Mohon tunggu...
Agus Sujarwo
Agus Sujarwo Mohon Tunggu... Guru - Founder Imani Foundation

Founder Imani Foundation

Selanjutnya

Tutup

Politik

Strategi Keamanan Laut Nasional: Kembali pada Kearifan Lokal, Belajar dari Starbucks

6 Juli 2023   01:22 Diperbarui: 6 Juli 2023   01:46 274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kredit Foto dan Video: Al-Fatih Izzi Imani

Rabu, 5 Juli 2023, seiring semburat surya di ufuk timur, saya bergegas menuju Hotel Borobudur, Jakarta, untuk memenuhi undangan dari lembaga kemaritiman Indonesia Ocean Justice Initiative yang dikirimkan melalui email oleh harian KOMPAS, Jakarta.

Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) bekerja sama dengan Kemenko Polhukam RI menyelenggarakan Seminar dan Lokakarya Keamanan Laut dengan tema "Pembangunan Keamanan Laut untuk Mendukung Pencapaian Target RPJPN 2025 -- 2045" yang bertempat di Sumba Room, Lt. 2, Hotel Borobudur, Jakarta.

Seminar dan lokakarya ini menghadirkan narasumber Anggota Komisi I dan Badan Legislasi DPR RI Christina Aryani, S.H., M.H., Anggota Komisi I dan Co-chair Kaukus Kelautan DPR RI Bobby Adhityo Rizaldi, S.E., Ak., M.B.A., CFE, Asisten Operasi Kepala Staf TNI Angkatan Laut RI Laksamana Muda TNI Denih Hendrata, S.E., M.M., CHRMP --- hadir mewakili Kepala Staf TNI Angkatan Laut RI Laksamana TNI Muhammad Ali, S.E., M.M., M.TR. OPSLA., Peneliti Senior Rajaratnam School of International Studies Nanyang Technological University Singapore Swee Lean Collin Koh, PhD., Kepala Badan Keamanan Laut RI Laksamana Madya TNI Dr. Aan Kurnia, S.Sos., M.M., CEO Indonesia Ocean Justice Initiative Dr. Mas Achmad Santosa, S.H, L.LM., dan Deputi Bidang Politik Hukum dan Keamanan Bappenas RI Bogat Widyatmoko, S.E., M.A.

Di samping narasumber, turut hadir perwakilan negara sahabat yakni Duta Besar Norwegia untuk Republik Indonesia Rut Krger Giverin dan Duta Besar Jepang untuk Republik Indonesia Kanasugi Kenji, dengan moderasi oleh Program Director Indonesia Ocean Justice Initiative Grace Binowo, S.H. --- peraih gelar Runner Up III Puteri Indonesia 2010 Yayasan Puteri Indonesia, Jakarta.


Pada sesi keynote speech, Menteri Polhukam RI Prof. Dr. H. Mohammad Mahfud Mahmodin, S.H., S.U., M.IP., mengawali dengan penyataan bahwa Indonesia menempati peringkat ke-14 dari negara terluas dan negara kepulauan terbesar di dunia. Secara goegrafis posisi wilayah NKRI terletak di antara dua benua, yaitu Asia dan Australia dan dua samudera, yakni Samudera Pacific dan Samudera Hindia. Maka dilihat dari luas wilayah perairan Indonesia, wilayah yurisdiksi Indonesia dan jumlah pulau yang dimiliki sebanyak 17.508 pulau, posisi secara geografis berdampak pada tingginya aktivitas kemaritiman dan kepentingan dengan segala permasalahannya, baik skala nasional maupun skala internasional.

Lebih lanjut terkait dengan tema seminar, Mahfud menegaskan, wilayah perairan dan letak geografis yang strategis dan kekayaan alam yang melimpah yang terkandung di laut juga mengandung potensi ancaman. Ancaman tersebut didominasi oleh ancaman nontradisional, seperti pelanggaran wilayah, penangkapan ikan secara ilegal, penyelundupan orang maupun barang, penyelundupan narkotika, dan pencemaran lingkungan.

Budaya Kontinen menuju Budaya Bahari

Secara filosofis-semantis, Mahfud mengajak pemerintah, pemangku kebijakan, dan seluruh rakyat Indonesia untuk mulai mengenal dan mengamalkan budaya bahari melalui sebuah perumpamaan yang sangat sederhana; ekosistem kelautan.

Ekosistem kelautan ini dapat dipahami melalui dua pendekatan. Pertama, pendekatan parsial, bahwa lautan senantiasa identik dengan gelombang dan badai. Namun, siapa pun yang sedang berlayar di atas kapal, nyaris tidak merasakan gelombang air yang deras yang berulang kali terus menghantam dinding-dinding kapal. Gelombang ini diibaratkan dengan riak ataupun perbedaan yang terjadi di dalam masyarakat. Perbedaan boleh dan memang seharusnya ada namun seyogianya tidak sampai mengguncangkan kerukunan dalam berbangsa dan bernegara.  

Kedua, pendekatan komprehensif, bahwa lautan yang jika dilihat dari sisi kejauhan senantiasa terlihat landai dan luas membentang. Dan siapa pun yang sedang melihat dari kejauhan, adanya kapal-kapal yang berlayar di tengah lautan seolah mereka terlihat diam ataupun melaju tenang tanpa gangguan alih-alih ancaman.

Inilah peradaban bahari yang seyogianya mulai kita perkenalkan, pahamkan, dan jalankan. Apa pun bentuk perbedaan; ras, suku, golongan, tradisi, cara, teknologi, bahkan keyakinan, hadir untuk mempertegas persamaan dan bukan untuk mempertajam perbedaan.

Budaya bahari, sebagaimana yang diamanatkan oleh beliau ini, kemudian menjadi semacam penerang, bahwa (strategi) keamanan kelautan kita pada akhirnya hanya bersinggungan dengan dua hal. Pertama, cara kita memahami dan merangkul perbedaan yang ada di dalam sistem kemaritiman nasional. Ini ibaratkan pendekatan parsial yang memandang sisi maritim dari sisi detail. Kedua, cara kita memahami dan merangkul perbedaan yang ada di dalam sistem kemaritiman internasional, dengan salah satu komponennya adalah sistem kemaritiman nusantara. Dan ini ibaratkan pendekatan komprehensif yang memandang sisi maritim dari skala yang lebih luas dan menyeluruh.

Kembali pada Kearifan Lokal, Belajar dari Starbucks

Mari kita mulai dengan pendekatan parsial. Namun mungkin kita tidak akan membahas tentang laut yang begitu luas baik dari sisi teritorial maupun keanekaragaman ekosistem di dalamnya, tetapi sungai.

Saya teringat kembali pada masa-masa ketika dulu masih berusia menjelang remaja. Saya tinggal di Desa Pandanrejo, Kecamatan Kaligesing, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Desa yang dikenal sebagai sentra pembibitan nasional kambing ettawa ini adalah sebuah desa yang memiliki ketinggian 820 di atas permukaan laut dan menjadi salah satu bagian dari kawasan Perbukitan Menoreh yang membentang dari utara di Kabupaten Magelang ke selatan di Kabupaten Purworejo. Dengan ketinggian tersebut, setiap menjelang senja, hawa dinginnya mulai terasa menyentuh tubuh. Terlebih jika malam apalagi dinihari tiba.

Saat lulus sekolah dasar, saya melanjutkan pendidikan ke Kota Purworejo. Jarak yang harus ditempuh dari rumah menuju kota adalah sejauh 21 kilometer, hampir 40 kali lipat lebih jauh dibandingkan dengan jarak dari rumah ke sekolah sebelumnya. Almarhum ayah saya, biasanya membangunkan saya pukul 2 pagi, bahkan ayam jantan pun barangkali masih terlelap bersama mimpinya. Di saat ayah saya menjerang air untuk saya mandi, saya biasanya ikut nimbrung dengan menghangatkan badan di dekat tungku perapian. Untuk diketahui, bagi warga kampung pembeda antara mereka yang sering dan mereka yang jarang menghangatkan badan di perapian, dapat terlihat dari bagian betis depan mereka. Mereka yang sering menghangatkan badan di dekat tungku perapian, biasanya bagian betis depannya seperti pecah dan bergaris-garis.

Menjelang pukul 3 pagi, saya biasanya sudah selesai mandi, berseragam sekolah, menyantap "sarapan pagi", menyelempangkan tas, membuka pintu rumah, lalu berdiri di depan rumah untuk menunggu mobil pickup yang hendak menjemput atau mengantarkan para pedagang yang hendak menuju ke kota. Bisa dibayangkan, di dalam mobil pickup itu saya biasanya ditemani aneka pisang mentah, nangka, kapulaga, cengkih, kelapa, apa pun sumber daya alam yang bisa ditukarkan menjadi uang oleh para pedagang setibanya mereka nanti di kota.

Kisah kemudian berlanjut ketika musim penghujan tiba. Mobil pickup ini harus melewati Jembatan Liwung --- masyarakat Purworejo lazim menyebut dengan Buh Liwung, sepanjang 120 meter yang membentang di atas Sungai Bogowonto, Kabupaten Purworejo.

Sekilas kembali ke er akolonial dan juga dikaitkan dengan tema keamanan laut nasional ini, Jembatan Liwung ini juga menyimpan sisi heroik. Pemerintah kolonial Belanda pertama kali melakukan Agresi Militer II di wilayah Yogyakarta pada 19 Desember 1948. Satu tahun kemudian, agresi ini menyentuh wilayah Kabupaten Purworejo. Jembatan Liwung ini adalah penghubung antara wilayah Purworejo, di Jawa Tengah dan wilayah Kulon Progo, di Yogyakarta. Untuk itulah, TNI berusaha untuk menghambat laju agresi Belanda ini dengan berusaha melakukan pengeboman Jembatan Liwung.

Usaha pertama dilakukan oleh Kompi Soebiandono yang terdiri atas Seksi Letda Kemis, Letda Legiman, dan Letda Soeparman. Mereka menuju sasaran melewati Bulus, Kalinongko, dan Baledono. Namun, sesampainya di lokasi, jembatan ini dijaga oleh anjing-anjing NICA. Akibat kurangnya persenjataan, pasukan TNI mundur dan dipecah menjadi dua kelompok, sebagian menuju Cangkrep dan sebagian lain menuju Tambakrejo. Serangan terus berlanjut hingga sore harinya yang mengakibatkan pasukan TNI harus mundur sampai ke Desa Somongari, Kecamatan Kaligesing.

Sebagai tindak lanjut dari kegagalan aksi pertama ini, dilakukan usaha kedua pada pertengahan Februari 1949 oleh tiga Tentara Genie Pelajar yang merupakan mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Mereka bertiga mendatangi KODIM Kaligesing dengan maksud melakukan survei Jembatan Liwung. Setelah survei, mereka menyiapkan bumbung-bumbung dari bambu petung yang berdiameter 14 sentimeter dengan panjang ruas 70 sentimeter untuk dirakit menjadi bom bumbung. Pada malam harinya, dibantu oleh 12 kawan-kawan mereka, mulai memasang bom di jembatan. Dan tepat tengah malam dengan kabel penyulut sepanjang 40 meter, bom-bom berhasil diledakkan dan jembatan pun berhasil terputus.

Kini kita kembali ke era sekitar '90-an, arus lalu lintas kendaraan yang melintasi Jembatan Liwung ini sempat terputus, bukan karena bom melainkan disebabkan tingginya debit air sungai dan derasnya curah hujan. Selama beberapa hari, masyarakat bahkan kendaraan bermotor yang hendak menyeberang baik dari desa ke kota ataupun sebaliknya harus menyeberang membelah derasnya arus sungai menggunakan perahu kayu yang terbuat dari kumpulan bambu yang lazim disebut dengan getek.

Satu demi satu, para penumpang ini naik ke atas getek, termasuk sepeda juga kendaraan bermotor. Nyaris tidak ada pegangan untuk dijadikan tumpuan, alih-alih atap untuk dijadikan tempat berteduh dari terik matahari. Para pengayuh getek ini hanya bermodalkan dua alat, yakni getek dan batang bambu panjang. Getek digunakan untuk mengangkut para penumpang sedangkan bambu panjang digunakan untuk menjadi sandaran atau tumpuan bambu ke dasar sungai. Setiap kali batang bambu ini dialihkan, maka getek pun ikut bergerak sesuai arah haluan. Hampir mirip fungsi seperti dayung hanya saja batang bambu ini sangat panjang sehingga bisa menyentuh permukaan dasar sungai.

Sementara itu di bibir sungai, kendaraan-kendaraan roda empat yang hendak menuju ke kota ataupun sebaliknya menuju ke desa, memiliki dua opsi. Pertama, memutar arah perjalanan melewati wilayah Somongari dan Bagelen yang menempuh jarak lebih jauh dari biasanya dan secara otomatis juga melipatgandakan isian bahan bakar. Atau kedua, berhenti dan parkir menunggu atau mengantarkan penumpang di salah satu sisi jembatan, baik di sisi timur ataupun barat jembatan, tanpa bisa melewati jembatan.

Pahami, bahwa (sebatang) bambu, telah mengambil peran dalam menjaga keamanan sungai skala regional dan bahkan skala internasional. Pada tataran regional, bambu telah menjalani peran dengan sangat baik dengan beralih rupa menjadi sebuah getek yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat terutama saat dilanda bencana banjir dan tanah longsor. Dan di skala internasional, bambu juga telah menjalani peran dengan sangat baik dengan beralih rupa menjadi sebuah bom bambu petung sehingga menghalangi terjadinya agresi kemiliteran internasional.

Pertanyaan yang muncul kemudian, apakah keseluruhan strategi keamanan laut nasional harus kembali pada kearifan lokal. Bagi Anda yang sudah memahami filosofi-semantis yang disampaikan di awal tulisan ini tentu akan dengan lantang akan menjawab, "Tidak!" Dan memang demikian seharusnya bahwa kearifan lokal bukan sandaran absolut, namun kearifan lokal terbukti telah dan akan selalu memberikan peluang.

Sebagai penutup, kini dalam konteks yang lebih mendekat ke tema kemaritiman dengan subtema ancaman pencemaran lingkungan adalah keberadaan hulu sungai yang juga identik dengan moda perahu. Mari kita ambil sampel jukung. Perahu jukung adalah perahu tradisional yang berasal dari Kalimantan dengan memiliki ciri khas yang terletak pada proses pembuatannya yang menggunakan sistem pembakaran pada rongga batang kayu. Jukung yang terbuat dari batang pohon ini melalui proses dimekarkan dan dipanaskan dengan asap selama tujuh hari tujuh malam.

Secara pendekatan parsial-regional, dengan mengadopsi sistem teknologi terkini, jukung-jukung di Gili Lontar bisa ditanami dengan sistem kamera yang dapat mendeteksi penginderaan jarak dekat keberagaman biota laut (ocean wealth) di wilayah perairan Nusa Tenggara Barat. Sementara jukung-jukung di Pulau Pelangi juga bisa ditanami dengan sistem kamera yang dapat mendeteksi penginderaan jarak dekat keberlangsungan biota laut (ocean health) di wilayah perairan Kepulauan Seribu.

Kemudian secara pendekatan komprehensif-internasional, jukung-jukung yang beroperasi di kedua wilayah ini, baik di wilayah perairan Nusa Tenggara Barat dan Kepulauan Seribu, perlu diujicobakan di berbagai kondisi wilayah perairan yang berbeda, khususnya wilayah perairan internasional. Jika jukung-jukung ini mampu menjalani peran dengan baik dalam berbagai situasi dan kondisi yang berbeda, maka di sinilah standar keamanan hulu sungai sudah rampung ditegakkan.

Perhatian pada detail. Fokus pada mata rantai dari hulu ke hilir inilah yang nyata-nyata dijadikan sebagai landasan bisnis kedai kopi terkemuka asal Amerika, Starbucks.

Pertama pendekatan parsial. Saya lupa persisnya kapan saya memesan secangkir kopi karamel di salah satu kedai kopinya yang berada di lantai 5 Plaza Senayan, Jakarta Pusat. Tetapi satu hal yang saya ingat dan lakukan adalah saya menyebut kata grande ketika saya memesan satu cup caramel macchiato. Tail, venti dan grande adalah leksem-leksem ikonik skala regional yang disematkan oleh sang CEO Howard Schultz pada setiap kedai kopi yang ia dirikan.

Kedua, pendekatan komprehensif. Ketika seorang Schultz memandang Starbucks dari sisi luar. Ketika seorang Schultz menempatkan satu perspektif Starbucks di antara kedai-kedai, khususnya kedai-kedai kopi internasional lainnya. Di Amerika, Starbucks memiliki salah satu kedai dengan serai yang tumbuh di atap miring. Sementara jendela besar memungkinkan orang yang berjalan melewati kedai untuk melihat ke interior yang memiliki meja dan kursi kayu serta sofa kulit yang nyaman.

Lalu di Jepang, diperkenalkan menu teh hijau matcha atau daun teh bubuk dan remah kue dengan puding putih yang ramah dengan konsumen Asia yang menyukai kombinasi minuman dengan makanan padat. Sementara di Turki, kedainya dirancang untuk memanfaatkan ketinggian bangunan dan pemandangan indah di sekitarnya. Keempat lantai kedai, serta rooftop semuany menghadap ke Selat Bosphorus, dengan jendela tinggi yang memungkinkan setiap pengunjung kedai untuk duduk menikmati pemandangan sekitarnya. Lantas, di Switzerland, yang identik dengan wisata perbukitan yang indah, Starbucks telah menyulap sebuah kereta menjadi kendaraan yang lebih mewah dengan penambahan mobil Starbucks tingkat, dilengkapi bar dan display makanan kecil, serta lantai atas, tempat para penumpang kereta dapat memesan kopi dan menikmati kenyamanan jok yang berlapiskan kulit.

Baiklah, sampai di sini keduanya --- maritim dan Starbucks --- adalah hal yang berbeda. Yang pertama adalah sebuah zona teritorial dan yang kedua adalah sebuah merek dagang. Namun, salah satu hal yang mau tidak mau akan menyamakan keduanya adalah, cara merangkul perbedaan, sehingga berdaya di skala regional dan bermitra di skala internasional.

Jadi, jika seorang Bapak Sandiaga Uno memiliki slogan "UKM Go Digital", tidakkah sebaiknya Anda juga sepakat bahwa kelak seorang Bapak Mahfud juga boleh berultimatum "Nelayan Go Infantery"? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun