Mohon tunggu...
Agus Sujarwo
Agus Sujarwo Mohon Tunggu... Guru - Founder Imani Foundation

Founder Imani Foundation

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Ronggeng Dukuh Paruk

22 April 2024   09:21 Diperbarui: 22 April 2024   09:25 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Saat dulu saya menempuh kuliah di jurusan Sastra Indonesia, ada satu mata kuliah yang harus saya ikuti dan juga tuntaskan, yakni teori pengkajian fiksi. Seperti namanya, mata kuliah ini memang mengkaji beragam karya fiksi. Salah satunya novel berjudul Ronggeng Dukuh Paruk.

Menariknya, meski kajian terhadap novel ini telah berlalu, sang dosen, Heru Setya, seakan sulit untuk tidak menyinggungnya kembali. Dalam beberapa kesempatan, novel karya Ahmad Tohari ini sering dijadikan rujukan, atau malah bak kitab suci mata kuliah teori pengkajian fiksi.

Seiring waktu, puluhan tahun bahkan telah berlalu, dan juga setelah kemudian saya bergabung sebagai editor di industri penerbitan terkemuka di Jakarta, perlahan saya mulai menemukan sisi keunggulan yang ada dalam novel ini. Keunggulan itu terletak pada judul novelnya sendiri: ronggeng.

Nah sekarang mari kita coba untuk mengingat, atau jika perlu membongkar gudang buku, atau malah menjelajahi deretan judul novel yang ada di toko buku. Ada puluhan atau ratusan judul novel yang ada bukan? Namun, jika kemudian kita mencoba untuk mencari judul novel dengan kata tertentu, yaitu kata ronggeng, saya tidak katakan bahwa saya akan bertaruh dengan Anda, tetapi sejauh ini yang saya tahu, novel apalagi yang terang-terangan menulis kata ronggeng dalam judulnya itu hanyalah Ahmad Tohari. Ronggeng itu ya Ahmad Tohari. Ahmad Tohari itu ya ronggeng.

Sampai di sini semoga Anda paham, bahwa yang membuat novel Ronggeng Dukuh Paruk ini memiliki kekuatan, terletak pada keunikan atau kekhasan nilai, budaya, jalan cerita, pun konflik yang berakar pada budaya Jawa. Kekhasan ini kemudian oleh sang penulis Ahmad Tohari, munculkan salah satunya melalui istilah-istilah yang semedan makna dengan istilah ronggeng itu sendiri.

Pertama, kata ronggeng. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, halaman 1182, ronggeng memiliki dua arti; yakni pertama berarti tari tradisional dengan penari utama wanita, dilengkapi dengan selendang yang dikalungkan di leher sebagai kelengkapan menari dan kedua berarti penari ronggeng atau tandak.

Disarikan dari situs nationalgeographic.grid.id, bahwa kata ronggeng diyakini berasal dari bahasa Sunda, yaitu rwang yang berarti ruang, rongga, atau lubang sebagai simbol alat kelamin perempuan. Ada pula yang mengaitkan kata ronggeng berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu renggana yang berarti perempuan pujaan. Pada zaman penjajahan Belanda, pertunjukan ronggeng dihadirkan untuk menghibur para tukang kebun dan tentara. Di masa itu, sosok ronggeng menjadi primadona dan pelipur lara yang paling digandrungi. Tidak heran mengapa ronggeng menjadi begitu santer hingga akhirnya kesenian ini terus menurun ke generasi selanjurnya dan menyebar ke seluruh wilayah nusantara.

Kemudian yang kedua, kata srintil. Secara mendalam dalam sebuah artikel berjudul "Tubuh yang Menari" yang dimuat di kanal kompas.com, eks Pemimpin Redaksi Harian Kompas Ninuk Mardiana Pambudy, yang juga putri Menteri Sekretaris Negara Indonesia Moerdiono pernah mengulas makna srintil ini. Srintil adalah nama perempuan kampung yang menjadi populer melalui cerita bersambung "Ronggeng Dukuh Paruk" karya Ahmad Tohari di harian Kompas tahun 1981. Mengambil latar saat Indonesia memasuki masa "gelap" pada 1965 yang ditandai dengan adanya pemberontakan Partai Komunis Indonesia atau PKI, Ronggeng Dukuh Paruk berhasil menuturkan tragedi kehidupan rakyat miskin sederhana.

Lebih dari itu, cerita yang kemudian diterbitkan menjadi novel ini bertutur sangat baik tentang sosok perempuan di masyarakat Indonesia, khususnya di dalam masyarakat Jawa kelas bawah. Di dalam berbagai mayarakat, posisi tawar kebanyakan perempuan kelas bawah lebih baik karena tata krama demi gengsi tak seketat perempuan kelompok ningrat sungguhan.

Teman-teman, hebatnya seorang Ahmad Tohari ini adalah, ia tidak sekadar menghadirkan tokoh ronggeng itu sendiri. Namun kemudian lebih jauh, seorang Ahmad Tohari mau tidak mau atau suka tidak suka pada akhirnya kemudian berkisah tentang lingkung kehidupan dari tokoh ronggeng. Ahmad Tohari kemudian tidak hanya menulis tentang pelukisan fisik ataupun mental tokoh ronggeng yang bernama Srintil. Tetapi Ahmad Tohari kemudian juga bercerita tentang ekosistem dari diri sang tokoh Srintil; kepercayaan, keluarga, bentang alam, nilai-nilai, bahasa termasuk sastra kidung, juga pranata sosial masyarakat Jawa, khususnya di kota kecil Banyumas, Jawa Tengah.  

Membicarakan novel Ronggeng Dukuh Paruk ini, saya kemudian menjadi teringat pada momen ketika pada 10 November 2010 silam Presiden ke-44 Amerika Serikat Barack Obama berpidato di Balairung Kampus Universitas Indonesia, Depok. Obama menyampaikan, "Saya belajar untuk mencintai Indonesia. Main layangan, berlarian di sawah, menangkap capung, membeli sate, bakso dari pedagang keliling. Saya masih ingat teriakan mereka 'sate, bakso, enak ya?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun