Mohon tunggu...
Aloysius Teme
Aloysius Teme Mohon Tunggu... Guru - Penggemar sastra dan tulisan ringan yang menginspirasi

Ingin berkreasi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Time for Change

16 Februari 2022   12:51 Diperbarui: 16 Februari 2022   13:12 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Lebih baik pikirkan saat ini untuk yang nanti. Yang di sana menanti, tapi kalau kita masih di sini mungkin dia akan merintih penuh kekecewaan. Biarkan kekecewaan yang sudah lalu jadi pengalaman dan buatlah niat untuk tidak mengulangi hal yang sama nantinya.

Time for Change

Time for change adalah menyimpang, menyamping dan menggali peluang dalam setiap kesempatan agar ruang dan waktu kita tidak berhenti di sini, tetapi berjalan terus menuju yang menanti. Proses dan prospek hidup selalu dibaluti oleh dua hal yakni menjamu dan menanti. Seperti tenunan, kita terus dan terus memintal setiap benang agar menghasilkan motif yang kita inginkan. Terkadang salah arah dan ada pula benang yang patah.

Sama halnya dengan hidup kita, tak semudah kita berucap dan tak semudah kita berkhayal. Ingat, jalan menuju yang menanti bukanlah jalan yang mudah tapi, bukan pula jalan yang sulit. Semua itu bergantung pada seberapa kuat dan seberapa mampu kita menjamuya.

Mengubah dan berubah tidak serta merta terjadi tanpa pengorbanan, jika semua itu terjadi berarti kamu dan aku adalah manusia super bak malaikat. Tetapi, jika kita mengorbankan sesuatu untuk sesuatu yang lain pastinya kita akan menjadi lebih kaya pengalaman dalam menjamu kesempurnaan itu.

Para petinggi saat ini, entah di bidang agama, pemerintah, dan lain sebagainya menjunjung tinggi yang namanya revolusi. Nah, lalu bagi kita apa itu revolusi? Revolusi bukan hanya sekadar perubahan dalam arti yang sesungguhnya atau hanya sekadar kata, tapi lebih dari itu perlu ditopang oleh tindakan.

Presiden kita menggaungkan nada revolusi mental, hal ini membuktikan bahwa kita belum punya mental yang baik untuk menerobos masa depan. Pembangunan infrastruktur yang memadai tanpa didukung oleh pembangunan mental pun adalah suatu kesia-siaan.

Di sisi lain, kita diajak oleh para petinggi agama untuk menghargai dan menjalani setiap rutinitas harian kita sebagai suatu jalan menuju yang namanya "kekudusan", "kesempurnaan". Setiap kesempatan dalam hidup tak mungkin terulang lagi dalam nada dan ritme yang sama. Berbeda dengan mesin atau rancangan yang dibuat oleh manusia sendiri.

Jika kehidupan dan pengalaman manusia dapat diulang dalam nada dan ritme yang sama, maka kehidupan ini tidak akan menampakan yang namanya kekurangan atau keminimalisan dan koreksi karena semuanya tampak baik tanpa kekurangan sedikitpun.

Orang mampu mengulang dan mengubah semua seturut kehendaknya. Hidup bukanlah demikian, setiap pribadi punya jalan dan cara masing-masing untuk mengatasi dan melintasinya. Semua yang dibutuhkan adalah kesadaran untuk melihat semua itu sebagai anugerah yang terindah. Jika semua adalah anugerah, maka melewatkan sedikit saja waktu dalam hidup berarti kita telah membuang anugerah yang diberikan kepada kita untuk hari itu.

Maka dari itu, jamulah ruang dan waktumu dengan sejuta pengalaman agar dia yang menantimu di sana menatap pergulatan dan usahamu penuh kerinduan tidak kecewa untuk kedua kalinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun