Mohon tunggu...
Agus Sujarwo
Agus Sujarwo Mohon Tunggu... Guru - Founder Imani Foundation

Founder Imani Foundation

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mantra Raya Sarasvati (Bagian 1)

3 Maret 2024   22:59 Diperbarui: 3 Maret 2024   23:00 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

            Jumat, 16 Februari 1995, pukul 24.00 WITA s.d. selesai, lokasi Desa Jineng Dalem dan sekitarnya.

            10.06! (itu artinya 14 jam lalu!)

“B_ _ _ _ _ t!”

            Dan akhir pekan, kembali aku selalu berada pada titik yang masih agak biasa untuk dibilang membosankan. Lebih tepatnya menyiksa. Harus bolak-balik dari kamar tidur ke kamar mandi hanya untuk mencuci kamen dan mengganti selimut biyang. Semua bermula ketika suatu malam liburan panjang sekolah, aku menginap di rumah dadong di Buleleng. Malam itu biyang mengeluh badan bagian bawahnya merasakan nyeri. Saat ke kamar kecil, biyang merasakan ada bagian yang sakit. Dadong yang sudah berusia 80-an tahun itu masih sempat menerobos semak-semak kebun rumah hanya untuk memetik daun kumis kucing untuk direbus dan diminumkan untuk biyang.   

             “Om anugraha amrtadi sanjiwani ya namah swaha,” ucap dadong seraya menyodorkan jembung berisi rebusan daun kumis kucing.

            Aku yang masih SD dan biasanya bermain bermain layang-layang di hilir persawahan akhirnya urung dan harus menemani biyang ke rumah sakit. Dan begitu mengetahui bahwa biyang harus diopname di rumah sakit di Buleleng, tangisku semakin menjadi-jadi merengek untuk pulang ke Sukawati sejauh 80 kilometer. Nanang bersikukuh melarangku pulang karena tidak ada orang di rumah. Aku pun dipulangkan ke rumah dadong. Yang lebih menyesakkan, kata dadong waktu itu, ternyata biyang harus dirawat selama setidaknya seminggu di rumah sakit. Dua hari sekali nanang menengokku di rumah dadong hanya untuk melihat keadaanku dan membawakan banyak jaje gambir dan dodol. Itu pun hanya pagi nanang datang, dan siangnya sudah harus kembali ke Buleleng naik motor sejauh 80 kilometer. Dan biasanya sebelum kembali ke Buleleng, nanang selalu menitipkan ke dadong uang kertas merah untuk uang jajan. 

           Makanan yang berlimpah, pun uang jajan yang selalu bertambah seakan tak mengusik rasa sebalku ke biyang, yang kuanggap sebagai pembawa petaka. Sejak aku SD hingga sekarang STM aku harus merawat biyang setiap nanang bertugas ke luar Denpasar di akhir pekan. 

          Dan liburan itu, karena dadong harus menjagaku di rumah, aku tidak bisa menyaksikan dadong berlaga memacu kerbau! Tidak ada moncong kerbau! Tidak ada cipratan tanah dan lemparan tubuhku ke udara seusai dadong memenangi perayaan Sampi Gerumbungan! Arrgh!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun