Mohon tunggu...
Aldy M. Aripin
Aldy M. Aripin Mohon Tunggu... Administrasi - Pengembara

Suami dari seorang istri, ayah dari dua orang anak dan eyang dari tiga orang putu. Blog Pribadi : www.personfield.web.id

Selanjutnya

Tutup

Politik

Benarkah Calon Pimpinan KPK Tidak Sah?

24 September 2015   08:44 Diperbarui: 25 September 2015   02:42 714
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Panitia Seleksi Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi | Kompas.com/Sabrina Asril"][/caption]Menurut perumus Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi, Prof. Romli Atmasasmita, menyatakan bahwa calon pimpinan KPK pilihan pansel KPK illegal, karena menurut sang professor dalam Pasal 21 ayat (4) Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantans Korupsi menyebutkan bahwa pimpinan KPK terdiri dari penyidik dan penuntut umum, karena unsur tersebut tidak terpenuhi maka calon yang sudah ditetapkan pansel harus dibatalkan. Benarkah seperti itu?

Bersandar pada pernyataan Prof. Romli, memang kedelapan calon yang diserahkan pansel KPK kepada Presiden tidak terdapat unsur dari kejaksaan sebagai bentuk representasi penuntut umum.  Prof. Romli menafsirkan yang dimaksud dengan penuntut umum dalam pasal tersebut adalah calon yang berasal dari kejaksaan.

Pernyataan Prof. Romli berbeda dengan peernyataan pansel KPK. Ketua Pansel KPK Destry Damayanti membantah dengan tegas pernyataan Prof. Romli.  Menurut Damayanti yang dimaksud dalam pasal tersebut adalah melekatnya fungsi penyidik dan penuntut umum pada setiap pimpinan KPK.  Saat seseorang diangkat menjadi pimpinan KPK, tak perduli berasal dari institusi manapun, maka dengan sendirinya pimpinan KPK menjadi seorang penyidik sekaligus penuntut umum.

Ini sebuah kekacauan yang dibuat oleh ahli hukum dan perumus undang-undang KPK itu sendiri, bukannya mendukung malah membuat pernyataan yang berpotensi menjadi polemik.  Padahal Prof. Romli adalah perumus undang-undang KPK dan selama ini tidak ada pernah dipermasalah karena secara kebetulan calon pimpinan yang diajukan kepada presiden selalu terdapat unsur dari kejaksaan.

Perbedaan tafsir ini seharusnya tidak perlu terjadi jika saja pada penjelasan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi disebutkan dengan jelas yang dimaksud oleh Pasal 32 ayat (4) tersebut.  Jika dalam penjelasan tersebut disebutkan dengan tegas yang dimaksud dengan unsur penyidik dan penuntut umum adalah calon yang berasal dari institusi Kejaksaan dan Kepolisian.

Saat ini pun seharusnya tidaklah menjadi polemik, jika Prof. Romli tidak menafsirkan lain sesuai dengan seleranya sendiri. Nyatanya, dalam penjelasan disebut sudah jelas.  Artinya tidak ada yang perlu diperdebatkan lagi, karena masing-masing pihak sudah memahami tujuan yang dimaksud. 

Mencermati ulang bunyi pasal 21 ayat (4), tersebut :

(4) Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana  dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah penyidik dan penuntut umum.

Dari bunyi pasal tersebut tidak ada norma yang mewajibkan bahwa pimpinan KPK harus dari unsur penyidik dan penuntut umum, norma yang terkandung didalamnya justru menyiratkan bahwa semua pimpinan KPK yang terpilih dengan sendirinya menjadi penyidik dan penuntut umum, sebagaimana sanggahan ketua Pansel KPK, Destry Damayanti.

Agak sulit dicerna jika Pansel KPK yang kesemuanya perempuan tersebut salah menafsirkan, karena seperti yang diungkapkan oleh Destry, sebelumnya telah terjadi diskusi dan perdebatan mengenai tafsiran pasal tersebut yang akhirnya disepakati bahwa yang dimaksud bukanlah calon yang berasal dari penyidik (kepolisian) dan penuntut umum (kejaksaan).

Lagipula layak kiranya dipertanyakan, mengapa Prof. Romli baru mempermasalahkan setelah nama-nama tersebut diserahkan kepada Presiden, bukankah lebih baik jika sebelum diserahkan?  Agak menggelikan juga, orang yang merumuskan justru mempertanyakan produk yang dibuatnya sendiri.  Ada-ada saja, kesan yang tertangkap bukannya memberikan masukan tapi malah mengacaukan proses pemilihan. Ingat umur Pak, sudah bukan saatnya lagi cari sensasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun