[caption caption="Ilustrasi | kompas.com"][/caption]
Ilustrasi | kompas.com
Sudah jamak disaat hari Raya Idulfitri kita saling bermaafan, antara keluarga, kerabat, sanak family, sahabat, teman bahkan dengan musuh sekalipun. Masalahnya, adakah permohonan dan pemberian maaf diberikan dengan tulus dan iklas? Sehingga momen saling memaafkan tersebut menjadikan kita manusia baru sebagaimana layaknya Idulfitri?
Meminta dan memohon maaf sebenarnya gampang-gampang susah, sebagian orang menganggap mudah meminta dan member maaf dan sebagian lagi sulit meminta dan memberi maaf, di kompasiana sendiri ada ratusan tulisan yang memberikan tips dan petunjuk memberi dan meminta maaf (silahkan cari dengan kata kunci “belajar memaafkan”), mereka yang gambang meminta dan memberi maaf umumnya mereka yang masuk dalam kategori “easy going”, sementara yang sulit meminta maaf biasanya terkungkung dengan perasaan gengsi, malu dan tidak tahu harus memulai dari mana untuk meminta atau memberi maaf.
Kebetulan dua hari kedepan, Umat Muslim akan merayakan Idulfitri 1436H, momen ini bisa dimanfaatkan untuk meminta dan memberi maaf, keuntungannya kita tidak perlu merasa malu atau gengsi karena permintaan dan pemberian maaf itu bisa dibungkus dengan silaturahmi di hari IdulFitri, yang paling utama adalah keiklasan dan ketulusan hati meminta dan memberi maaf dan jangan memikirkan bungkusnya berupa silaturahmi hari Idulfitri.
Memohon dan memberi maaf tak cukup hanya lisan
Tidak akan memberikan manfaat apa-apa jika permohonan dan pemberian maaf hanya sedakar “lib service”, karena ganjalan dan dendam dalam hati tidak akan terkikis dengan sempurna, pemberian dan permintaan maaf seperti ini hanya indah ditampilan tapi tak ada nilai tambah apapun. Berbeda jika pemohonan dan pemberian maaf dilakukan dengan hati yang iklas, ganjalan dan dendam hati akan hilang sehingga memberikan rasa nyaman yang tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata.
Permintaan maaf yang tulus adakalanya tidak mendapatkan pemberian maaf tulus, jika ini yang terjadi (karena kita tidak mungkin mengetahui dengan persis isi hati orang yang kita mintai maaf), berfikirlah positif bahwa setidaknya kita sudah berusaha untuk meminta maaf dan percayalah, yang telah kita lakukan tersebut akan memberikan perasaan lapang dihati (naifnya, secara tidak langsung kita sudah mengalihkan rasa bersalah tersebut kepada orang yang kita mintai maaf).
Jangan menunggu, tapi jemput bola.
Jika kita dalam posisi sebagai orang yang harus memberi maaf, jangan menunggu orang yang melakukan kesalahan kepada kita untuk memberikan maaf, jika pada hari-hari biasa masih sulit untuk memberikan maaf, manfaatkan momen Idulfitri tahun ini sebagai titik awal kita menghapus segala dendam kesumat dihati dengan membuka pintu maaf sebesar-besarnya, memaafkan orang-orang yang pernah melakukan kesalahan atau kita anggap melakukan kesalahan terhadap kita, baik itu bertemu langsung dengan orangnya atau tidak. Dengan cara seperti ini, jangan pernah takut dicap sebagai orang yang pengecut atau sebagai orang yang plin-plan karena pada akhirnya kita memaafkan seseorang, tidak ada ruginya yang ada justru memberikan manfaat secara fisik dan psikis kepada kita.
Pemberian maaf sebagai Refleksi Diri
Perasaan bersalah yang terkandung dalam hati, bisa menjadi senjata pembunuh yang tak terlihat, kebencian yang tak terhingga tidak akan memberikan manfaat apa-apa selain rasa sakit yang tidak terperikan. Cobalah kita membalikan keadaan, bagaimana rasanya memiliki perasaan bersalah yang tidak dimaafkan. Dengan cara merefleksikan rasa bersalah, kita akan tahu atau setidaknya kita akan coba merasakan sakitnya menanggung kesalahan yang tak termaafkan. Saya percaya, refleksi seperti akan meruntuhkan rasa ego, gensi dan tinggi hati yang bersemayam dihati, kecuali jika kita menderita kelainan senang melihat orang lain menderita.
Manfaat memaafkan bagi kesehatan jiwa.
GM Susetyo, Psikolog dari GMS HRD Consultant menengarai memafaatkan memberikan manfaat yang sangat besar terhadap kesehatan jiwa seseorang, bahkan memaafkan dapat berdampak terhadap perkembangan kepribadian seseorang.
Secara spesifik, GM Susetyo menjelaskan bahwa memaafkan adalah perkara pribadi yang sangat menekan, untuk menguranginya memaafkan secara tulus merupakan langkah yang baik, karena memaafkan bersifat therapeutic (menyembuhkan).
Jika memaafkan memberikan manfaat yang sedemikian besar, mengapa kita harus mempertahankan gensi, tinggi hati dan rasa sakit hati yang berkepanjangan yang pada akhirnya merugikan diri sendiri? Sekali kita mampu memaafkan, maka proses selanjutnya akan semakin mudah dan kita berubah menjadi insan pemaaf yang berguna bagi diri sendiri dan orang lain.
Momen Idulfitri 1436H, menjadi tonggak, menjadi titik balik yang paling pas untuk memulai tanpa kita perlu merasa direndahkan atau turun derajat karenanya, sebaliknya kita rengkuh manfaat maaf yang sebesar-besarnya, bukan hanya untuk diri sendiri tetapi juga untuk orang-orang yang ada disekitar kita. Semoga.
Notes :
Tulisan ini tiada pun bermaksud menggurui sesiapapun yang membaca, hanyalah sebagai catatan pribadi, jika pun bermanfaat bagi sesama, sejatinya hanyalah efek samping dari sebuah tulisan ringkas memaknai kata maaf di momen hari Raya Idul Fitri. Souce Tambahan : kompasprint.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H