Mohon tunggu...
Devi Nur
Devi Nur Mohon Tunggu... Freelancer - Jangan bosan menulis, membaca dan mendengarkan.

Terima kasih sudah menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mama Tidak Marah?

27 September 2020   14:57 Diperbarui: 27 September 2020   15:10 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setiap kelas sudah riuh ketika bel pulang berbunyi nyaring di sudut kelas bagian atas. Ada yang buru-buru memasukkan kertas ulangan ke dalam tas, tidak peduli akan jadi lecek atau justru sudah tidak berwujud. Ada yang meninggalkan kertas ulangannya begitu saja di laci karena nilai tidak sesuai ekspektasi. Kemudian keluar kelas seperti tidak terjadi apa-apa hari ini. Aku? Aku masih ragu-ragu antara membawanya pulang atau meninggalkannya di laci seperti temanku tadi.

Kutengok Zico, wajahnya sudah mulai merah ketakutan. Pasti sudah membayangkan bagaimana reaksi Tante Irma ketika melihat nilai ulangannya. Dengan tarikan napas yang panjang dan hembusan perlahan, Zico memasukkan kertas ulangan ke dalam tas. Kemudian melangkah keluar kelas dengan pasti. Aku perlahan melipat kertas ulangan dan memasukkannya ke dalam tas kemudian keluar kelas. Udara di luar cukup segar karena hujan baru saja berhenti sepuluh menit yang lalu.

Sampai di pintu masuk perumahan aku berhenti sejenak, kemudian mengayuh sepeda lagi. Tiba-tiba terdengar sesuatu, seseorang perempuan yang marah-marah. Aku semakin penasaran dan ternyata Tante Irma kecewa dengan Zico.

"Kamu belajar nggak sih. Sudah Mama masukkan di bimbel terkenal, belajar siang malam masih aja nilainya segini. Kamu nggak lihat si Melati? Dia setiap ulangan nilainya selalu bagus apalagi Matematika. Mama nggak mau tahu, kamu harus dapat nilai bagus kalau ada ulangan lagi. Kalau nggak, uang jajan akan Mama kurangi atau mungkin nggak dapat sama sekali. Hari ini ada les Matematika, jangan lupa."

Tante Irma masuk rumah dengan hati yang kesal. Zico tanpa sengaja melihat ke arahku dengan wajah yang sedih, berkeringat dan terasa panas. Mungkin juga kakinya sudah berat masuk rumah atau mungkin neraka dunia baginya itu rumah. Zico merupakan anak yang penurut pada Mamanya, tidak pernah membantah atau memang tidak diberi cukup waktu untuk berpendapat. Apa yang dikatakan Mamanya selalu dilakukannya, termasuk urusan bimbel.

Satu minggu sebelum ulangan Zico mengajakku pergi ke kedai es krim milik Bang Faisal. Zico membelikanku es krim vanila karena dia suka, sedangkan aku sukanya cokelat. Ternyata ada curhat yang ingin dituangkannya kepadaku. Terlihat dari wajahnya yang begitu murung dan tidak bersemangat memasukkan sesendok es krim ke dalam mulut. Sebelum bercerita, Zico menarik napas panjang kemudian menghembuskan perlahan. Katanya dengan melakukan seperti perasaan menjadi lebih tenang. Zico juga sering melakukannya sebelum menghadap Mamanya.

Ternyata Zico tidak suka masuk bimbel yang sekarang ini. Sangat tertekan, hampir setiap kali pertemuan selalu diberi setumpuk soal Matematika dan harus dikumpulkan di pertemuan berikutnya. Belum lagi harus mengerjakan minimal 10 soal ketika di kelas dalam waktu yang cukup singkat. Zico juga tidak ada teman dalam kelasnya, itu artinya Mamanya memilih paket private.

Tidak ada rasa nyaman yang menyelimuti Zico meskipun fasilitas yang diberikan cukup lengkap, termasuk Wi-Fi gratis. Keinginan Zico adalah les seni entah itu melukis, menggambar, desain ataupun musik, bukan Matematika. Menurutnya, bimbel Matematika adalah sebuah alat untuk membunuh hobi dan mimpinya. Zico juga menjelaskan bahwa satu bulan lalu pensil gambar dan cat warna miliknya di sita Mama. Hal itu yang membuat Zico memilih menggambar di kelas dan meninggalkan hasilnya di laci. Aku pernah melihatnya dan itu sangat bagus sekali.

Ingatan itu membuatku bergegas menuju rumah dan menyiapkan diri untuk mendapatkan apa yang didapatkan Zico barusan. Aku tidak boleh lemah, aku tidak boleh terlihat lemah.

Mama menyambutku dengan senyuman ketika meletakkan sayur diatas meja makan. Kakiku melangkah menuju kamar, mengganti pakaian, mencuci tangan dan kaki kemudian makan siang. Tidak lupa kertas ulangan kubawa serta. Ini lebih baik daripada Mama tahu sendiri dari kamarku. Aku duduk berhadapan dengan Mama yang hari ini terlihat cerah dan bahagia. Apa aku harus merusak bahagia Mama dengan nilai ulangan hari ini? Apa besok saja? Tidak, tetap harus hari ini.

"Ulangannya bagaimana, Mas?"

Aku mengangkat kepala, terkejut. Perlahan mengeluarkan kertas ulangan dari saku yang sudah kulipat menjadi lebih kecil. Perlahan dengan gemetar, kuserahkan pada Mama. Wajahku tersembunyi dalam, tidak ingin melihat wajah marah Mama.

"Mas?" panggil Mama perlahan dan wajahku masih tersembunyi, tidak berani kutunjukkan pada dunia yang setiap harinya semakin kejam.

"Mas, lihat Mama," lanjut Mama perlahan. Suara Mama memang lembut apalagi ketika memberi saran pada anaknya.

Baiklah, aku memberanikan diri menunjukkan wajah takutku pada Mama.

"Mas El pasti mengira Mama akan seperti Tante Irma?"

Aku mengangguk perlahan. Eh, tunggu, darimana Mama tahu?

"Mama tadi juga dengar Tante Irma marah sama Zico. Tapi, ini Mama, Mas. Bukan Tante Irma."

"Maafin Mas El, Ma."

"Buat apa minta maaf, Mas El enggak salah kok. Mas El sudah berusaha keras belajar siang malam, ngerjain soal-soal. Mama juga tahu kalo Mas El belajar sampai larut malam, tidur di meja belajar. Mama tahu semua perjuangan Mas El. Apa Mas El berpikir Mama nanti marah-marah gitu? Iya?"

Aku mengangguk perlahan.

"Mas El. Mas? Coba lihat Mama."

Mataku tepat menatap mata Mama.

"Mama nggak marah dan Mama nggak akan membandingkan Mas El sama Melati. Bagi Mama, setiap anak itu unik. Setiap anak memiliki potensinya masing-masing dan setiap anak memiliki kebutuhan yang berbeda-beda. Bukan Mas El yang harus menyesuaikan dengan Mama, tapi sebaliknya. Membandingkan Mas El dengan Melati, sama saja Mama menuntut Mas El menjadi orang lain. Setiap anak memiliki dirinya masing-masing, tidak boleh dituntut untuk menjadi orang lain nanti dia kehilangan arah."

"Tapi, apa Mama nggak pengen punya anak kayak Melati yang rajin belajar, nilainya selalu bagus."

"Kalau Mama menuntut sama saja membunuh Mas El."

"Ha?"

"Iya. Nanti Mama membunuh cita-cita dan mimpi Mas El. Banyak orang tua yang mengedepankan ego dan bilang demi kebaikan anaknya. Mas? Mama nggak menuntut apa-apa, Mama mendukung cita-cita Mas El selagi itu baik. Mama nggak mau membunuh mimpi Mas El hidup-hidup."

"Tapi Mas El takut kalau Mama malu karena nilai Matematikanya jelek."

"Ada seorang pelukis yang tidak harus mendapatkan nilai 100 ketika ulangan Matematika. Ada seorang musisi yang tidak harus tahu mengenai dasar-dasar Kimia, larutan dan sejenisnya. Ada seorang pengacara yang tidak harus paham apa itu Fisika dasar dan teman-temannya. Kemudian seorang Fisikawan tidak perlu paham hak asuh anak ketika di pengadilan. Tapi seseorang yang ingin mengejar cita-citanya harus paham apa itu berjuang, gagal, lelah, istirahat sebentar kemudian bangkit dan berjalan lagi. Dan yang paling penting lagi adalah setiap profesi harus bisa menghargai profesi lainnya. Bukan merendahkan dan menganggapnya remeh. Semua profesi itu saling melengkapi, Mas."

Aku diam. Aku diam seribu bahasa, menatap mata Mama.

"Mama serius nggak marah? Nggak marahin Mas El?" Aku memastikan lagi.

"Mas? Perlu berapa kali Mama bilang? Marah tidak membuat anak patuh dan menurut nasehat orang tua. Tapi, orang tua harus tegas, bukan marah-marah. Lagian marah itu capek, Mas. Keluar tenaganya banyak, Mama nggak suka. Mending masak ada hasilnya, bikin kenyang pula."

Mama tersenyum, akupun begitu. Itulah Mamaku, seorang ibu anak satu tanpa suami sejak satu tahun lalu. Sebab suaminya (mantan suminya) lebih memilih perempuan lain daripada istrinya sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun