[caption caption="Ilustrasi | s-media-cache-ak0.pinimg.com"][/caption]Hidup ini hanya sekerat
Tak lebih panjang dari sealiran urat
Tak lebih mulia dari sepenggal do’a
Tak lebih nista dari seonggok sisa dipagi buta
Tak lebih hebat dari setetes mani jadikan raga
Â
Kita sama, begitu katamu saat hendak menjabat
Kita senasib, begitu teriakmu dipanggung sandiwara,
Kita saudara, begitu igaumu tak kala langit mengencingi kepala,
Kita seiya sekata, begitu mimpimu takkala harap tak berhasil kau gapai
Â
Benarkah?
Bukankah ceritamu hanya sisa nasi basi yang kau bagikan?
Bukankah teriakmu hanya sepenggal sadiwara bisu yang engkau perankan?
Bukankah igaumu hanya mimpi sore hari ketika ajal telah mencekik lehermu?
Bukankah mimpimu hanya ilusi saat mentari menyinari dustamu?
Â
Hey bung!!!
Â
Ingatlah, kemeja putihmu penuh dengan janji yang belum engkau tepati,
Ingatlah, senyum munafikmu masih engkau simpan disaku maksiatmu,
Ingatlah, sandaran empuk kursimu terbuat dari belulang ringkih masih menjerit kelaparan,
Ingatlah, mungkin dalam do’amu engkalu lupa memohon kebenaran atas nestapa mereka yang menjadikanmu manusia
Â
Andai engkau lupa, biarlah….
Andai engkau tak lagi ingat, tak mengapa…
Â
Tapi cobalah renungkan sejenak…
Â
Mungkin masih ada sisa relung hatimu yang belum menghitam
Mungkin masih ada cahaya redup yang belum padam
Mungkin masih ada remah kebenaran yang belum tercabik
Â
Tapi jika tak ada lagi yang tersisa...
Â
Biarlah, aku bisikan padamu
Do’a orang-orang teraniyaya itu, lebih didengar Tuhannya dari permohonan maafmu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H