Mohon tunggu...
Agus Sujarwo
Agus Sujarwo Mohon Tunggu... Guru - Founder Imani Foundation

Founder Imani Foundation

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Merangkai Harapan dari Samanea "The Little Shenzhen" Hill

20 Juni 2024   23:57 Diperbarui: 22 Juni 2024   21:04 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Secara historis-geografis, ada kesamaan mengagumkan tentang keberadaan (Kecamatan) Parungpanjang, Bogor, Jawa Barat.

Pertama, secara historis. Mengacu pada salah satu sumber autentik Sejarah Kota Bogor yang ditulis oleh Saleh Danasasmita (1983), Kota Bogor ditemukan oleh tim ekspedisi Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) sebagai puing yang ditutupi hutan lebat. Salah satu catatan ekspedisi ini ditulis oleh Scipio bahwa pada 1684 Belanda menyetujui perjanjian dengan Banten yang salah satu klausulnya adalah Gunung Salak yang seharusnya menjadi wilayah Banten akhirnya masuk menjadi wilayah VOC (Danasasmita, 1983:6).  Lebih lanjut diterangkan bahwa salah seorang ekspedisi bernama Letna Tanujiwa bersama pasukannya membangun Kampung Baru. J. Faes (1887) di dalam buku De Geschiedenis van Buitenzorg, menuliskan bahwa Tanujiwa adalah orang Sunda dari Sumedang yang berhasil membentuk pasukan pekerja dan mendapat perintah dari Johannes Camphuijs untuk membuka hutan pajajaran yang kemudian menjadi tempat kelahiran Bogor. Tanujiwa pun mendirikan Kampong Parung Panjang, Panarangan, Bantar Jati, Sempur, Baranang Siang, Parung Benteng, dan Cimahpar.

Sampai di sini semoga Anda paham, bahwa seperti yang Danasasmita tuliskan, Parungpanjang malah tidak sekadar masuk di dalam daftar, ia bahkan berada di peringkat pertama dalam daftar dari kampong-kampong yang membentuk cikal bakal berdirinya Kota Hujan "Buitenzorg" Bogor.

Kedua, secara geografis. Sebagaimana dilansir oleh lembaga resmi Pemerintah Kabupaten Bogor melalui bogorkab.go.id, Parungpanjang berbatasan wilayah administratif berikut. Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Tenjo. Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Cigudeg. Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Ciseeng. Dan sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Legok. Jika Kecamatan Tenjo, Kecamatan Cigudeg, dan Kecamatan Ciseeng berada di dalam wilayah administratif Kabupaten Bogor, maka hanya Kecamatan Legok yang berada di dalam wilayah administratif Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten.

Sampai di sini semoga Anda paham, bahwa Parungpanjang tidak sekadar gerbang atau serambi antarkabupaten, yakni antara Kabupaten Tangerang dan Kabupateng Bogor, tidak tanggung-tanggung Parungpanjang dengan demikian adalah serambi terdepan perbatasan yang menghubungkan dua provinsi utama di Pulau Jawa, yakni antara Provinsi Banten dan Provinsi Jawa Barat.

Sungguh bahwa awalnya seperti sulit untuk dipercaya, jika kemudian saya kaitkan dengan apa yang pernah diucapkan oleh Master Shifu dalam film epik legendaris Kungfu Panda, "There is no coincidences in this world." Ya, tidak ada yang namanya kebetulan. Parungpanjang "hanyalah" sisi kecil Tanah Pasundan, atau dalam lingkung yang lebih luas adalah bagian kecil negara Indonesia. Pun demikian halnya dengan Shenzhen yang juga "hanyalah" sisi kecil Guangdong, atau dalam lingkung yang lebih luas adalah bagian kecil negara Tiongkok.     

Lantas, apa yang menyamakan (dan saya sangat yakin bahwa pada akhirnya ini bukanlah sebuah kebetulan) antara Parungpanjang dan Shenzhen? Parungpanjang berbatasan dengan tiga wilayah administratif yang ketiganya masih berada di dalam kabupaten yang sama, yakni Kabupaten Bogor dan menyisakan satu wilayah administratif yang berada di luar Kabupaten Bogor, yakni Kecamatan Legok yang berada di Kabupaten Tangerang. Lalu Shenzhen yang berbatasan dengan (lagi-lagi) tiga wilayah administratif --- Dongguan di utara, Huizhou di timur laut, dan Makau di barat daya --- yang ketiganya masih berada di negara yang sama, yakni Tiongkok dan menyisakan satu wilayah administratif, yakni Hongkong, yang meskipun masih menjadi bagian dari Tiongkok, namun ia telah memiliki kebijakan unifikasi nasional "satu negara dua sistem" sebagaimana yang dikembangkan oleh sang pemimpin Tiongkok Deng Xiaoping.

Parungpanjang adalah garda terdepan --- tidak sekadar pintu masuk antarkabupaten tetapi lebih dari itu juga adalah pintu masuk antarprovinsi --- seperti halnya Shenzhen yang juga menjadi garda terdepan bahkan pintu masuk antarnegara, yakni Republik Tiongkok dan Hongkong. Maka, kemudian bicara Parungpanjang juga bicara tentang Bogor yang merupakan induk semang dari keberadaan Parungpanjang.

Secara etimologi, penamaan Bogor tidak lepas dari cerita yang pernah penulis sampaikan sebelumnya. Kota yang pernah berpenghuni sebanyak 48.271 jiwa ini ditemukan kembali sebagai "puing-puing" yang diselimuti hutan tua oleh ekspedisi yang dilakukan oleh VOC. Ekspedisi itu dilakukan berturut-turut oleh Spicio (1687), Adilf Winkler (1690), dan Abraham van Riebeck (1703). Berkat ekspedisi-ekspedisi ini, kota yang hilang hampir seabad lamanya ini mulai bertunas kembali dan menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Eskpedisi Spicio, yang tugas awalnya mengenal wilayah, kemudian disertai dengan pasukan pekerja (werktroep) kompeni di bawah komando Letnan Tanujiwa untuk membuka daerah pedalaman dan perladangan.

Tanujiwa, yang mendapat perintah dari Johannes Camphuijs untuk membuka Hutan Pajajaran, akhirnya mendirikan Kampung Baru. Kampung Baru ini merupakan pusat pemerintahan bagi kampung-kampung yang kemudian dibuka setelahnya. Hingga kemudian pada 1745 Kampung Baru ini resmi menjadi kabupaten di bawah pimpinan seorang bupati dengan gelar demang. Maka, eksistensi Kampung Baru ini semakin mendapat posisi setelah Gubernur Jenderal Gustaaf W. van Imhoff (1743- 1750) menjadikan salah satu daerah di wilayah itu sebagai tempat peristirahatan. Gustaaf W. van Imhoff memilih tempat tesebut karena basis ekologisnya yang sangat kondusif; pemandangan alam yang memesona, tanah yang subur, iklim yang sejuk, serta letak geografis yang strategis. Gedung yang dibangun sebagai tempat peristirahatan serta pertamanan dan lingkungan di seputarnya oleh van Imhoff pun kemudian diberi nama "Buitenzorg", yang secara harfiah berarti "tanpa urusan". Yang kemudian jika dikaitkan dengan nama Kota Bogor bermakna 'kota tanpa banyak urusan, kota yang penuh ketenangan dan tanpa kecemasan, kota yang nyaman'."

Pertanyaan yang layak untuk diungkapkan kemudian adalah, "Benarkah Bogor atau Buitenzorg ini sudah selaras antara nama yang disematkan dan kenyataan yang ditemukan?" Dan kembali ke sisi historis Bogor yang bermula dari sebuah Kampung Baru yang dikelilingi oleh kampung-kampung di sekitarnya, maka bicara Bogor juga seharusnya bicara tentang kampung-kampung --- saat ini berbentuk kelurahan-kelurahan dan kecamatan-kecamatan --- yang juga berada di dalam wilayah administratif Kota Bogor. Sederhananya adalah, jika Bogor kemudian berarti kota tanpa kecemasan, maka itu berarti dari sebelah utara hingga ke selatan Bogor, juga dari sebelah barat hingga ke timur Bogor, sepatutnya juga mencerminkan karakter kota tanpa kecemasan ini. Tidak tepat jika kemudian misalnya Bogor begitu kilau di sisi utara namun terlihat kumuh dan kusam di sisi selatan.

  

"Not only should we push up the economy. We should also create a good social order and a good social mood. Time is money but efficiency is life."

 Deng Xiaoping,  Pemimpin Tertinggi Revolusi Republik Rakyat Tiongkok

 

Parungpanjang Grand Boulevard 

  

Maka, berbekal dua kekuatan (1) sisi historis sebagai kampung cikal bakal Kota Bogor dan (2) status geografis sebagai serambi Buitenzorg, Parungpanjang menjadi salah satu zona yang sepatutnya menjadi salah satu titik perhatian, khususnya bagi warga Kecamatan Parungpanjang dan terlebih oleh Pemerintah Kabupaten Bogor yang menjadi induk semangnya. Adalah sebuah kekeliruan fatal jika kemudian tanggung jawab status Bogor sebagai kota tanpa kecemasan hanya dibebankan kepada Pemerintah Kabupaten Bogor atau sebaliknya justru dikembalikan kepada para warga yang pernah, sedang, atau akan tinggal di Kecamatan Parungpanjang.

2 Juni 2024, sudah nyaris setengah abad saya menikmati hidup, untuk pertama kalinya saya menjejakkan kaki untuk mengenal wilayah seluas 7.118,06 hektare ini. Memulai perjalanan dari kawasan ICE Business Park BSD, Tangerang Selatan, saya menelusuri jalan di sepanjang BSD Grand Boulevard yang lengang nan lapang. Ruas jalan kemudian mulai menyempit begitu saya berbelok kiri mengarah ke Jalan Raya Pagedangan. Dan mulai terlihat beberapa titik kerusakan setelah beberapa ratus meter melewati Jalan Raya Parungpanjang, terlebih selepas Stasiun Parungpanjang menuju arah Kota Bogor.

Selepas stasiun ini, cukup sering ditemui kontur jalan yang tidak rata, dan banyak yang berlubang. Tidak mengherankan jika kemudian sering dijumpai kendaraan khususnya roda empat yang melintas seolah melawan arah untuk sesaat untuk menghindari permukaan jalan yang rusak sebelum kemudian kembali ke lajur awal. Meskipun begitu, masih ada yang perlu untuk disyukuri karena setidaknya saat itu saya melintas pada masa liburan sekolah, saat siang hari, dengan cuaca cukup cerah tanpa awan alih-alih hujan yang mengguyur deras, pun juga tak harus berjumpa dengan kemacetan yang mengular. O ya ditambah dengan bumper mobil yang cukup tinggi dari permukaan tanah.

Alhasil, dalam kondisi "normal" seperti yang saat itu saya alami, saya pun menghabiskan waktu sekitar 30 menit untuk menempuh perjalanan sejauh 6,4 kilometer terhitung titik awal di sisi barat Stasiun Parungpanjang dan titik akhir di kompleks perumahan tempat saya tinggal di bilangan Samanea Hill, Bogor Barat. Ini  nyaris menyamai waktu tempuh yang saya gunakan dari Mall Bintaro Jaya Exchange, Tangerang Selatan ke Terminal Baranangsiang, Bogor.

 

Sumber: pupr.bogorkab.go.id
Sumber: pupr.bogorkab.go.id

Mengutip data infografis terakhir yang dirilis di laman pupr.bogorkab.go.id, pada tahun 2021 dari total panjang ruas jalan 1.706.851 kilometer yang ada di wilayah Bogor, 395.071 kilometer dalam kondisi baik, 964.377 kilometer termasuk sedang, 276.106 kilometer di antaranya rusak ringan, dan 71.297 kilometer berstatus rusak parah. Dan jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, ruas jalan dengan status rusak parah ini mengalami peningkatan 8 kali lipat yang hanya rusak parah sepanjang 9.200 kilometer.

Parungpanjang, seperti halnya kota (satelit) lainnya adalah keniscayaan dari pertumbuhan demogeografis. Perkembangan ibu kota dalam hal ini yang semakin pesat, ditandai dengan heterogenitas penduduk, keberagaman budaya, perubahan spasial fisik perkotaan, nilai-nilai dan keyakinan, yang awalnya hanya Jakarta telah memunculkan akronim baru Jabodetabek yang merupakan kependekan dari Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi. Wilayah-wilayah yang sebelumnya mayoritas adalah pertanian dan perkebunan, perlahan berubah bentuk berwajah miniatur dan bahkan perkotaan.

Maka, persoalan yang muncul kemudian yang dihadapi oleh kota-kota baru ini, termasuk Parungpanjang, tidaklah sesederhana sebatas seperti perbaikan jalan pun penambahan fasilitas layanan kesehatan misalnya, melainkan sangatlah kompleks, yang jika kemudian diringkaskan, senantiasa terpola ke dalam dua persoalan; pertama, internal dan kedua eksternal. Internal berarti berkaitan dengan kondisi material-immaterial yang ada di wilayah ini seperti, infrastruktur, lanskap kota, kesenjangan sosial, atau urbanisasi. Sedangkan persoalan eksternal, terlebih dengan status Parungpanjang sebagai gerbang antarprovinsi berkaitan dengan kemampuan potensi internal Parungpanjang untuk bersanding dengan khususnya kota-kota terdekat yang melingkupinya, dan khususnya kemampuan untuk beradaptasi dengan komunitas global. 

Dan kembali ke inti persoalan yang pernah saya tuliskan. Bicara tentang kerusakan jalan, maka sisi devaluasi perkembangan tata perkotaan yang sangat lekat adalah inefisiensi. Dan terkait sisi inefisiensi, paradigma yang perlu diluruskan bahwa kata efisiensi tidak hanya diperuntukkan bagi kalangan pekerja, profesional, pun pengusaha tetapi untuk setiap sisi profesi yang ada di dalam masyarakat. Itu berarti, jika seorang akuntan profesional memerlukan akses digital yang cepat dalam mendapatkan data-data keuangan terbaru dari klien yang dilayaninya, seorang petani pun juga punya hak untuk bisa sampai ke pasar tradisional tanpa harus dibebani dengan kemacetan ataupun kerusakan permukaan jalan.

Faktor inefisiensi ini belum termasuk di dalamnya ekosistem secara keseluruhan yang masuk ke dalam setiap sisi kehidupan (human life). Peralihan bentuk desa tradisional menjadi kota kecil ini juga berdampak pada sisi lingkungan alam. Kita tentu masih ingat tentang rencana pembangunan sebuah kawasan club house di bentang alam selatan Yogyakarta, yang mau tidak mau pada akhirnya harus mempertimbangkan keseimbangan ekologis dengan adanya potensi karst di kawasan tersebut. Jika kemudian projek pembangunan ini jadi dilaksanakan, akan ada kerusakan bentang alam yang harus dikorbankan. Dan untuk setiap kerusakan yang terjadi pada akhirnya akan berpengaruh terhadap inefisiensi ekosistem yang ada di lingkungan tersebut.

Burung-burung walet ataupun kelelawar pun tak lagi memiliki rumah gua untuk bersarang, yang bisa jadi akhirnya mereka harus bermigrasi (baca: meninggalkan) ke luar area menempuh perjalanan bermil-mil untuk mendapatkan sarang barunya. Potensi sumber daya air di bawah permukaan tanah yang mampu mengatasi kekurangan ketersediaan air di permukaan pun juga berkurang. Demikian halnya dengan kawasan karst dengan lanskap dan batuan yang khas dan fisiografi yang unik seperti keberadaan tebing, gua, dan sungai bawah tanah yang berpotensi sebagai pusat studi arkeologis dan objek wisata yang bernilai ekonomi tinggi bagi masyarakat pun juga menghilang. Pun demikian halnya berlaku secara serupa di kawasan Parungpanjang yang kaya akan sumber daya alam basalt. 

Kembali ke persoalan inefisiensi. Jika formulasinya adalah keseimbangan ekuivalen dengan efisiensi maka ketidakseimbangan (baca: kecemasan, kerusakan, kepadatan) ekuivalen dengan inefisiensi. Data kependudukan terakhir yang dirilis oleh instansi daerah Kecamatan Parungpanjang melalui laman kecamatanparungpanjang.bogorkab.go.id menunjukkan bahwa total jumlah penduduk di kawasan ini berjumlah 118.465 jiwa pada tahun 2023. Jika dibandingkan dengan tahun 2021, dengan total jumlah penduduk 115.141 jiwa, pertumbuhan penduduk di kawasan ini mengalami peningkatan sebesar 3.324 jiwa atau mengalami rerata kenaikan sekitar 1.662 penduduk per tahunnya.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana caranya untuk melayani para penduduk di Kecamatan Parungpanjang ini agar tetap dapat hidup dalam keseimbangan dan tanpa kecemasan, seperti halnya yang menjadi makna dari Buitenzorg itu sendiri; kota tanpa kecemasan. Dan asumsinya adalah jika secara internal, para warga di Kecamatan Parungpanjang ini sudah mendapatkan keseimbangan yang seharusnya memang mereka dapatkan, maka sangat mudah bagi para "peselancar Parungpanjang" atau orang-orang yang bukan merupakan penduduk tetap Parungpanjang mendapatkan keseimbangan yang serupa.

Mari belajar dari Shenzhen. Pada 44 tahun silam, atau lebih tepatnya tahun 1980, Shenzhen telah berkembang dari sebuah kabupaten pertanian di daerah terpencil dengan populasinya yang tidak sampai 30 ribu jiwa menjadi sebuah kota metropolitan inovatif yang penuh daya hidup dan memesona seluruh penjuru dunia. Dengan produk domestik bruto melonjak dari 200 juta yuan menjadi hampir 2,7 triliun yuan, majalah Inggris The Economist sempat memuji, "Dari 4.000 zona ekonomi khusus di seluruh dunia, keajaiban Shenzhen adalah contoh sukses nomor wahid atas reformasi dan keterbukaan Tiongkok.

Salah satu sisi inovatif ini adalah apa yang oleh Huapeng Qin, Associate Profesor Peking University, sebagai Kota Spons (Sponge City). Kota Spons adalah sebuah model perencanaan kota baru di Tiongkok yang menekankan pengelolaan banjir melalui penguatan infrastruktur hijau daripada hanya mengandalkan sistem drainase. Lanskap fisik perkotaan yang paling kentara dari projek ini adalah kawasan alam yang melimpah seperti pepohonan, danau, dan taman, atau rancangan lainnya yang ditujukan untuk menyerap air dan mencegah banjir.

Sebagai smart city, Shenzhen juga dilengkapi dengan sarana transportasi massal modern untuk melayani mobilitas warga maupun pendatang serta mobilitas barang yang ramah lingkungan. Masyarakat di Shenzhen dapat mengakses kereta api cepat, moda raya terpadu (MRT) dan lintas raya terpadu (LRT) dengan mudah dan dengan harga yang terjangkau. Kota ini memiliki lajur pedestrian selebar tiga meter, ya sangat lapang, yang ditujukan bahkan tidak saja untuk pejalan kaki, tetapi juga pesepeda motor listrik, dan penyandang tunanetra yang ditandai dengan ubin taktil kuning bertekstur di bagian tengah. Malah, bagi para pesepeda motor listrik ini disediakan jembatan penyeberangan untuk berpindah dari satu ruas ke ruas jalan lainnya yang dipisahkan oleh jalan raya. Shenzhen membangun satu lajur pedestrian untuk tiga pengguna; ini berarti tentang efisiensi. Dan dengan karakter sepeda motor listrik yang minim bising dan polusi, ini juga berarti tentang kenyamanan.

Di Shenzhen, kita juga dapat menemukan pusat perbelanjaan yang bersanding dengan pasar tradisional; ini berarti tentang keseimbangan. Bahkan untuk menjangkau antarkeduanya cukup hanya dengan berjalan kaki. Shenzhen ibarat menyiapkan lingkungan siap bangun (lisiba) yang dapat mengakomodasi potensi lokal melalui pasar tradisional sekaligus di saat yang sama juga mengakomodasi potensi global melalui pusat perbelanjaan. Dua potensi yang saling melengkapi sehingga menjadikan pertumbuhan ekonomi Shenzhen melaju pesat.

Kembali ke persoalan inti infrastruktur transportasi yang menjadi titik sentral tulisan ini, rencana peralihan jalur untuk truk tambang dari jalan utama Parungpanjang ke lajur tol khusus tambang oleh pemerintah daerah yang didukung oleh pemerintah pusat layak untuk diapresiasi. Ini adalah langkah awal yang positif. Dengan peralihan lajur, itu berarti adanya pengurangan volume beban muatan sehingga dapat meminimalkan terjadinya kerusakan-kerusakan jalan. Dengan pengalihan jalur, maka secara kasatmata, intensitas kendaraan yang melintasi jalan raya juga berkurang sehingga dapat meminimalkan tidak saja kemacetan, tetapi juga kebisingan. Kontur permukaan jalan yang rata ditambah intensitas lalu lalang kendaraan yang sedang akan berimbas pada sisi efisiensi tidak saja sumber daya manusia tetapi juga sumber daya alamnya.

Meskipun begitu, langkah awal ini bukanlah langkah akhir. Belajar dari Shenzhen, penataan infrastruktur transportasi seyogianya tidak diposisikan sebatas persoalan teknikal, katakanlah pengecoran jalan ataupun penambalan aspal jalan, tetapi diposisikan secara komprehensif terkait lanskap kecamatan atau kota secara keseluruhan. Dalam hal ini perlu pendekatan terintegrasi yang menekankan bahwa infrastruktur transportasi pada akhirnya juga bersinggungan dengan sisi lainnya; lingkungan, ekonomi, budaya, sosial, hukum, etika, pun juga teknologi.

Katakanlah dari sisi etika. Dalam konteks ibukota misalnya, seberapa banyak ruas jalan-jalan utama di ibukota yang terbilang permukaannya rata dan juga lebar? Cukup banyak. Namun di sisi lain, seberapa banyak para pengguna jalan raya yang tidak taat etika dengan leluasa melawan arah, menyerobot antrean, mengganti lajur,  memanfaatkan strobo, alih-alih memalsukan plat nomor kendaraan agar terhindar dari sanksi tilang? Tidak tanggung-tanggung malah, banyak dari para pengguna jalan yang niretika ini mengemudikan kendaraan yang dari sisi harga terbilang mahal atau sangat mahal dan juga dari sisi status sosial terbilang berkelimpahan dan terpandang. Ini baru dari sisi etika.

Maka, bicara jalan raya Parungpanjang lebih dari sekadar hal teknis; mengganti, memperbaiki, menambal, memperlebar, mengecor atau hal teknis lainnya melainkan hal komprehensif tentang bagaimana lanskap calon kota mandiri ini kelak akan diwujudkan. Seperti ungkap Senior Research Engineer Huawei Technologies Chen Bin, "Kuncinya adalah berbagi sumber daya data lintas departemen, industri, dan domain dan mengintegrasikannya untuk meningkatkan produktivitas, nilai produksi, dan efisiensi pengelolaan tata kota yang lebih besar."

 

Samanea "The Little Shenzhen" Hill 

 

Tepat 2 Juni 2024 itu untuk yang pertama kalinya saya singgah di Samanea Hill, salah satu permukiman di antara banyak permukiman yang berjejer di sepanjang ruas jalan raya Parungpanjang. Dan meski saya harus "berdansa" di dalam kendaraan dengan membelokkan kemudi ke kanan dan ke kiri demi menghindari lubang jalanan agar sampai ke permukiman ini, suasana emosi saya menjadi tercerahkan begitu saya membelokkan arah kendaraan ke arah kanan menuju gerbang utama (main gate) Samanea Hill. Bentangan gerbangnya yang kekar seakan mengobati rasa penat akibat perjalanan yang panjang. Ditambah ruas jalan menuju gerbang cluster (inner gate) yang lebar seakan menghilangkan rasa sesak akibat perjalanan yang bergelombang.

Dan menilik dari nama permukiman yang disematkan, Samanea, yang merupakan nama depan Latin yang berarti trembesi, menyiratkan bahwa permukiman ini sangat mempertimbangkan sisi ekologis. Di sisi kanan dan kiri sejak gerbang utama menuju gerbang cluster yang berjarak kurang lebih 200 meter tertanam trembesi-trembesi yang masih dalam masa tumbuh. Seperti kita tahu, trembesi merupakan pohon yang berdaya serap CO2 yang maksimal. Pun di sebelah sisi kiri gerbang utama terdapat sebuah situ atau semacam danau yang kemudian dimanfaatkan atau dikelola oleh pengembang permukiman menjadi ruang terbuka hijau. 

Namun, yang kemudian membuat saya lebih jatuh hati adalah ketika untuk pertama kali membuka pintu rumah di salah satu blok di Cluster Avilla. Tidak seperti unit atau bangunan rumah (baru) pada umumnya yang begitu membuka pintu langsung bertatapan dengan dinding rumah atau tembok, saya justru langsung beradu pandang dengan sebuah taman kecil di sisi tengah rumah. Dengan cara yang sederhana nan lugas, seakan pengembang utama perumahan ini, yakni Farpoint Realty ingin berpesan bahwa perubahan itu dimulai dari diri sendiri, dari rumah kita, dari keluarga kita. Seakan mencoba memperkuat eksistensi sebagai permukiman ramah lingkungan, pengembang pun juga telah menyiapkan shuttle bus sebagai mass rapid transit untuk para warga Samanea Hill.

Dan dalam beberapa situasi, kita mungkin saja mengalami de javu. Cukup banyak unit rumah di luar sana yang dibangun tinggi dan megah, juga didirikan di area yang cukup luas namun begitu kita membuka pintu rumahnya, terasa berketerbatasan dan tak lapang. Ini berkebalikan dengan yang saya temukan di Samanea Hill, semungil apa pun rumah yang kita lihat, begitu kita membuka pintu rumahnya, perasaan lapang seakan tak berkesudahan.

Dari sisi ekonomi, pengembang pun juga memberikan keleluasaan bagi para warga hunian untuk membuka layanan atau usaha dari rumah tempat mereka tinggal. Sehingga dengan demikian, kebutuhan pokok terutama yang merupakan kebutuhan inti para warga dapat terpenuhi dari dalam hunian itu sendiri tanpa harus menghabiskan waktu berjam-jam menunggu atau justru keluar area permukiman. Dan ke depannya, masih di area permukiman ini, akan dibangun pusat bisnis (central business district) yang tentu dengan jangkauan pasar dan diversifikasi produk yang lebih luas. Ini seperti mengingatkan kita pada pusat perbelanjaan yang bersanding dengan pasar tradisional di Shenzhen.

Sahabat, sebagai epilog, jika Parungpanjang telah "memiliki" Commuter Line, tak selayaknyakah jika kemudian Parungpanjang juga kelak memiliki Electric Taxi Line? Jika Parungpanjang telah "membangun" projek double track dari Stasiun Tanah Abang hingga Stasiun Rangkasbitung, tak selayaknyakah jika kelak Parungpanjang juga membangun projek double line grand boulevard yang menghubungkan Pasar Parungpanjang dan Pasar Lebakwangi? Jika jalur utara sudah mapan, maka jalur selatan pun juga perlu untuk disepadankan. Jika jalur timur pun sudah matang, maka jalur barat pun juga seyogianya perlu untuk disesuaikan. Ini yang saya sebut dengan strategi empat penjuru mata angin. 

Belajar dari Shenzhen yang kini telah menjadi salah satu rujukan kota pintar dunia, mari beralihlah dari pemikiran dan polemik klasik membangun jalan hanya untuk mengakomodasi kendaraan (personal purposed) ke pemikiran visioner membangun jalan untuk menaungi kehidupan (social life) yang ada di dalamnya. Seperti halnya Shenzhen yang telah memperjuangkan sesuatu yang jauh lebih besar ketimbang dirinya sendiri, yakni Tiongkok, pun demikian halnya Parungpanjang yang seyogianya juga menjadi miniatur Kota Tanpa Kecemasan Buitenzorg.

Hingga pada akhirnya di masa depan, Parungpanjang akan seperti ruang pameran tanpa langit-langit atau dinding; (1) dari arah mana pun Anda masuk ataupun keluar; barat, timur, utara, selatan, yang akan Anda temui senantiasa sama, yakni kenyamanan; (2) dengan cara apa pun Anda menjalani hidup ataupun mengakhiri hidup; berjalan kaki, berlari pagi, berdagang, mengendarai mobil, kuliah, menjalani perawatan medis, melestarikan alam, yang akan Anda temui senantiasa sama, yakni kenyamanan; dan (3) melalui jalur infrastruktur fisik maupun digital mana pun Anda singgah ataupun pergi; sungai, jalan desa, jalur kereta, bandara, aplikasi, monitor raksasa, maka yang akan Anda temui juga senantiasa akan sama, sebuah kota gerbang provinsi yang nyaman bagi siapa pun dan apa pun yang menetap ataupun singgah untuk melanjutkan perjalanan.

Ad maiora natus sum.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun