Mohon tunggu...
Allessandra Tobing
Allessandra Tobing Mohon Tunggu... -

A student who enjoys the quietness of life yet always far from it

Selanjutnya

Tutup

Politik

Konstruksi Makna Sang Pemimpin

23 November 2017   18:39 Diperbarui: 23 November 2017   18:43 1328
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menyemai Politik Makna Menuai Kekuasaan

Politisasi makna untuk kekuasaan merupakan praktek politik yang sangat lazim terjadi. Terutama dalam mendapatkan legitimasi kekuasaan dari masyarakat. Agar masyarakat diam, patuh dan tidak mempertanyakan pemerintah, sangat penting untuk mengkonstruksi makna dalam berpolitik.

Konstruksi ini dilakukan melalui propaganda yang terus-menerus ditelan oleh masyarakat. Pemikiran ini merupakan dasar seorang ahli politik Michel Foucault, yang kemudian dilanjutkan oleh Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe.

Gagasan Foucault sudah banyak diterapkan, baik setelah dan sesudah Ia mempopulerkannya. Penguasa rezim fasis seperti Hitler dan Mussolini menerapkan konstruksi makna terhadap lawan politiknya melalui perfilman.

Dalam bukunya, Mein Kampf, Hitler mengatakan, "Gambar... termasuk film... jauh lebih cepat ketimbang bacaan untuk membuat orang memahami pesan-pesan tertentu," Kemudian Ia menerapkannya dengan mengeluarkan film-film propaganda anti-semitik seperti Die Rothschild(1940) dan Der ewige Jude(1940). Kesuksesan propaganda tersebut terlihat dari masa kejayaan Nazi. Yahudi bukan saja musuh orang Jerman, tetapi mereka pantas dibunuh.

Bagaimana Indonesia?

Kemudian, gagasan dan praktek ini terjadi di Indonesia. Besarnya pengaruh politisasi makna terjadi di tahun-tahun saat rezim Orde Baru berkuasa. Walaupun bukan pemimpin fasis, Soeharto menerapkan teknik propaganda yang dilakukan relatif serupa oleh Hitler.

Dalam membangun imaji sebagai undisputed supreme leader and protector, dia mengkambing hitamkan Partai Komunis Indonesia sebagai kelompok teroris yang sudah membunuh putra-putra terbaik bangsa. Puncak pengukuhan makna tersebut adalah dengan menggunakan film Pengkhianatan G30S/PKI (1984). Film yang wajib ditonton oleh rakyat Indonesia pada saat itu.

Film tersebut merupakan propaganda yang sangat baik. Aksi-aksi berdarah dan keji yang dilakukan PKI dan kroninya diperlihatkan secara eksplisit. Seperti anggota gerwani yang menyileti dan menyiksa para jenderal sambil bernyanyi dan menari. Juga aksi membasuh muka dengan darah yang dilakukan oleh anak Jenderal D.I. Panjaitan. Aksi -- aksi tersebut sukses membuat ngeri masyarakat terhadap PKI.

Apa yang terjadi selanjutnya, menjadi mimpi buruk negara Indonesia. Soeharto yang memimpin Indonesia dengan kekuasaan autoritariannya, berhasil mencuci otak rakyat. Selama 32 tahun Ia berkuasa, masih tertanam di dalam benak rakyat bahwa PKI adalah musuh. Bahkan setelah reformasi, tidak ada keterangan lain diluar 'PKI musuh rakyat'.

PKI dan elemen-elemen yang berhubungan dengannya menjadi penanda apa saja yang menjadi musuh rakyat, yang kemudian dijadikan alat politik para politisi yang haus kekuasaan. Mayoritas rakyat, yang merupakan warisan orde baru atau masih dapat pendidikan khas era orde baru, percaya saja. Bahkan setelah terbitnya berkas-berkas sejarah PKI dan Indonesia yang dirilis oleh National Declassification Center, badan deklasifikasi dokumen-dokumen rahasia Amerika Serikat, masih saja rakyat menolak fakta.

Tidak hanya Soeharto yang memakai teknik politisasi makna, bahkan politisi dewasa ini masih menggunakannya. Contoh yang paling solid adalah konstruksi makna yang dilakukan oleh gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.

Dalam pidato pertamanya sebagai gubernur, Ia yang mendapatkan PhD ilmu politik dari Norther Illinois University dan dipilih 58% warga Jakarta mengatakan bahwa inilah saatnya pribumi berkuasa.

Melihat dari kondisi DKI Jakarta pada saat itu, Anies Baswedan seakan memberikan label bahwa yang 'berkuasa' alias pemimpin Jakarta dulu adalah non-pribumi. Ia menyempitkan makna 'pribumi' yang tadinya bermakna bangsa Indonesia, menjadi 'pribumi' yang bermakna 'orang Indonesia asli' atau 'orang-orang yang tidak mempunyai darah diluar melayu a.k.a. Cina, Arab, India dan lain-lain'.

Selanjutnya, dengan memasangkan kata 'pribumi' dan kata 'berkuasa' mengartikan bahwa yang selayaknya memimpin Jakarta adalah 'pribumi' yang sudah disempitkan maknanya.

Terjadinya surplus makna bahwa non-pribumi tidak layak berkuasa, menghasilkan antagonisme diantara warga Jakarta dan bangsa Indonesia secara luasnya.

Kondisi menyedihkan ini adalah hasil dari kehausan politisi untuk berkuasa dan mendapatkan legitimasi rakyatnya.

 Yang lebih menyedihkan adalah rakyatnya yang hanya menerima saja makna yang dipolitisasi tersebut. Semakin diamnya rakyat, semakin beringas serangan politisasi makna tersebut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun