Mohon tunggu...
Aditya Wisnu Pradana
Aditya Wisnu Pradana Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Hanya mencoba untuk berbagi apa yang saya ketahui dan pahami kepada Dunia luas

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Guru "Cubit" Murid, Siapa yang Salah?

12 Agustus 2016   11:52 Diperbarui: 13 Agustus 2016   16:53 1017
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: mypendidikan.net

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita tidak perlu jauh-jauh berkaca dari Finlandia yang diklaim banyak orang memiliki sistem pendidikan, terutama untuk sekolah dasar dan menengah, terbaik di Dunia. Tidak usah terlalu jauh, cukup tetangga terdekat kita saja, yang masih satu rumpun; Singapura. Iya, negara yang luasnya hanya sedikit lebih besar dari Jakarta ini juga dipandang oleh banyak orang memiliki sistem pendidikan yang sangat baik, bahkan salah satu yang terbaik di Asia dan Dunia. 

Kualitas lulusan-lulusan mereka dinilai sarat dengan prestasi di berbagai bidang. Terbukti, nilai Human Development Index mereka pada tahun 2014 berada di peringkat ke 11 Dunia, jauh dengan Indonesia yang hanya berada di posisi 110 Dunia. Di sini, penulis tidak bermaksud untuk membandingkan Indonesia dengan Singapura, karena jelas komposisi jumlah pelajar dan kualitas pemerataan pendidikan antar dua negara tersebut masih sangat jauh berbeda.

Namun setidaknya, kita bisa belajar dari mereka, setidaknya dari sebagian sisi sistem pendidikannya. Singapura adalah negara yang benar-benar menyadari betapa pentingnya pendidikan karakter dan budi pekerti bagi rakyatnya. Maka dari itu, sistem pendidikan di Singapura dibuat sedemikian rupa untuk dapat mengakomodasi kebutuhan pendidikan karakter dan budi pekerti agar dapat benar-benar ditanamkan sejak dini kepada para anak didiknya.

Murid-murid, terutama untuk tingkat pra-sekolah dan sekolah dasar, mendapatkan bobot mata pelajaran yang didominasi oleh mata pelajaran pengembangan kepribadian (soft skill), seperti bahasa ibu, pendidikan moral, budi pekerti, agama, dan sebagainya. Di sekolah menengah pun, mata pelajaran ini masih mendapatkan proporsi yang tidak kalah banyaknya dibandingkan dengan mata pelajaran sains. Sehingga tidaklah mengherankan jika lulusan Singapura tidak hanya sekedar cerdas dalam menguasai ilmu pengetahuan saja (hard skill), tetapi juga unggul dalam attitude.  

Bagaimana dengan Indonesia? Mungkin, Anda yang saat ini punya anak yang sedang duduk di bangku SD atau SMP bisa melihat sebentar rapot anak Anda dan silahkan coba bandingkan, berapa banyak komposisi mata pelajaran untuk soft skill, terutama untuk pengembangan moral; seperti PPKn, agama, dan sebagainya dengan mata pelajaran hard skill; seperti matematika, sains, dan sebagainya.

Apakah sudah seimbang? Tepatkah mata pelajaran hard skill tersebut mendominasi bobot mata pelajaran anak-anak kita, terutama anak-anak sekolah dasar yang justru sebenarnya masih sangat-sangat membutuhkan pendidikan moral dan budi pekerti? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun