Beberapa waktu lalu, berbagai media melaporkan bahwa beberapa rumah sakit (RS) sudah kolaps akibat wabah Covid-19 yang tidak terkendali dengan baik. Berita ini bukan untuk menakut-nakuti masyarakat, melainkan menjadi alarm agar fokus pada pokok persoalan yang sesungguhnya sedang kita hadapi: ancaman ambruknya sistem layanan kesehatan.Â
Kita pernah mendengar istilah bed occupancy ratio (BOR) atau rasio keterisian RS. Ketika gelombang kedua Covid-19 muncul, dilaporkan terjadi peningkatan BOR di berbagai daerah secara signifikan. Sistem layanan kesehatan menjadi kacau karena pasien yang harus ditangani melebihi kapasitas.Â
Lonjakan pasien virus corona bergejala yang membutuhkan bantuan medis adalah sebab terjadinya peningkatan BOR hingga melebihi kapasitas dan membuat layanan kesehatan ambruk.
Virus SARS-CoV-2 menginfeksi manusia dan menularkannya kembali kepada manusia. Mari kita menyapa istilah basic reproduction number atau angka penularan yang terjadi secara alamiah tanpa intervensi.Â
Tanpa intervensi maksudnya apabila pemerintah tidak melakukan apa-apa dan masyarakat tidak memakai masker serta berkerumun. Artinya, basic reproduction number ini mengasumsikan transmisi virus pada kehidupan yang berjalan normal seperti tidak ada wabah.
Masalahnya adalah peningkatan kasus terkonfirmasi beriringan dengan bertambahnya pasien yang bergejala sedang hingga berat. Mereka yang bergejala ini membutuhkan bantuan medis. Semakin banyak yang membutuhkan bantuan medis, artinya layanan kesehatan seperti puskesmas maupun RS harus bekerja lebih ekstra.Â
Tapi lagi-lagi kita harus ingat, kerja ekstranya layanan kesehatan memiliki batas maksimal. Sehingga, yang harus dilakukan adalah mengendalikan penyebaran virus, agar tidak terjadi ledakan secara eksponensial tadi. Cara yang paling efektif sebagaimana saran epidemiolog adalah karantina penuh (menahan mobilitas secara total), atau disebut juga dengan lockdown. Negara lain seperti India, Iran, bahkan Tiongkok terbukti berhasil mengendalikan transmisi virus lewat lockdown.Â
Kebijakan lockdown memang bukan untuk menghilangkan virus, karena bagaimanapun, virus itu akan tetap ada. Karena akan tetap ada, langkah yang harus dilakukan adalah mengendalikan transmisi virus itu sendiri. Asumsinya adalah: selama ada mobilitas, penularan akan terus terjadi. Usaha-usaha pemerintah mulai dari PSBB, kemudian PPKM, PPKM mikro, hingga PPKM darurat pada intinya adalah untuk mengendalikan penyebaran virus, terlepas berjalan efektif ataupun tidak.Â
Sedangkan dari sisi masyarakat yang tidak punya kuasa atas politik anggaran, satu-satunya yang bisa dilakukan adalah taat protokol kesehatan sebagai langkah preventif. Memakai masker dengan benar, menghindari kerumunan, dan rajin-rajin cuci tangan terbukti secara ilmiah mencegah penularan.
Dari usaha-usaha seperti PPKM dan protokol kesehatan ketat. Orang-orang berarti penyebaran virusnya telah diintervensi). Cara mengukur efektivitas PPKM itu dengan melihat apakah angka Rt itu berhasil turun dengan signifikan atau tidak. Jadi kalau sebelum PPKM dan sebelum taat protokol kesehatan angka penyebarannya mencapai "satu menularkan tiga orang", setelah diintervensi bisa "satu menularkan satu orang".Â
Sebetulnya baru dikatakan berhasil jika angka Rt itu mendekati nol, atau nol koma. Semakin mendekati angka nol berarti usaha yang dilakukan semakin efektif. Usaha itu disebut juga sebagai flattening the curve atau meratakan kurva. Maksudnya, kurva yang menanjak akibat penambahan jumlah kasus harian bisa diturunkan kembali hingga mendekati angka nol kasus. Â