Mohon tunggu...
Allessandra Tobing
Allessandra Tobing Mohon Tunggu... -

A student who enjoys the quietness of life yet always far from it

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kekayaan Indonesia yang Harus Dirawat

18 Januari 2017   09:31 Diperbarui: 18 Januari 2017   09:34 575
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia merupakan negara dengan masyarakat yang majemuk. Dengan total kurang lebih dua ratus lima puluh juta penduduk, Indonesia memiliki beragam budaya, mulai dari bahasa, adat, nilai-nilai dan norma, kerajinan, kesenian dan lain-lain. Budaya Ngaben di Bali, kerajinan batik dJawa pada umumnya, ukiran kayu dari Papua, tarian Saman dari Aceh dan berbagai jenis makanan khas dengan rasa dan aroma yang beragam.

Menurut Pierre L. van Berghe (Dadang Sudiadi, 2009, hal 35) masyarakat majemuk memiliki sifat dasar dimana adanya segmentasi ke dalam bentuk kelompok-kelompok yang sering kali memiliki kebudayaan, atau lebih tepat sub-kebudayaan, yang berbeda satu sama lain; memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi ke dalam lembaga-lembaga yang bersifat non-komplementer; di antara anggota masyarakat kurang mengembangkan konsensus atas nilai-nilai sosial dasar; secara reaktif integrasi sosial tumbuh atas paksaan (coercion) dan saling ketergantungan dalam bidang ekonomi; adanya dominasi politik oleh suatu kelompok atas kelompok yang lain.

Indonesia memiliki semua karakteristik sifat tersebut. Itu merupakan hal yang patut kita syukuri karena keberagaman tersebut adalah sebuah kekayaan. Di satu sisi menjadi hal yang menguntungkan, dan di sisi lainnya bisa mengakibatkan kerugian jika tidak dijaga dengan baik. Misalnya keberagaman dapat menimbulkan konflik tidak hanya antar budaya, tetapi agama dan ras. Untuk mendapatkan keuntungan dari keragaman itu, masyarakat Indonesia harus memiliki toleransi yang tinggi.  Toleransi ini dibangun secara struktural dan dimulai dari usia dini. Beberapa hal dapat dilakukan untuk mewujudkannya.

Pertama, pengenalan budaya di usia dini dalam keluarga dan masyarakat. Pengenalan budayadi usia dini sangatlah penting untuk membangun pola pikir. Anak dapat dibina melalui cerita rakyat (folklore)dan cerita anak yang mengekspos budaya lain, terutama mengenai nilai-nilai yang dianut, kearifan lokal dan cara masyarakatnya bertahan hidup. Dengan itu, anak dapat mengerti mengapa suatu budaya mempunyai respon berbeda-beda terhadap suatu situasi. 

Selain itu, pertunjukkan budaya yang diadakan dalam masyarakat dapat menjadi solusi efektif untuk mengenalkan suatu budaya, seperti pertunjukkan budaya barongsay. Pengenalan budaya seperti ini membangun interpretasi positif anak terhadap budaya. Karena, sesuai dengan teori interaksi simbolis, struktur sosial dibangun oleh interpretasi masyarakat.

Kedua, acara televisi yang memperlihatkan keragaman ras dan budaya. Masyarakat mempunyai kecenderungan menonton sinetron. Sinetron yang menampilkan keragaman budaya bisa menjadi awal untuk menghapus paradigma negatif masyarakat tentang budaya lain. Sinetron seperti Tukang Ojek Pengkolan yang menghadirkan tokoh-tokoh Betawi dan karakter bernama Tisna beretnis Sunda dan Nurmala beretnis Padang. Selain sinetron, pengenalan budaya dapat dilakukan seperti acara-acara di dalam channel Travel and Living Channel, dimana sang pembawa acara mengunjungi berbagai daerah dan mencoba berbaur dengan masyarakat lokal. Acara seperti ini membuat masyarakat mengetahui peradaban mereka, seperti bahasa, cara berpakaian, kuliner, aturan dan nilai yang dianut. Acara seperti ini menghadirkan suatu budaya tanpa prasangka karena fakta-fakta pembentuk budaya mereka.

Ketiga, reformasi kurikulum pendidikan yang lebih mengekspos informasi tentang beragam budaya, ras dan agama. Pendidikan adalah cara yang tepat dalam membangun kesadaran dan rasa hormat terhadap budaya lain. Hal ini seperti diutarakan dalam teori identitas sosial in-group oleh Henri Tajfel (1979). Pendidikan juga menjadi institusi untuk membangun identitas diri sebagai anggota dari suatu bangsa dan juga solidaritas dengan sesama anggota bangsa.

Selain itu, sekolah juga menjadi tempat menyemai toleransi dan solidaritas ini, dengan memasukkan materinya ke kurikulum. Sehingga reformasi kurikulum harus dilakukan. Akan tetapi harus hati-hati karena bisa seperti pedang bermata dua. Kemungkinannya, masih adanya enaga pendidik yang melakukan labelingdan sterotyping terhadap budaya, ras dan agama tertentu. Bila tenaga pendidik tidak mengerti pentingnya wawasan multikultural, reformasi kurikulum dapat berdampak distorsif dimana ada perspektif negatif. 

Guru sebagai orang tua dalam lingkungan formal di sekolah memiliki peran penting ini.  Sama seperti orang tua di lingkungan rumah, gurujuga berperan besar membangun karakter dan pola pikir anak didiknya. Sehingga, tenaga pendidik harus memiliki pemahaman yang tepat akan toleransi dan solidaritas.

Keempat adalah peran pemerintah yang tegas. Dewasa ini banyak sekali terjadi unjuk rasa yang berisikan hate speech terhadap suatu ras atau agama. Pemerintah meresponnya dengan mengeluarkan surat edaran mengenai larangan hate speech dan sanksinya. Ironisnya, tetap saja pelaku hate speech bertebaran dan tidak ditindak. Oleh karena itu, pemerintah sebagai pemegang kendali utama, harus bertindak tegas. Tidak ada gunanya membuat aturan baru bila tidak dilaksanakan atau tidak ada tindakan tegas untuk pelanggar. Pemerintah juga harus melakukan pengawasan media sosial agar pelaku hate speech dapat dihilangkan.

Selain itu, media sosial  merupakan sumber informasi yang dapat memobilisasi opini masyarakat. Pola pikir masyarakat akan berakibat pada perspektif mereka dalam memandang sebuah peristiwa. Sesuai dengan penelitian Solomon Asch (1951) tentang konformitas dimana masyarakat biasanya mengikuti konteks negatif atau positif yang disediakan media dan mengikuti pola pikir mayoritas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun