Mohon tunggu...
Aldy M. Aripin
Aldy M. Aripin Mohon Tunggu... Administrasi - Pengembara

Suami dari seorang istri, ayah dari dua orang anak dan eyang dari tiga orang putu. Blog Pribadi : www.personfield.web.id

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Oleh-Oleh dari Pedalaman Kalbar: Mahalnya Biaya Transportasi dan Kesederhanaan Penduduk Setempat (I)

16 Mei 2015   06:13 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:56 470
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_417778" align="aligncenter" width="527" caption="Peta dari Google Map, tidak mampu memprediksi jalan yang harus ditempuh karena minimnya data, letak Desa Kesange sendiri tidak akurat | Dok. Pribadi"][/caption]

Deretan bukit-bukit landai dan sedang itu bagian dari Pegunungan Muller-Schwaner, membentang membelah Kalimantan, kini sebagian diantaranya merana dan meratap, mencoba tumbuh perlahan mengembalikan jati dirinya seperti dulu, sisa pembalakan gila-gilaan belasan tahun lalu masih tersisa dan endapan lumpur tebal menjadi saksi bisu yang tak sanggup lagi bergemuruh.

Tanggal 13-15 Mei 2015, saya menelusuri sungai Melawi Kalimantan Barat, sampai ke Kecamatan Paling Hulu yaitu Ambalau yang masih terletak di pinggir sungai Melawi dan menginap disebuah desa bernama Nanga Kesangei, yang terletak di pinggir sungai Ambalau  (anak sungai Melawi).

Menyaksikan kearifan hidup masyarakat setempat, dengan segala keserhanaan yang tersisa, padahal belasan tahun yang lalu dari sungai ini, pernah mengalir ribuan kubik kayu produksi HPH (Hak Pengusahaan Hutan) 100 hektar, deru mesin-mesin modern merambah hutan meraka tapi sayangnya kesejahteraan bukanlah menjadi milik mereka, mereka tetap saja menjadi masyarakat yang termarjinalkan.

[caption id="attachment_417779" align="aligncenter" width="527" caption="Perjalan ditempuh menggunakan Speed Boat 40Hp, melalui celah-celah bebatuan sungai, jika driver lengah sedikit saja, akan membahayakan semuanya | Dok. Pribadi"]

14317288891295188704
14317288891295188704
[/caption]

Keberangkatan ditempuh melalui jalur air, menggunakan speedboat 40 HP (Horse Power) selama kurang lebih 6 jam dari Nanga Pinoh, Kabupaten Melawi (mudik sungai/melawan arus).  Kondisi air yang sedang surut, membuat batu-batu besar kiri kanan sungai bermunculan, sedikit mempersulit dan membuat perjalanan rawan kecelakaan.  Setibanya di Desa Lekawai penjalanan dilanjutkan menggunakan kendaraan roda empat milik perkebunan sawit yang beroperasi didaerah tersebut, guyuran hujan menambah “dahsyatnya” jalan, tanjakan yang mencapai hampir 60 derajat serta tebing dan jurang menjadi menu yang cukup menakutkan.  Bagusnya driver kendaraan sudah sangat familiar dengan medan, sekitar jam 16:15 WIB, kami tiba di Desa Nanga Kesangei.

Hawa hangat masih terasa menyergap, padahal disekiling desa sudah mulai menghijau kembali dengan tumbuhnya hutan-hutan muda.  Salah seorang teman yang ikut dalam rombongan menawarkan menginap di tempat keluarganya, karena tidak ada pilhan lain, kami dengan senang hati menerima tawarannya.

[caption id="attachment_417780" align="aligncenter" width="527" caption="DiLanting inilah saya dan rombongan menginap selama tiga hari dua malam, tanpa biaya. Tetapi sudah menjadi kebiasaan, jika menginap di perkampungan kami membeli semua keperluan makan dan meminta bantuan tuan rumah mamasaknya | Dok. Pribadi"]

14317290711613146647
14317290711613146647
[/caption]

Tempat menginap terasa istimewa, karena rumah yang maksud adalah sebuah “lanting” diatas air, berukuran tidak terlalu besar, hanya ada sebuah kamar, ruang tamu, ruang display tempat berjualan (karena alasan tertentu, ruangan tidak digunakan lagi) dan ruang makan.  Perapian dan toilet berada diluar lanting utama.

Keramahan keluarga ditempat kami menginap sangat terasa, walaupun saya hanya mengerti beberapa kata bahasa yang mereka gunakan. (percakapan sehari-hari, mereka menggunakan bahasa Ut Danum (Arok-arok), bahasa ini sama persis dengan bahasa Dohoi yang digunakan sebagian masyarakat Kalimantan Tengah yang ada di jalur sungai Senamang,  tetapi ketika berhadapan dengan tamu, mereka menggunakan bahasa Indonesia, saya hanya mendapati satu orang tua yang sudah sepuh tidak mengerti bahasa Indonesia).

Penduduk Desa Nanga Kesangei mayoritas suku Daya Ut Danum (sebagian orang menyebut mereka suku ulu aik (hulu air/daerah penghuluan),  menganut agama Katolik dan Protestan.  Hasil percakapan dengan penduduk setempat, ternyata ada juga orang ut-danum yang menikah dengan orang suku madura dan hidup berdampingan dengan masyarakat sekitarnya.

Perekonomian Masyarakat.
Dari pantuan sepanjang perjalan darat, saya melihat sisa-sisa pembalakan kayu secara serampangan belasan tahun yang lalu dan sekarang sebagian lahan dimanfaatkan oleh perkebunan sawit. Hutan-hutan muda sepanjang jalan, selain lahan sawit juga terlihat bekas perladangan dan kebun-kebun karet milik masyarakat. Ekonomi mereka ditunjang dari perladangan, menjadi karyawan pada perusahaan-perusahaan kayu yang masih beroperasi, bekerja sebagai buruh pada perkebunan sawit dan pembalakan kayu berupa balokan dan papan yang mereka pasarkan ke Kecamatan Ambalau.

Saya mencoba mencari tahu harga-harga barang di dua buah warung kecil yang terdapat di Desa, harga satu liter bensin berkisar Rp. 13.000,00 ketika air sungai mudah dilalui dan ketika musim kemarau harga bensin bisa melambung sampai Rp. 25.000,00 - Rp, 30.000,00/liter. Sambil tertawa perih seorang warga bernama Zainal menceritakan, “Kami tidak perduli dengan harga, yang penting barangnya ada. Kedengarannya kami seperti orang kaya, padahal anak istri menjerit dirumah, tapi mau bagaimana lagi?”, tuturnya setengah bertanya.

[caption id="attachment_417781" align="aligncenter" width="527" caption="Ibu ini sedang mencari ikan kecil (bauk) dan udang menggunakan alat tangkap yang disebut pemansai, kadang mereka lakukan saat air pasang naik atau saat melakukan kegiatan mandi cuci disungai, hasil tangkapan cukup untuk satu kali santapan sekeluarga | Dok. Pribadi"]

1431729607371619864
1431729607371619864
[/caption]

Untuk mencukupi gizi keluarga, para ibu mencari ikan kecil (bauk) atau udang kecil dengan alat tangkap pemansai, tidak banyak yang mereka peroleh, sambil mandi kesungai mereka bisa mendapat lauk untuk satu kali santap bersama keluarga.

Tradisi Lokal
Walaupun mereka sudah menganut Agama Katolik dan Protestan, tetapi tradisi lama masih belum mereka tinggalkan salah satunya tradisi kematian, ini bisa ditandai dengan adanya sepundu yang dibuat tahun 2013, selain itu mereka juga masih percaya adanya orang-orang halus penunggu sebuah tempat, sehingga pada tempat-tempat tertentu dibangun sebuah pondok kecil yang mereka namakan petajahan (tulisan lengkap menyusul :D).

[caption id="attachment_417782" align="aligncenter" width="270" caption="Sepundu, tempat mengikat hewan kurban saat dilakukan pesta kematian; ritual ini mirip dengan yang dilaksakan di Riam Batang, Kalteng, Hanya beda nama | Dok. Pribadi"]

14317300181529345748
14317300181529345748
[/caption]

Jika ada yang meninggal, pada malam hari dibakar sejenis kayu yang mengeluarkan bau cukup menyengat dan rada-rada mistis (dalam bahasa lain di namakan kayu lukai), pada anak-anak, dikening mereka beri tanda plus (tambah) dari arang kayu lukai, sementara keluarga yang meninggal dikenakan semacam gelang yang mereka yakini berfungsi sebagai penolak bala (saya melihatnya hanya sebagai sugesti).

Setelah melihat beberapa lokasi, seperti Nokan Sengkumang dan sebuah petajahan, pada hari ketiga saya dan rombongan meninggalkan Desa Nanga Kesangei menggunakan jalur air, walaupun berbahaya tapi tidak lebih berbahaya dari jalan darat. Tetapi Tuhan masih memberikan kemudahan, pada hari kedua, hujan mengguyur daerah penghuluan Desa, sehingga air naik cukup tinggi, kekhawatiran kami terhadang riam tinggi diperjalanan tidak terjadi. Perjalanan selama 5.5 jam mengikuti arus sungai yang deras berjalan dengan mulus sampai di tempat tujuan. Untuk melakukan perjalanan pulang pergi, saya harus mengeluarkan dana sekitar lima belas juta rupiah.


Lanting, sejenis rakit, pondasi terdiri dari beberapa potong kayu yang disusun berjajar dengan diameter minimal 80cm, umumnya dari jenis kayu tengkawang tungkul (Shorea stenoptera Burck), balok dudukan pondasi diikat dengan beberapa balok ulin yang ditancapkan pada pondasi, rangka selanjutnya sama dengan kerangka rumah yang terbuat dari kayu, tetapi plafon/tiang jenang dibuat lebih rendah dan ukuran kayu yang digunakan sebagai rangka badan umumnya 4cm x 8cm, rangka atap bervariasi mengikuti jenis atap yang digunakan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun