Mengacu kepada Undang-undang nomor 23 tahun 2014, pasal 224, ayat 2 menyebutkan bahwa Bupati/wali kota wajib mengangkat camat dari pegawai negeri sipil yang menguasai pengetahuan teknis pemerintahan dan memenuhi persyaratan kepegawaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kewenangan Bupati/Wali Kota ini yang kemudian menjadi pangkal masalah yang terjadi didaerah. Ada Bupati yang mengangkat seorang camat hanya karena balas budi atau semacamnya atau menjadi tim sukses secara tidak langsung saat berlangsungnya pemilihan bupati. Bahkan tidak lagi melihat dan memperhatikan kompetensi dan kualifikasi dasar pengangkatan camat. Yang penting si calon camat pegawai negeri sipil (Aparat Sipil Negara). Persyaratan ini sudah dianggap cukup, mengenai persyaratan lainnya boleh diabaikan.
Secara kebetulan saya kenal dengan seorang camat di Kabupaten Melawi, basis pendidikan beliau tenaga kesehatan. Karena Camat saat ini harus bergelar sarjana (strata-1), untuk memenuhi kualifikasi itu, dilakonilah pendidikan kilat untuk mendapat gelar kesarjanaan. Dengan begitu Syarat sebagai PNS (ASN) dan Sarjana sudah terpenuhi, jabatan camat sudah boleh disandang, tinggal surat keputusan dari Kepala Daerah Tingkat II, karena sebelumnya terlibat sebagai tim sukses, makin melancarkan jalan sebagai camat. Selesai perkara.
Saya juga kenal dengan camat lainnya yang basis pendidikannya sebagai guru, karena beliau lulusan FKIP, otomatis bergelar strata-1, tidak ada lagi yang menjadi halangan untuk ditempatkan sebagai seorang kepala daerah di kecamatan.
Kedua contoh kasus diatas, memberikan gambaran betapa lulusan IPDN kadang seperti terabaikan, apalagi jika sang lulusan tidak pandai melakoni politik angkat telur, mengertinya hanya bekerja berdasarkan ilmu pemerintahan dan ilmu agama yang diyakininya, maka makin terpinggirkanlah dari persaingan.
Peluang diatas semakin besar jika pada sebuah daerah belum mampu menerapkan sistem pemerintahan good governance, sehingga nepotisme masih subur dipraktekan. Untuk pemerintahan propinsi selevel Jakarta saja masih banyak terjadi nepotisme, maka jangan lagi dipertanyakan sistem yang berlangsung didaerah.
Tetapi, kita juga tidak bisa mengabaikan ada banyak daerah sudah mulai menerapkan pemerintahan yang baik, walaupun nepotisme masih saja terjadi tetapi jumlahnya sudah bisa ditekan sampai pada titik terendah yang bisa dilakukan. Hanya dengan menekan nepotisme, persaingan sebagai pamong praja (camat) dapat berlangsung secara adil.
Lulusan IPDN Apa yang harus anda lakukan?
Tidak ada pilihan kecuali bersaing secara sehat, jika masih tetap setia menjunjung tinggi idealisme sebagai seorang pamongpraja atau cara yang lebih mudah terlibat langsung dalam permainan nepostisme dan praktek balas budi dengan menjadi tim sukses kepala daerah.
Jika sudah terlibat dalam permainan dengan sendirinya predikat sebagai lulusan IPDN tidak lagi terlalu diperlukan, karena yang menjadi kriteria bukan lagi kemampuan ilmu pemerintahan yang diperlukan tetapi ilmu memenangkan pertandingan dan ilmu menyenangkan atasan lebih diprioritaskan.Â
Lulusan IPDN tidak lagi eksklusif, tidak lagi mendapat perlakuan instimewa walaupun mereka memiliki ilmu pemerintahan yang lebih baik dari non lulusan IPDN, dikondisi ini, lulusan IPDN menjadi sama dengan lulusan non IPDN, kalau sudah begini, masihkan IPDN perlu dipertahankan?
Tetapi yang sering diabaikan dan terjadi saat ini, adalah ilmu pemerintahan dan manajerial, sehingga tidak heran jika camat sering ditemukan tidak ada ditempat, gagal melakukan koordinasi dengan Kapolsek untuk urusan keamanan dan koramil untuk urusan hankam. Karena ketidakpahaman itu, akibatnya kapolsek dan koramil sering dibuat berdiri sendiri dan ada pula dijadikan semacam jongos oleh camat yang merasa superior. Disaat seperti ini, lulusan IPDN yang lebih mumpuni dalam ilmu pemerintahan dan manajerial diperlukan dan kejelian kepala daerah tingkat II menjadi sangat penting agar tidak terjadi salah penempatan dan pengangkatan yang pada muaranya merugikan rakyat dan kepala daerah itu sendiri.