Selanjutnya, ada 9,43% kasus JKN yang ditolak akibat jenis pelayanan yang diminta tidak cukup dan ada 5,29% kasus akibat tidak sesuai jadwal pelayanan. Lalu, 2,34% kasus JKN ditolak akibat tidak memiliki pemeriksaan penunjang, 1,98% ditolak akibat tidak ada tenaga medis yang dibutuhkan sebagai pemberi layanan, dan 0,8% akibat tidak ada obat. Secara umum, kasus JKN ditolak turun sejak 2019. Ada 0,39% pemilik JKN yang ditolak ketika memeriksa kesehatan pada 2019.
Ombudsman RI menerima banyak pengaduan terkait praktik pembatasan layanan pasien peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau BPJS Kesehatan di sejumlah fasilitas kesehatan. Praktik ini dinilai diskriminatif sehingga perlu diawasi lebih ketat. Anggota Ombudsman RI, Robert Na Endi Jaweng, mengatakan, pelayanan kesehatan merupakan hak konstitusional setiap warga untuk mendapat perlindungan dari negara.Â
Akan tetapi, diskriminasi pelayanan kesehatan masih terus terjadi. Menurut Robert, dalam pelayanan di fasilitas kesehatan (faskes), pasien dengan pembiayaan sendiri dan asuransi cenderung lebih diutamakan. "Sementara pasien (pengguna) BPJS Kesehatan selalu dianaktirikan. Perlu pembenahan sistemik ke depan," ujarnya dalam diskusi "Rupa-rupa Masalah Kuota Layanan BPJS Kesehatan", di Jakarta
Artikel diatas adalah salah satu alasan mengapa banyak masyarakat yang tidak setuju atas adanya BPJS Kesehatan. Mereka menganggap banyak penyimpangan yang dilakukan terutama oleh masyarakat golongan mampu namun mereka memilih Fasilitas Kesehatan Tingkat 3 dan ketika terjadi tindakan opname di RS mereka melakukan upgrade. Ini menandakan bahwa masyarakat mampu tidak turut mendukung dan justru memanfaatkan fasiltas dari pemerintah yang sejatinya untuk masyarakat golongan menengah ke bawah.
Oleh karena itu maka perlu adanya kebijakan pemerintah yang bisa mengontrol hal tersebut supaya bisa dilakukan klasifikasi yang akurat berkaitan pendataan saat pendaftaran menjadi anggota BPJS. Adanya kemudahan dan akses khusus yang tidak berbelit-belit juga diperlukan untuk pelayanan terhadap pasien lanjut usia ataupun pra lansia. Dan yang tidak kalah penting adalah ketegasan pihak Rumah Sakit terhadap para oknum pegawai yang sering kali "meremehkan" pasien BPJS sehingga terjadi antrian yang tidak wajar dan bahkan juga pernah ditemukan adanya pungli (pungutan liar).
Tidak jarang juga ditemukan adanya penolakan pasien BPJS yang sebetulnya sangat urgent untuk segera ditangani, tapi semua itu terhambat hanya karena administrasi. Bahkan pula ada kejadian dimana pasien BPJS meninggal dunia akibat terlambat penanganan. Sungguh kejadian yang sanagt memilukan yang terjadi ke negara kita yang katanya Pro Rakyat Miskin (jargon yang sering digunakan oleh para calon pemimpin dan wakil rakyat saat berlaga di ajang Pemilu)
Sudah menjadi rahasia umum dimana diskriminasi itu sangatlah kental sehingga hal ini terbentuk paradigma negatif di sebagian besar masyarakat bahwa anggota BPJS sangat menyedihkan saat berobat ke Rumah Sakit terutama RS rujukan setelah mendapat surat rujukan di luar faskes yang ditunjuk karena memang alasan membutuhkan peralatan yang lebih tinggi dimana tidak tersedia di faskes pertama. Tidak jarang pasien terpaksa membayar ataupun beralih ke umum demi bisa mendapatkan perawatan yang memadai karena ini berhubungan dengan nyawa manusia.
Daftar Pusaka:
Dihni, V. A. (2021, 11 25). Bukan Jakarta, Penduduk yang Miliki BPJS di Provinsi Ini Terbanyak Se-Indonesia. Retrieved from databooks.katadata.co.id: https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/11/25/bukan-jakarta-penduduk-yang-miliki-bpjs-di-provinsi-ini-terbanyak-se-indonesia
Sinaga, T. M. (2023, Maret 1). Pembatasan Layanan Pasien BPJS Kesehatan Diskriminatif. Retrieved from kompas.id: https://www.kompas.id/baca/humaniora/2023/02/28/pembatasan-kuota-pasien-bpjs-kesehatan-diskriminatif
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H