Benarkah kualitas guru rendah dikarenakan pemerintah belum mengembangkan profesionalisme dan kompentisi  yang terencana, sistematis, dan berkelanjutan? Apa fungsi dan peranan organisasi yang membawahi para guru? Ataukah memang guru itu sendiri yang sudah enggan meningkatkan kualitas diri?
Hasil uji kompetensi yang dilaksanakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan terhadap sekitar 1,6 juta guru taman kanak-kanak, sekolah dasar, sekolah luar biasa, sekolah menengah atas, dan sekolah menengah kejuruan, menunjukan hasil yang cukup mengecewakan, 1,3 juta guru memperoleh nilai dibawah 60 dari rentang nilai 0 sampai 100.
Hasil uji kompetensi yang sedemikian rendah menuai kritik dari sejumlah organisasi profesi guru, para pemimpin organisasi profesi menilai rendahnya hasil uji kompetensi dikarenakan :
- Pelatihan guru hanya dijadikan proyek.
Retno Listyarti, Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia, menilai bahwa selama ini pelatihan guru hanya dijadikan proyek, tanpa memikirkan hasilnya, apakah berkualitas atau tidak. Kasus ini pernah dialami sendiri, ketika mengikuti pelatihan tahun 1999 dan 2003. Informasi yang didapat oleh Retno juga menyebutkan hal seperti ini jamak terjadi didaerah-daerah.
- Jarang mengikuti pelatihan untuk meningkatkan kapasitas.
Jarangnya guru mengikuti pelatihan merupakan penyebab lainnya, mengapa kualitas guru sangat rendah, ini dibuktikan dari hari survey yang dilakukan oleh Federasi Serikat Guru Indonesia pada tahun 2012 di 29 kota/kabupaten menunjukan bahwa sekitar 62 persen guru SD tidak pernah ikut pelatihan, bahkan sampai pensiun.
- Tidak adanya pemetaan yang benar.
Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia Sulistiyo mengatakan, rendahkan hasil uji tersebut karena pembinaan yang sangat jarang dilakukan, bahkan Sulistyo balik menuduh pemerintah membuat citra guru tidak bermutu. Sulistyo juga menyarankan sebaiknya pemerintah melakukan pemetaan dengan benar dan utuh agar didapat dibuat pola pembinaan yang sesuai.
- Komitmen Pemerintah Daerah yang tidak stabil
Iwan Hermawan, Sekretaris Jenderal Federasi Guru Independen Indonesia, berpendapat, tidak stabilnya komitmen pemerintah daerah dalam memperhatikan kualitas guru sangat tergantung kepada perhatian kepala daerah, ini akan mengakibatkan kualitas guru menjadi tidak terkontrol walaupun dihasilkan dari lembaga pendidik yang baik. Disisi lain, pemerintah pusat tidak memiliki kewenangan langsung terhadap guru.
- Peningkatan Mutu Guru harus lebih terfokus.
Menurut Ketua Umum Asosiasi Kepala Sekolah Indonesia Cucu Saputra, peningkatan kompetensi guru selama ini lebih banyak diisi dengan kegiatan yang bersumber dari proyek pemerintah. Itu lebih berupa sosialisasi kebijakan pemerintah, terutama kurikulum baru. Seharusnya peningkatan mutu guru lebih berorientasi pada substansi kompetensi guru, yaitu pedagogis, profesional, kepribadian, dan sosial, sesuai dengan amanat Undang-Undang Guru dan Dosen.
Kenyataan ini pernah dan sering saya jumpai dilapangan, panitya yang tidak profesional, pemberitahuan yang cukup mendadak dan gurunya sendiri yang sudah cukup berumur, sehingga untuk mengikuti uji kompetensi dilakukan hanya sekedar untuk memenuhi persyaratan saja.
Dalam kondisi ini, saya mempertanyakan keberadaan organisasi profesi guru yang lahir belakangan setelah PGRI dianggap tidak mampu menyuarakan dan memfasilitasi kepentingan para guru. Jika kemudian yang keluar dari organisasi ini hanya bentuk kritik saja, menurut saya organisasi semacam ini tidak diperlukan dan mubajir. Menyalahkan pemerintah cara paling sederhana untuk mengelak dari tanggung jawab sebagai organisasi yang membawahi para guru tapi bukan cara terbaik untuk menyelesaikan masalah.
Keberadaan organisasi profesi guru seperti Persatuan Guru Republik Indonesia, Federasi Serikat Guru Indonesia dan Federasi Guru Independen Indonesia diharapkan mampu menjembatani keperluan dan kebutuhan para sebagai tenaga pendidik. Lembaga ini dibentuk bukan untuk kegiatan seremonial saja tapi lebih dari pada itu memperjuangkan dan melindungi nasib para guru.
Organisasi profesi para guru harus melakukan upaya-upaya perbaikan didukung maupun tidak didukung oleh pemerintah (emang ada organisasi ini yang tidak didukung pemerintah?), para petingginya jangan menjadikan organisasi yang dipimpinan sebagai batu loncatan untuk mencari jabatan dan pendapatan yang lebih tinggi, jika para guru kesulitan menghadapi kesulitan, lembaga-lembaga profesi inilah yang harus membantu mereka, bukan melemparkan tanggung jawab dengan menyalahkan pemerintah dan membiarkan penyelewengan terjadi didepan mata. Harusnya melakukan koordinasi dan bersinergi dengan pemerintah agar kekurangan yang terjadi selama ini dicarikan jalan keluarnya secara bersama-sama. Sudah bukan saatnya menjadi organisasi populis, kepentingan para anggota organisasi harus lebih dikedepankan agar organisasi memberikan manfaat kepada para anggotanya.
Jika para pemimpin induk organisasinya hanya bisa mengkritik tanpa berupaya mencari solusi, mengeluh dan membiarkan penyelewengan terjadi di depan mata, bagaimana dengan guru yang diwadahinya?
Sumber : kompasprint.com dan berbagai sumber lainnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H