Oleh:
Kayza Azura Nur Riski, Jihan Jasmine Haifa, Â M. Iqbal Prananda, danÂ
M. Rava RahmanaÂ(Siswa/i SMA Negeri 1 Sungai Penuh)
Sejarah selalu memiliki sisi menarik yang membentuk peradaban suatu Bangsa. Namun, dibalik gemerlap kisah pemenang, terkadang terselip narasi-narasi yang terabaikan dan terlupakan. Seperti yang kita dengar dengan istilah Sejarah ditulis oleh para pemenang.
Sudah 73 tahun sejak disahkannya Lambang Negara kita yakni Elang Rajawali Garuda Pancasila. Lambang Garuda Pancasila ini di rancang oleh Sultan Hamid II, yang mana beliau mampu membujuk Ratu Juliana agar Belanda Bersedia menyerahkan kedaulatan seluruh wilayah bekas jajahannya di Hindia-Belanda kepada RIS.  Beliau juga pernah menjabat sebagai Menteri Negara Zonder  Porta Folio pada masa Presiden Soekarno (RIS), dan ketua BFO atau Permusyawaratan Negara-negara dalam Konferensi Meja Bundar.Â
 Sultan Hamid II dalam sejarah kontemporer Indonesia meskipun pernah menjabat sebagai petinggi pada masa RIS pertama, namun nasibnya masuk kedalam golongan yang kalah. Jasa mulianya seperti terlupakan begitu saja setelah dia terjerat kasus Kudeta Westerling.
Melihat kontribusinya kepada Indonesia pada zaman dahulu membuat dia mendapat usulan agar mendapatkan gelar Pahlawan. Namun setelah melihat riwayat keterlibatannya terhadap kontroversi Kudeta Westerling tahun 1950, gelar Pahlawan yang di sematkan kepada Sultan Hamid II Â dipertanyaka kembali. dIa diduga terlibat dalam kudeta tersebut, dan dianggap ingin membunuh Menteri Pertahanan RI Sri Sultan Hamengkubowono IX. Dan banyak nya pemikiran-pemikiran Sehingga dia diduga bersekutu dengan APRA untuk mendririkan Negara Sempalan yang bernama Negara Pasundan. Dia diadili dan dihukum 10 Â tahun penjara. Â Pemikiran itu dilandasi dengan adanya perselisihan pendapat antara Sultan Hamid II dan Sultan Hamengkubowono IX.Â
Ini semua berawal pada tahun 1933 ketika Sultan Hamid II yang tertarik masuk Akademi Militer Belanda di Breda, Belanda. Dan ini membawanya bertemu dengan Sultan Hamengkubowono IX. Pada saat ini mereka berdua merupakan orang yang saling bertolak belakang. Hamid yang tertarik dengan Belanda, sedangkan Hamengkubowono IX yang tidak menyukai Belanda . Alasan lain mengapa sejarawan Anhar Gonggong tidak setuju Sultan Hamid II mendapat gelar Pahlawan Nasional adalah karena, pada tahun 1946 Sultan Hamid II naik pangkat menjadi Mayor Jenderal KNIL dan membuat nya diangkat sebagai ajudan istimewa Ratu Kerajaan Belanda, Wilhelimina.
Sultan Hamid II berpandapat bahwa sebagai Negara kepulauan, Indonesia lebih cocok menjadi Negara Federasi . Pada tahun 1949 Indonesia dalam kondisi terpecah karena, Belanda masuk kembali dan mendirikan beberapa Negara boneka . Hamid memperjuangkan Sitem federal, Meskipun banyak para tokoh-tokoh Politik yang kontra terhadap nya karena dia diduga pro terhadap belanda.
 Pada 22 Agustus --  2  November 1946 diselenggarakan sidang KMB  di Den Haag, Belanda. Hasil rapat tersebut adalah terbentuknya Repubik Indonesia Serikat (RIS). Dan pengakuan kedaulatan terhadap RIS dilakukan pada 27 Desember 1949 dengan di lantiknya Soekarno sebagai presiden dan Mohammad Hatta sebagai perdena menteri.
 Hubungan antara Sultan Hamid II dengan Westerling berjalan baik. Westerling sendiri tidak setuju Soekarno menjadi Presiden di RIS. Situasi ini makin memanas ketika Hamid mulai kesal kepada orang-orang yang berupaya mengubah Indonesia menjadi Negara Kesatuan.  Sehingga Westerling dan Hamid berencana untuk melakukan penyerangan di sidang Dewan RIS pada 24 Januari 1950. Dan menargetkan untuk menenmbak mati seketika itu juga  orang-orang yang bersikeras menjadikan Indonesia Negara Kesatuan dengan mebuat gerakan bawah tanah. Yang mana menargetkan tiga tokoh yaitu, Hamengkubowono IX, Ali Budiaedjo, dan T.B Simatoepang. Walaupun di akhir perencanaan, Sultan Hamid II mengaku telah mengundurkan diri dari perencanaan tersebut dan ingin membatalkan penyerangan.
 Namun Sultan Hamid II tetap ditangkap oleh Hamengkubowono IX atas perintah Jaksa Agung RIS Tirtawinata. Bebarapa waktu setelah itu RIS dibubarkan dan Indonesia kembali menjadi Negara Kesatuan. Dalam kampanye terbuka dan diskusi yang diadakan di Kalimantan Barat untuk mengoreksi ulang pandangan sejarah yang salah mengenai Sultan Hamid II. Mereka menginginkan pengakuan atas jasa Sultan Hamid II sebagai perancang Lambang Negara.
 Kejanggalan mengenai UU Hak Cipta di Indonesia seolah melupakan jasa perancang Lambang Negara ini.  Nama Sultan Hamid II tidak disebutkan sebagai perancang Lambang Negara. Diskriminasi hukum ini membutuhkan penyelesaian agar jasa penting Sultan Hamid II diakui secara resmi oleh Negara yang dibelanya. Cerita Sultan Hamid II mengajari kita untuk menghargai sejarah yang sebenarnya dan mengangkat jasa para pahlawan dan tokoh yang telah berjuang demi Indonesia.
 Namu lagi-lagi ini yang membuat masyarakat sebagian terbelah secara ideologis dan dihinngapi sisa-sisa residu trauma kolektif konflik pada masa lalu. Ada suara-suara yang ingin nama baik Sultan Hamid II kembali dipulihkan dan diberi gelar sebagai "Pahlawan Nasional". Namu tak sedikit yang setuju bahwa Sultan Hamid II di beri gelar seperti itu, mereka memandang bahwa Sutan Hamid II ialah benar-benar pengkhianat kepada Negeri ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H