Mohon tunggu...
Aldy M. Aripin
Aldy M. Aripin Mohon Tunggu... Administrasi - Pengembara

Suami dari seorang istri, ayah dari dua orang anak dan eyang dari tiga orang putu. Blog Pribadi : www.personfield.web.id

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Artikel Utama

Istri Dunia Akhirat

16 Mei 2015   06:13 Diperbarui: 10 Oktober 2015   17:57 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14317029071739198996

 [caption id="attachment_417727" align="aligncenter" width="365" caption="Jika satu saja cukup, mengapa harus lebih? | jagatmotivasi.com"][/caption]

Bulir-bulir sisa rinai hujan disore itu masih tersisa, dua lelaki beda usia itu duduk bersisian, yang muda tercenung menatap jauh melangkahi bulir-bulir air yang menetes dari atap teras kayu yang mereka duduki, lelaki tua itu melirik lelaki muda disampingnya, lirikan disertai senyum simpul penuh kebijakan, tatapan matanya masih tajam bagaikan belati, walaupun tubuhnya sudah mulai ringkih.  Lelaki muda itu tak mengalihkan pandangannya, seolah tak tahu jika sedang dilirik.

“Kamu tahu, perempuan yang kelak menjadi istrimu, adalah perempuan pilihan, dengan segala sifat bawaanya”, terdengar si tua bersuara.  “Tidak ada perempuan yang lebih hebat dari dia, karena dia perempuan yang tercipta dari tulang rusukmu…”, tambahnya dengan suara tenang dan teratur.

“Maksud bapak?” tanya si muda tanpa mengalihkan pandanganya.

Dengan cepat si tua itu meletakan tangan diujung bibir.

“Jangan kau potong tuturanku…” kembali dia bersuara dengan tenang.  “Dengarkan sampai purna, setelah rampung kamu boleh mengutarakan pendapatmu”, sambungnya.

“Jika kelak kamu jadi orang, jangan pernah kau tinggalkan istrimu, apapun alasannya, karena wanita pertama dalam hidupmu adalah wanita yang memberimu surga di dunia dan di akhirat”, si tua itu bicara, sembari menatap tajam lawan bicaranya.  Si muda bergeming, entah menyimak mengerti entah bingung.

“Penguasa roh kehidupan hanya memberimu seorang, jangan tamak…”

“Yang satu pun jika kamu tidak pandai menjaga dan merawatnya, penguasa roh akan menariknya”, si tua itu meneruskan wejangan.  “Laki-laki hebat, laki-laki gagah dan laki-laki bertanggung jawab tidak berani memiliki istri lebih dari satu, karena hanya satu wanita yang berasal dari tulang rusuk laki-laki.”  Lelaki itu menghentikan wejangannya, melirik ke si muda, memastikan wejangannya didengar.

Si muda itu tidak mengalihkan pandanganya yang luruh kedepan, hanya terdengar helaan nafas berat dan agak panjang.

“Karena dia tahu…”, si tua melanjutkan wejangan.  “Hanya satu orang istri yang akan memberinya surga dunia dan surga akhirat.”  Kali ini dia tak lagi menoleh, pandangannyapun lurus, menerobos semua yang ada didepannya.

“Jangan pernah berfikiran memiliki wanita lebih dari satu dalam waktu yang bersamaan dalam hidupmu, setiap lelaki yang berfikiran seperti itu, dia telah meletakan sebelah kakinya kedalam neraka.”

“Ingat, walaupun Nabi mengizinkan laki-laki memiliki 4 (empat) wanita, percayalah ijin itu bukan untukmu, karna kamu bukan laki-laki terpilih,” ucapnya sembari menyentuh bahu si muda.   Si muda itu menoleh, matanya bertabrakan dengan tatapan tajam si tua, dia tertunduk, seperti ada batu ribuan kati menekan kepalanya.  Dia sendiri bingung bukan kepalang, baru berencana menikah saja sudah diwejangi seperti ini, bagaimana jika kelak terjadi keributan dalam rumah tangganya?

Seakan memahami pikiran si si muda, senyuman si tua itu mengembang. Kembali ia meluruskan pandangan kedepan.  Buliran sisa rinai semakin kecil, matahari yang terlanjur bersembunyi enggan menampakan diri lagi.  Hari bagaikan mahgrib, sekeliling mereka temaram.

“Sebentar lagi engkau menikah, jadikan pernikahanmu amanah bagi dirimu dan berkah bagi calon istrimu, tidak ada wanita yang sempurna walaupun saat ini kau ingin menyangkalnya, seiring perjalanan waktu, secara perlahan kekurangan istrimu akan kelihatan begitu juga dengan kekuranganmu.”  Si tua itu diam sejenak, mungkin sedang memadankan kata.

“Justru karena kekurangan istrimu dan kamu, maka Tuhan menyatukan kalian, agar saling menutupi kekurangan, agar pas, sembanding dan selaras.  Kekurangan istrimu bukan dicari pada perempuan lain, karena setiap perempuan pasti memiliki kekurangan, jika begitu caramu, berapapun wanita yang engkau nikahi tidak pernah cukup, karena mereka akan membawa kekurangan baru dalam kehidupanmu.” Lagi lagi si tua itu mengurai wejangan yang cukup panjang.

“Aku tidak akan beristri lebih dari satu,” si muda menyahut.  “Karena aku sangat mencintai calon istriku”, sambungnya.

“Semua laki-laki ketika akan menikah berkata yang mirip”, jawab si tua dengan cepat. “ Nyatanya?  banyak laki-laki meninggalkan istrinya hanya karena sebuah kekurangan”.

“Sebagai orang yang lebih tua, aku hanya ingin menasehati, bukan ingin menggurui apa lagi menghalangi keinginanmu”.  “Keputusan milikmu, seperti apa kehidupanmu dan keluargamu, kamulah mahkotanya, kamu pula yang menjadi nahkoda bahtera rumah tanggamu”.

Kedua kembali diam, seakan menikmati butiran air yang tersisa, mengalir lambat bagaikan habis baterai.  Keremangan makin tajam, ufuk barat tak lagi merah.

Istri Pertama”, si Tua melanjutkan omongannya, “Memberimu kehahagiaan dunia akhirat untukmu, sementara istri kedua, hanya memberikan nikmat dunia untukmu...”, si Tua berhenti, coba ditatapnya wajah si muda disebelahnya, si Muda bergeming, tatapannya lurus kedepan bagaikan lembing yang siap dilemparkan kearah musuh.

Si tua itu menghela nafas panjang dan dalam “Istri ketiga...”lanjutnya, "memberimu neraka dunia”.  Kening si Muda berkerut, tapi dia tetap diam “Istri Ke empat, hanya akan memberimu neraka dunai akhirat”. Kali ini si Muda memalingkan wajahnya, seolah tak percaya dan bingung, disapunya wajah si tua dengan tatapan penasaran.  “Bagaimana kalau beristri lima”, tanya si  muda tiba-tiba dan seakan menguji si tua,  tetapi si tua justru tersenyum dan menjawab “Kau kalikan saja sakitnya”.  Si Tua beranjak, “Sudahlah, kelak engkau akan tahu apa yang aku maksud”, katanya lagi sambil berlalu kedalam rumah.

Si muda masih ditempat duduknya, sepertinya merenung dan tercenung, kalimat si tua rupanya mengenai sisi hati dan egonya, dia manggut-manggut seperti kuda bloon, kemudian dia tersenyum, senyumnya semakin lebar, “Sekarang aku tahu”, katanya seperti berbisik pada diri sendiri.  Sesaat berikutnya dia berlalu mengikuti si tua masuk rumah, bulir-bulir air yang menetes semakin perlahan, entah kapan akan benar-benar berhenti.  (Nanga Kesange, 14 Mei 2015)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun