Butuh nyali besar untuk mengguyur sekujur badan dengan air pada pukul 1 dini hari. Bukan di rumah, melainkan di Edelweiss Homestay Wonokitri, yang berketinggian 2.700 meter di atas permukaan laut!
Usai berbenah, saya mencoba mengusir hawa dingin yang menusuk dengan secangkir kopi, yang bahkan panasnya cuma bertahan beberapa detik di dalam cangkir. Tepat pukul 3, saya keluar dari area penginapan menuju ke segerombolan Toyota Land Cruiser 40 Series yang siap mengantarkan saya untuk pertama kalinya melihat langsung pesona Gunung Bromo.
Diikuti mobil lainnya, mobil bertenaga 4000 cc ini melewati pintu masuk dan sorot lampunya mulai menyibak gulita malam Jalan Bromo yang terjal dan curam di kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Kurang dari satu jam, saya sudah sampai di Penanjakan 1 Bromo.
Rentetan kedai minuman makanan juga suvenir menghiasi sisi kanan dan kiri sepanjang jalan menuju Pos Penanjakan yang terletak di sisi atas. Sesampai di Pos, waktu masih menunjukkan pukul 3.45 WIBB. Uniknya, area pos sudah dipenuhi para wisatawan yang hendak menyaksikan langsung pemandangan matahari terbit.
Saya pun mencoba untuk menemukan ruang yang tepat, dan tentu saja aman agar juga dapat menyaksikan sang surya merekah di ufuk timur. Masa penantian yang lebih mirip laiknya peristiwa gerhana matahari total, enggan untuk mengedipkan mata barang sekejap.
Saya sangat bersyukur karena pagi itu, mulai dari cahaya kecil, hingga lama-lama membesar, dari titik putih hingga kemudian benar-benar bersinar, sang mentari tidak malu-malu menampilkan pesona keindahannya.
Seiring semburat yang mulai menebar. Perlahan pemandangan di sekitar Pos Penanjakan pun juga semakin terlihat jelas. Nun jauh di bawah tempat saya berdiri, hamparan pasir nan luas membentang, dua puncak bukit yang nyaris kembar seakan menyembul dari dalam permukaan bumi: salah satunya Gunung Bromo!
Kendali Pikiran
Sahabat, seindah-indahnya cahaya mentari yang bersinar nun jauh di atas cakrawala, hati ini masih senantiasa tergoda untuk melirik seonggok mahakarya yang terdiam di bawah sana: lautan pasir, pura suci, kepulan asap, lubang kawah, hijau ilalang, juga bentang tebing yang seakan kukuh membentengi eksotisme Bromo.
Di mana pun kita berada saat ini, terutama ketika berada di sebuah ketinggian — dahan pepohonan, puncak perbukitan, sisi ngarai, lembah pegunungan, kamar teratas apartemen, kursi penerbangan pesawat — seindah-indah pemandangan di atas sana, kita senantiasa tergoda untuk mengerlingkan mata ke arah di bawah kita.
Itu adalah belaian terindah, kecupan teragung bagaimana cara sang Pencipta untuk selalu mengingatkan kita, bahwa dari titik (ter) rendah itu kita bermula. Saat Anda terbang di ketinggian, sebelumnya Anda berada di bandara bukan? Saat Anda bersenam yoga di lantai paling atas apartemen, sebelumnya Anda berada di lantai dasar bukan? Kalaupun kemudian kita berdalih, “Tidak, saya ke sini menggunakan pesawat jet pribadi, jadi saya tidak melewati lantai dasar.” Ingat, pesawat pun juga memiliki landasan bukan?