Mohon tunggu...
Agus Sujarwo
Agus Sujarwo Mohon Tunggu... Guru - Founder Imani Foundation

Founder Imani Foundation

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Ikigai

11 Maret 2024   13:54 Diperbarui: 11 Maret 2024   13:59 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apakah yang menarik dari gelaran balapan MotoGP, khususnya di era 2.000-an? Dalam sudut pandang saya, sisi menariknya adalah kehadiran Valentino "The Doctor" Rossi. 

Pebalap kelahiran Urbino, 16 Februari 1979 ini dikenal sebagai sosok yang tidak hanya tampil mendebarkan tetapi juga menghibur dan mencerahkan. Ia sering tampil dalam balutan helm bergambar bulan dan matahari, melibas tikungan secara menegangkan, dan merayakan kemenangan lewat aksi burn out.

Namun satu yang saya kagumi dari seorang Rossi adalah ritual yang ia lakukan sebelum membalap. Dan sepengamatan saya, secara jelas dan nyata barangkali hanya Rossi yang selama ini melakukannya. 

Saat berada di garis start untuk memulai balapan, Rossi akan selalu menyempatkan untuk berjongkok di sebelah motornya. Dikutip dari situs cnnindoneisa.com, Rossi mengungkapkan bahwa kebiasaan berjongkok itu hanya agar kostum balap yang ia kenakan berada di posisi yang benar. Ia terus melakukannya selama bertahun-tahun sebagai ritual agar mendapatkan konsentrasi yang tepat.

Maka, kemudian hal ini dapat dimaknai dalam konteks budaya Jepang sebagai ikigai. Konsep ini mengajarkan kita untuk mengetahui alasan kita bangun di pagi hari, atau alasan kita berada di satu tempat tertentu. 

Di mana gagasan bahwa setiap orang memiliki sesuatu yang disukai dan yang memberi kegembiraan sendiri dengan mengejar hasrat itu. Sehingga mereka dapat menemukan makna dan kepuasan dalam hidup mereka. Seperti halnya seorang Rossi yang memfokuskan konsentrasi dan membangun gambaran besar cara Rossi memenangi balapan.

Bagi orang Jepang yang bekerja di kota-kota besar, hari-hari kerja mereka umumnya dimulai dengan kondisi yang dinamakan sushi-zume. Sebuah istilah yang mengibaratkan kaum komuter yang berdesak-desakkan dalam sebuah transportasi massal yang padat, dengan butiran nasi yang dikemas rapat dalam sushi. Kesibukan pekerjaan tidak hanya berhenti di situ melainkan masih berlanjut di dalam lingkungan pekerjaan yang diatur dengan peraturan yang sangat ketat.

Saya mengalami sendiri ketika dulu berada di salah satu sekolah internasional Jepang di kawasan Tangerang Selatan untuk sebuah acara menginap selama satu malam. Bahkan jadwal mandi pagi pun sudah tertera dalam satuan menit, bukan lagi jam. Jika saya lewat beberapa menit saja dari jadwal yang ditentukan, sudah dijamin 100% saya akan tertinggal aktivitas berikutnya.  

Saat saya mengantarkan Izzi (6 th) pergi ke sekolah, ada semacam kesamaan ritual yang saya lakukan dengan apa yang Valentino Rossi lakukan. Jika Rossi jongkok sambil memegang bagian kanan pedal YZR M-1 tunggangannya, saya juga jongkok sambil memeluk Izzi begitu tiba di halaman parkir sekolah. 

Jika Rossi memusatkan konsentrasi untuk memastikan kostum yang ia kenakan sudah benar, saya pun juga memusatkan konsentrasi untuk menyelipkan doa semoga hari itu menjadi hari terbaik dalam kehidupan bersekolah Izzi.  

Dari sekian banyak buku di Jepang yang menulis tentang ikigai, salah satu yang dianggap definitif adalah buku berjudul "Ikigai-ni-tsuite" yang terbitkan pada 1966. 

Penulis buku tersebut, psikiater Mieko Kamiya, menjelaskan bahwa sebagai sebuah kata, ikigai mirip dengan kebahagiaan namun memiliki perbedaan yang halus dalam nuansanya. 

Di Jepang sendiri ada dua kata terkait ikigai. Pertama, jinsei, yang berarti seluruh masa hidup yang dijalani oleh seseorang. Kedua, seikatsu, yang berarti hidup sehari-hari. Dan konsep ikigai ini lebih sejajar dengan arti seikatsu.

Sahabat, mari mulai temukan kebahagiaan-kebahagiaan kecil dalam kehidupan kita sehari-hari yang kelak akan mengantarkan kita pada pengalaman hidup yang lebih indah dan lebih berkelimpahan. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun