Rumah Dunia, Serang.
Ahad, 9 Juli 2023, usai menempuh perjalanan dengan jarak kurang lebih 53 kilometer, saya tiba di pintu Gerbang Tol Serang Timur, Kota Serang. Sinar mentari masih bersinar hangat dan lalu lalang kendaraan juga terlihat lengang. Perjalanan di pagi itu merupakan program sosial Critical Mind Care yang dirintis oleh Imani Foundation dalam bentuk sedekah buku, ensiklopedia, dan peranti literasi lain untuk anak-anak di komunitas diDan di sepanjang perjalanan, ungkapan life is about connecting the dots seperti terus terngiang di daun telinga. Ungkapan inspiratif dari mendiang pemikir dan tokoh bisnis kelahiran San Francisco, Steve Paul Jobs, ini seakan menjadi penyemangat untuk bersegera tiba di tempat tujuan.
Ya, saya kemudian menerjemahkan connecting the dots ini lebih dari sekadar menghubungkan titik geografis ataupun karya material, tetapi menghubungkan karakter kebaikan. Menghubungkan para orang baik kepada para orang baik lainnya, khususnya mereka yang membutuhkan uluran tangan dan dekapan kasih sayang.
Cerita bermula ketika pekan lalu saya bersilaturahim ke rumah tante saya di bilangan Homeland Town House, Ciputat, Tangerang Selatan. Di beberapa sudut ruangan rumah, saya dengan mudah menemukan banyak koleksi buku bacaan, mulai Death on the Nile-nya Agatha Christie, Ensiklopedia Britannica, hingga buku-buku referensi berketebalan ratusan halaman. Sore itu, saat hendak berpamitan, Tante menawarkan beberapa ensiklopedia untuk disedekahkan.
Gayung bersambut. Saya pun menghubungi Dyah Putri Ambarwati, Co-founder Rumah Singgah Pejuang Hati, Jakarta untuk menanyakan kemungkinan kebutuhan ensiklopedia untuk para pasien ataupun pendamping di Rumah Singgah. Dan melalui beliaulah, saya diperkenalkan dengan Tias Tatanka, Co-founder Rumah Dunia, Serang. Hingga kemudian melalui pembicaraan telefon, beliau mengizinkan saya untuk menyambangi Rumah Dunia.
Gol A (Guevara) Gong
Keberadaan Rumah Dunia ini sangat lekat dengan dua sosok pendirinya yang sekaligus adalah pasangan suami istri; adalah Gol A Gong dan Tias Tatanka. Gol A Gong kecil memiliki impian mendirikan sebuah gelanggang remaja di tanah kelahirannya di Serang. Impian ini tidak sekadar hiasan ucapan. Gong yang pernah bercita-cita menjadi seorang guru ini menemui realitas sosial minimnya fasilitas alih-alih dukungan pada dunia literasi, khususnya sastra. Di tahun '90-an, Kota Serang nyaris tidak memiliki satu pun toko buku, panggung pementasan, apalagi gedung bioskop. Untuk itu Gol A Gong harus merelakan diri untuk bepergian Serang -- Jakarta -- Bandung untuk menyalurkan kecintaannya pada dunia sastra dan juga menempuh pendidikan di Sastra Indonesia, Universitas Padjadjaran, Bandung.
Dan kurang lebih satu dekade kemudian, Gol A Gong pun menikah dengan seorang gadis kelahiran Solo, Tias Tatanka. Kehadiran sosok Tias Tatanka, tidak saja memberi penyemangat bagi seorang Gol A Gong menjalani hidup tetapi juga menjadi pelengkap bagi ambisinya dalam mewujudkan gelanggang remaja.
Meskipun begitu, saya justru mencoba memberi tafsir atas sosok Gol A Gong ini dari titi mangsa prapernikahannya dengan Tias Tatanka, yakni melalui sebuah karya populis Balada si Roy. Novel yang dirilis tahun '90-an --- ini berarti masa ketika saya masih berseragam putih abu-abu dan sedang getol-getolnya melahap Neraka Puncak Lawu-nya Bastian Tito, memperdengarkan keras-keras "Creep"-nya Radio Head atau "Enter Sandman"-nya Metallica --- ini berkisah tentang petualangan anak muda SMA bernama Roy.
Roy dikisahkan sebagai anak sekolah pindahan dari Bandung yang memulai kehidupan barunya di sebuah kota kecil di Banten. Ia memulai harinya dengan mengayuh sepeda balap menuju sekolah, sebuah headphone yang terpasang di daun telinga, walkman yang menggantung di ikat pinggang, seekor herder yang setia menemani, berikut kostum blue jeans Levi's yang belel sehingga mirip celana abu-abu anak SMA. Setiba di sekolah, Roy sudah "disambut" dengan empat sosok koboi angkuh yang nangkring di atas sebuah Hardtop. Cerita lalu berlanjut dengan lika-liku kehidupan Roy yang menjalani kehidupan di masa SMA-nya.
Walkman, jins, terutama Hardtop adalah ikon, yang dihadirkan oleh Gol A Gong sebagai simbol-simbol "kekuatan, petualangan, persaingan, juga kesempurnaan," yang jika disarikan akan bermuara pada satu entri: idealisme. Roy adalah Gol A Gong itu sendiri, yang menerjemahkan dunia sebagai area eksplorasi dan aktualisasi diri.
Gol A Gong, mengingatkan saya pada sosok sekaligus simbol pemimpin revolusioner Kuba Ernesto Che Guevara. Keduanya memiliki idealisme yang sama, yakni membangun manusia baru.Â
Gol A Gong hendak membangun dunia baru yang literat yang menjadikan sisi literasi sebagai bagian dari setiap anak tangga dalam perjalanan hidup. Sementara Guevara hendak membangun dunia baru yang sosialis, yang menjadikan setiap orang punya hak atas kepemilikan komunal. Gong membangun Indonesia melalui kata. Sementara Guevara mengubah Kuba melalui senjata.
 Manusia baru yang diharapkan terbangun oleh Gol A Gong adalah manusia yang mampu memanfaatkan ranah kata berikut derivasinya; naskah, teks, gambar, foto, video, panggung, juga media baru internet menjadi katalis bagi kehidupan yang lebih baik.Â
Meskipun begitu, satu yang harus dipahami oleh setiap orang adalah perubahan yang sudah ada maupun yang kelak kita ciptakan senantiasa diikuti oleh adanya ujian, tantangan, tekanan, dan bahkan dalam banyak hal adalah ancaman.Â
Gong pernah bergelut dengan Banten Pos dan Meridian, tabloid berbasis komunitas yang kemudian harus menelan pil pahit bertahan enam bulan karena dinilai terlalu kritis dan kontra pemerintah.Â
Gong juga harus rela "kehilangan" tahta demi menyelamatkan institusi literasi agung Dewan Perpustakaan Banten. Sama seperti Guevara yang juga harus bertahan dalam Pertempuran Las Mercedes dan "kehilangan" para gerilyawan dalam Pertempuran Santa Clara.
Gong punya sepeda --- saya benar-benar melihatnya langsung di salah satu sudut ruang kerjanya di Rumah Dunia --- yang digunakannya untuk menelusuri sudut-sudut perawan Kota Serang.Â
Guevara juga punya sepeda motor yang digunakannya untuk mendaki Maccu Picchu di Pegunungan Andes. Gong pernah menjadi Duta Baca untuk Indonesia. Guevara juga pernah menjadi Duta Delegasi Kuba untuk Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Namun, baik Gong maupun Guevara, keduanya juga sama-sama mendirikan rumah-rumah literasi karena keduanya paham benar bahwa pendidikan adalah warisan paling berharga bagi para generasi bangsa.
Gong dan Guevara adalah simbol perlawanan akan ketidakadilan tirani dan ideologi. Dalam konteks literasi, Gong bahkan menyampaikannya dengan kalimat satir yang sangat sederhana, "Percuma nulis buat hobi. Jadilah dokter yang kamu bisa menulis. Jadilah arsitek yang kamu juga bisa menulis. Jadilah apa pun yang kamu mau dan jadikan tulisan sebagai sandaran bagi setiap titian anak tangga dalam perjalanan hidupmu."
Kuba memang punya beret hat-nya Ernesto Che Guevara. Kita pun layak bangga karena Indonesia juga punya bucket hat-nya Heri "Gol A Gong" Hendrayana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H