Mohon tunggu...
Allegra Dedikasi
Allegra Dedikasi Mohon Tunggu... Lainnya - SMA N 1 Sungai Penuh

Menulis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Catatan Hitam Konflik Agraria di Indonesia

27 November 2023   20:01 Diperbarui: 27 November 2023   20:11 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: bengkuluinteraktif.com

Oleh:

Andrian Fazwa Zakhira, Fernandez Pratama Halim, Mutia Salsabila, Nayla Salma Nur Husna

(Siswa/i SMA Negeri 1 Sungai Penuh)

Tanah bagi kehidupan manusia mempunyai kedudukan yang sangat penting. Hal ini disebabkan karena hampir seluruh aspek kehidupan manusia terutama bagi negara kita yang tercinta tidak dapat terlepas dari keberadaan tanah sebagai hak dasar, hak atas tanah berarti sebagai tanda eksistensi, kebebasan, dan harkat diri seseorang. Di Indonesia sendiri terdapat Undang-Undang yang mengatur tentang HAM, salah satunya yaitu dalam UU Nomor 39 Tahun 1999, yang berbunyi "Setiap warga negara Indonesia berhak untuk secara bebas bergerak, berpindah, dan bertempat tinggal dalam wilayah negara Republik Indonesia."

 Meskipun terdapat Undang-Undang yang mengatur tentang HAM bagi setiap orang, tetapi masih banyak pelanggaran HAM yang terjadi khususnya di Indonesia. Seperti kasus pelanggaran HAM di Rempang. Kasus ini bermula pada saat terjadi kontroversi besar terkait penggusuran warga setempat oleh pihak berwenang yang mengarah pada pelanggaran HAM yang mencolok.

 Pemerintah awalnya berencana melakukan Pembangunan Rempang Eco city yang merupakan kawasan industri, perdagangan, hingga wisata yang ditujukan untuk mendorong daya saing dengna Singapura dan Malaysia yang telah direncanakan sejak tahun 2004. Tetapi warga setempat menolak karena mereka tidak ingin di pindahkan, sehingga terjadilah penggusuran secara paksa oleh pihak berwenang. Yang merugikan kurang lebih 700 kk, akibat penggusuran tersebut. Bahkan siswa SD yang sedang bersekolahpun harus menjadi korban akibat peristiwa itu. Banyak dari siswa SD yang mengalami trauma, gangguan psikologis, dan Kesehatan karena aksi penembakan Gas air mata yang memasuki Kawasan sekolah.

 Peristiwa penggusuran di rempang bukanlah hal yang baru terjadi di Indonesia, hal yang sama juga pernah terjadi di Transyoigi Depok, pada hari Juma'at tanggal 17 Juni 2022.

Peristiwa ini termasuk salah satu penggusuran yang kontroversial dan termasuk salah satu pelanggaran HAM terkait hak Kepemilikan Tanah dan juga ada isu pengabaian hukum, karena ternyata lahan yang bangunannya digusur ada bukti sertifikat hak milik atas tanah. Selain isu penghancuran properti, ada perampasan barang barang warga, proses hukum di kepolisian yang diabaikan, serta dugaan keterlibatan Aparat Negara. Penggusuran ini dilakukan secara paksa oleh sekitar 50 orang tanpa seragam dan atribut Aparatur Negara, yang mengatas namakan PT. PP Property Tbk. Mereka menggusur secara brutal dengan merobohkan bangunan diatas tanah tersebut dengan dalih pengosongan Lahan. Anehnya tindakan tersebut justru dijaga dan disaksikan oleh aparat negara yang diantaranya menyandang senjata api laras panjang. A

 Namun salah seorang korban bernama Jhon Simbolon  mengatakan bahwa ia telah memperoleh tanah tersebut berdasarkan Akta Jual Beli tanggal 24 September 1999 yang dibuat dihadapan Syamsul Faryeti, PPAT Wilayah Kecamatan Cimanggis Kota Depok, Jawa Barat. Bahkan pihaknya pernah diminta datang kekantor PP Property Tbk. Ia merasa percaya diri karna bukti yang dimiliki atas tanah tersebut tidak ada yang keliru. Namun pihak BUMN mengabaikan bukti tersebut. Kemudian tanah dan bangunannya di pagar seng sehingga akses keluar masuk tertutup. 

Puncak kesedihan terjadi saat orang orang yang diperintah oleh PT PP Property Tbk menggunakan dua unit buldozer untuk meratakan bangunan miliknya. Bahkan mirisnya bangunan yang digunakan untuk menampung para anak yatim piatu yang dikelola oleh yayasan Dhuafa juga digusur secara paksa. Namun dengan gaya seperti preman, jerit tangis anak anak yatim piatu  tersebut, tak menggerakkan nurani mereka agar bertindak lebih manusiawi. "Intinya, para warga hanya minta perlindungan hukum dan bisa meminta hak atas tanah bersertifikat kami dikembalikan seperti semula" ujar Ny. Mangatur Simanulang, istri dari Jhon Simbolon (Korban).

 Para pemilik tanah yang sebelumnya dipagar seng kini telah dipagari beton oleh PT. PP Property Tbk juga menyampaikan pengaduan yang sama, sambil memperlihatkan foto bukti sertifikat hak milik. Bahkan diantaranya menyatakan, tanah mereka sudah divalidasi dikantor Pertanahan Nasional. "Jika bukti-bukti yang kami miliki tidak diakui negara, kepada siapa lagi kami harus mengadu," ujar salah seorang pengadu. Atas tindakan penggusuran oleh pihak PT PP Property, Tbk, maka beberapa warga telah membuat laporan di Polres Metro Depok. Namun, pihak kepolisian justru menyatakan  menghentikan penyelidikan, tanpa alasan jelas. Hal ini mengakibatkan para warga merasa tidak mendapatkan perlindungan hukum atas hak milik tanah dan bangunannya.

Kasus transyogi hanyalah satu dari beribu-ribu kasus sengketa tanah di Indonesia yang terus menemui jalan buntu. Adanya mafia tanah, konflik relasi kuasa, keterlibatan aparatur negara dengan mafia tanah, dan ketidakpastian hukum menjadi hambatan kasus-kasus sengketa tanah di Indonesia. Permasalahan terkait sengketa tanah bukanlah masalah yang bisa dianggap sepele karena menyangkut kemerdekaan dan kedaulatan pemiliknya dan sudah seharusnya menjadi perhatian dari berbagai instansi negara yang bersangkutan.

Padahal penyelesaian masalah sengketa tanah bisa dilaksanakan melalui proses litigasi maupun proses non-litigasi. Yang mana proses litigasi adalah proses penyelesaian sengketa melalui pengadilan. Ini melibatkan pengajuan gugatan, tanggapan, presentasi bukti dan pleidoi, dengan tujuan mencapai putusan pengadilan untuk menyelesaikan sengketa. Proses ini dapat mencakup beberapa tahap, seperti mediasi atau negosiasi sebelum masuk kepengadilan. Langkah- langkahnya melibatkan sidang pembukaan, sidang pembuktian, dan akhirnya pengadilan mengeluarkan putusan yang mengakhiri sengketa. Sedangkan proses non-litigasi adalah proses penyelesian sengketa yang dilakukan di luar persidangan atau sering disebut dengan alternatif penyelesaian sengketa. Ini mencakup metode alternatif seperti mediasi, negosiasi, arbitrase, dan fasilitasi, di mana pihak yang bersengketa berusaha mencapai kesepakatan tanpa melibatkan sidang pengadilan. Proses ini lebih fleksibel, cepat, dan dapat mengurangi biaya serta memberikan pihak yang bersengketa lebih banyak kendali atas penyelesaian sengketa mereka.      

Bahkan ada banyak Undang-Undang tentang penanganan dan penyelesaian kasus pertanahan. Sebenarnya ada banyak solusi penyelesaian permasalahan ini yang bisa dilakukan. Namun lagi lagi karena kurangnya pengawasan dari pemerintah, ketidakprofesionalan aparatur yang berkaitan, kurangnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya kepemilikan hak milik atas tanah, dan kurangnya edukasi dari instansi yang bersangkutan tentang pentingnya sertifikat hak milik tanah menjadi batu hambatan baru  penyelesaian masalah ini. Yang mana kami berharap kasus kasus seperti sengketa tanah dapat ditindaklanjuti dengan tegas dan diberikan sangksi yang sesuai dengan pertauran perundang-undangan terkait hak milik atas tanah agar tidak terjadi lagi kasus seperti sengketa tanah ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun