi kepompong, ada rasa tidak nyaman, tidak bisa bebas dan merasa terbelenggu. Sama seperti kita saat ini, harus bekerja dari rumah, belajar dari rumah, beribadah dari rumah demi untuk menghindari penularan virus Covid-19 adalah proses yang sama terjadi saat ulat menjadi kepompong. Kita semua terpaku di rumah seperti kepompong.


Virus Covid-19 menyadarkan kita tentang bagaimana sebuah virus kecil yang hanya berukuran 150 nano bisa mengalahkan 7 milyar manusia yang menempati segenap penjuru bumi dengan luas ratusan juta hektar. Keganasan Covid-19 telah menebar teror ke seluruh pelosok bumi, memporak-porandakan perekonomian dunia, dan mengubah gaya hidup manusia. Melansir dari Kompas.com, kerugian ekonomi tahun 2020 akibat pandemi Covid-19 mencapai Rp 1.356 triliun.


Badai virus yang menerjang dan mewabah sebagai pandemi Covid-19, harus kita lihat sebagai realita kehidupan. Kita sebagai generasi muda harus mampu melihat pandemi Covid-19 sebagai momentum untuk mengubah cara pandang kita terhadap pandemi yang terjadi. Segala sesuatu memiliki sisi gelap dan terang, begitu pula pandemi Covid-19. Sisi terang terkadang muncul bagaikan mutiara di tengah lautan. Harus diterjang dan dicari.  Sekarang saatnya kita melihat pandemi ini, mau jadi penonton atau aktor?


Tentu saja generasi muda harus menjadi aktor. Lebih hebat lagi sebagai aktor utama. Sebagai generasi muda, momen pandemi Covid-19 ini mengundang kita untuk menyatakan jati diri sebagai generasi muda yang aktif dan peduli untuk tidak lantas berpangku tangan, berpasrah, dan hanya mengeluh dalam menghadapi pandemi ini. Tindakan-tindakan nyata harus kita aplikasikan dalam kehidupan seperti menciptakan lingkungan positif yang menunjukkan rasa peduli dan empati pada sesama. Kita harus menjadi orang yang menyebarkan energi positif kepada lingkungan sekitar. Selain berguna untuk kesehatan jiwa dan raga, energi positif yang kita bawa juga berdampak terhadap orang-orang yang kita temui.


Pandemi Covid-19 yang kini kita hadapi bersama telah mengetuk ingatan bahwa kita generasi muda harus menjadi garda terdepan dalam menggalakkan protokol kesehatan demi menekan penyebaran Covid-19 di Indonesia. Kita harus menjadi influencer aktif dan kreatif dalam mengedukasi masyarakat agar disiplin menerapkan protokol kesehatan dan bijak dalam menyebarkan informasi alias tidak menjadi penyebar hoaks.


Dengan semuanya dilakukan di rumah saja, tidak lantas membuat kita mati gaya dan tidak produktif, melainkan menjadi kesempatan besar untuk mengaktualisasikan diri kita,  mengolah rasa bosan kita secara lebih kreatif dan produktif, serta menjadi 'kabar sukacita' bagi orang-orang di sekitar kita. Apakah pengaruh kita gaungnya sudah menembus tembok batas? Sudah waktunya generasi muda ikut berperan membangun sejarah.


Covid-19 telah menyadarkan kita tentang banyak hal. Kita semakin menyadari bahwa Allah Maha Kuasa dan kekuasaan Tuhan adalah mutlak. Covid-19 bisa menyerang siapapun tanpa memandang kekayaan, jabatan, kekuasaan dan hal duniawi lainnya. Hal ini menyadarkan kita bahwa manusia adalah makhluk lemah dan tidak berdaya, semua berada dalam kekuasaan Tuhan. Pandemi Covid-19 harus dijadikan momentum kebangkitan spiritualitas kita. Kita manusia sering mengandalkan otak dan kemampuan duniawi kita, padahal itu adalah landasan yang rapuh. Satu-satunya landasan yang kuat adalah mengandalkan Sang Pencipta.


Sebagai penutup tulisan ini, Paul Romer pernah menyatakan bahwa "A crisis is a terrible thing to waste." Kutipan ini menyiratkan dalam setiap kesusahan yang dihadirkan oleh suatu krisis, ia juga membawa peluang baru. Pandemi mengubah sudut pandang kita dalam melewati terowongan ujian yang gelap. Bahwa di balik hitamnya pandemi, muncul hikmah istimewa. Pandemi Covid-19 menjadi jawaban untuk membangkitkan kembali solidaritas dan kepekaan sosial. 

Momen-monen berharga dalam hidup yang selama ini terlewati dan terlupakan menjadi berarti karena adanya pandemi ini. Pandemi mengarahkan pandangan kita melampaui semua pintu yang tertutup untuk melihat orang-orang dan berbagai kesempatan yang sebelumnya kita abaikan. Dengan menghargai setiap kesempatan yang ada, kita akan menemukan sukacita dan harapan. Pada akhirnya kita mampu mengubah tragedi menjadi kemenangan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun