Sebelum membahas tentang kekerasan seksual, perlu diketahui juga dasar terjadinya kekerasan seksual salah satunya adalah budaya Patriarki yang tertanam pada tatanan masyarakat. Apa itu budaya Patriarki? Budaya Patriarki adalah budaya dimana laki-laki mempunyai kedudukan lebih tinggi dari perempuan.Â
Pada budaya ini, ada perbedaan yang jelas mengenai tugas dan peranan perempuan dan laki-laki dalam kehidupan bermasyarakat, khususnya dalam keluarga. Budaya patriarki secara turun temurun membentuk perbedaan perilaku, status dan otoritas antara laki-laki dan perempuan di masyarakat yang kemudian menjadi hirarki gender.Dalam masyarakat bahkan di dalam keluarga pun budaya ini masih sering di temui, budaya Patriarki seakan tidak bisa hilang. Jika dibiarkan budaya Patriarki bisa menjadi masalah serius dan menimbulkan bibit-bibit pelaku kejahatan yang mengincar kaum perempuan.Â
 Salah satu Contoh kasus akibat budaya Patriarki ini adalah kekerasan seksual. kekerasan seksual merupakan suatu perbuatan yang merendahkan,menghina, menyerang atau tindakan lainnya terhadap tubuh yang terkait hasrat nafsu seseorang dan fungsi reproduksi secara paksa dan tindakan lain yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas karena ketimpangan relasi kuasa,relasi gender,dan relasi lainnya yang berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik,psikis,seksual,kerugian ekonomi,sosial dan politik.
Kekerasan seksual dapat menimpa siapapun, tetapi sering dijumpai para korban dari kekerasan seksual ini mayoritas adalah kaum perempuan, Komnas Perempuan mencatat terjadi kekerasan seksual yang menimpa kaum perempuan di ranah personal sebanyak 2.807 kasus dan di ranah komunitas terjadi sekitar 2.091 kasus pada tahun 2020.Â
Dari hal ini yang membuat mirirsnya adalah budaya Patriarki memposisikan laki-laki menjadi pihak yang gagah serta memiliki kebebasan untuk melakukan apapun terhadap perempuan. Â Kekerasan seksual terhadap perempuan yang semakin marak terjadi dan sering dijumpai bahkan di lingkungan terdekat manusia tinggal telah menjadi ketakutan tersendiri bagi perempuan. Perempuan bagaikan dilapisi dinding dalam pergerakannya, perempuan menjadi takut keluar malam, perempuan menjadi takut pergi sendirian, atau bahkan perempuan merasa terancam bahkan di tempat ramai sekalipun. Â
Hal Ini yang membuat tingginya angka kekerasan seksual di Indonesia, budaya ini juga memberikan konstruksi dan stigma bahwa laki-laki berkaitan erat dengan maskulinitas sementara femininitas sendiri dianggap sebagai sesuatu yang lemah. Sering ditemui juga tindakan victim-blaming atau kondisi dimana pihak korban yang justru menjadi sasaran kesalahan dari sebuah kejadian. Dalam kasus kekerasan seksual, pihak korban lah yang justru disalahkan dan menjadi penyebab terjadinya kejadian tersebut. Mereka dianggap sebagai penyebab terjadinya kejadian tersebut entah itu dari cara korban berpakaian, tingkah laku korban di saat kejadian, atau justifikasi yang tidak menempatkan laki-laki sebagai pelaku.Â
Pihak korban menjadi terdesak serta semakin tertekan akibat kejadian ini, dan pelaku pun tidak merasa dirinya bersalah malah menganggap hal tersebut terjadi karena terpancing hasrat seksual. Sadar atau tidak, menempatkan perempuan korban pelecehan seksual sebagai penyebab dari kekerasan seksual merupakan salah satu sistem budaya dari Patriarki yang telah melekat dalam masyarakat. Â Secara teoritis, dapat dikatakan bahwa tindakan pelecehan seksual terhadap perempuan oleh laki-laki pada dasarnya adalah hal yang sangat kompleks,mengakar, dalam hubungan kekerasan berbasis gender,seksualitas,identitas diri, serta dipengaruhi tatanan sosial yang yang berkembang dalam suatu komunitas atau masyarakat.
Masyarakat seakan membenarkan sistem budaya Patriarki ini yang menjadi faktor melenggengkan kekerasan seksual yang terjadi, pelaku juga merasaa seakan tindakan asusila atau kekerasan seksual menjadi sebuah kewajaran dengan didasarkan konstruksi sistem budaya Patriarki pada tatanan masyarakat tersebut. Â Dalam sistem patriarki juga menjelaskan bahwa perempuan adalah kaum inferior yang bisa dikuasai, maka normal bila perempuan dijadikan objek seksual hanya untuk pemenuhan nafsu laki-laki belaka.Â
Selain itu pembenaran yang dilakukan masyarakat yang seolah membenarkan kejadian pelecehan seksual dan perkosaan adalah akibat dari tubuh korban yang mengundang hasrat seksual, sering ditemui saat terjadi kasus pelecehan seksual seperti ada stigma atau persepsi dari masyarakat yang seperti menyalahkan pakaian korban, kapan korban mendapat perlakuan tersebut, riasan seperti apa yang ditampilkan korban, dan sebagainya, padahal apa yang dipakai oleh korban tidak bisa dijadikan faktor penyebab mengapa ia menjadi korban dari kekerasan seksual.
Kesimpulan dari kasus ini adalah, marilah kita membuka mata dan hati Nurani untuk segera tersadar serta mengingatkan sesama untuk mulai meninggalkan budaya Patriarki yang sudah menjadi tatanan dalam bermasyarakat ini. Sudah selayaknya sebagai kaum laki-laki sebagai pelindung dan penjaga kewibawaan perempuan mulai tergerak untuk saling menghargai dan tidak memandang perempuan sebagai makhluk yang lemah serta tidak memandang perempuan sebagai objek.Â
Menghargai perjuangan perempuan dalam memperjuangkan haknya atas kesetaraan gender dan melindungi perempuan dari para pelaku kekerasan seksual tanpa embel-embel apapun atas kesadaran pribadi, serta mendukung hingga disahkannya Undang-undang yang melindungi perempuan dari ancaman kasus kekerasan seksual.
Refrensi
-Fushshilat, Sonza Rahmanirwana, and Nurliana Cipta Apsari. "SISTEM SOSIAL PATRIARKI SEBAGAI AKAR DARI KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP PEREMPUAN PATRIARCHAL SOCIAL SYSTEM AS THE ROOT OF SEXUAL VIOLENCE AGAINST WOMEN." Prosiding penelitian dan pengabdian kepada masyarakat 7.1 (2020): 121-127.Â
-Catatan Tahunan Komnas Perempuan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H