[caption id="attachment_416293" align="aligncenter" width="474" caption="Mendirikan toras secara gotong royong, tidak terasa berat karena dilakukan bersama-sama | Dok. Pribadi"][/caption]
Pada tulisan sebelumnya, saya mengajak kompasianer melihat dari dekat upacara ngensudah yang ada di Desa Belaban Ela, Kecamatan Menukung, Kabupaten Melawi, Kalbar, kali ini kita akan melihat acara Tiwah di Desa Riam Batang, Kecamatan Seruyan Hulu, Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah.
Secara garis besar, pesta ngensudah dan tiwah tidak ada perbedaan, tujuan sama mengantarkan roh almarhum ke peristirahatan terakhir, karena seperti tradisi dayak ditempat lainnya, roh belum sempurna perjalanannya jika belum ditiwah. Tiwah yang dilaksanakan di Riam Batang, lebih teratur dan ritual-ritualnya dijalani dengan ritmis. Ada sebagian orang mengatakan bahwa yang dilaksanakan di Riam Batang bukan tiwah, karena tidak ditandai dengan memindahkan kerangka jenasah dari liang lahat ke sandung.
Masyarakat Riam Batang menyebutnya Pesta Tiwah. Hal ini juga saya tanyakan kepada Bpk. Udunsi (Tokoh Adat dari Desa Tumbang Setawai) Bpk. Timbas Kariyu (Tokoh Adat yang Kharismatik dari Desa Tanjung Paku), keduanya sepakat menyatakan bahwa ritual tiwah pada beberapa desa sudah mengalami pergeseran, termasuk yang dilakukan di Riam Batang. Ini dikarenakan, mahalnya biaya yang harus ditanggung oleh keluarga. Kedua tokoh ini juga sepakat, bahwa acara tiwah jangan sampai menjadi beban. Intinya, yang penting tata urutan pokok sudah dilaksanakan maka secara makna tiwah sudah dilaksanakan walaupun tidak harus ditandai dengan pemindahan kerangka jenasah.
Pada acara Tiwah ini, saya diminta oleh pihak keluarga, bertugas sebagai orang yang membuka tuak mali. Walaupun dalam prakteknya, saya meminta bantuan Bpk Timbas Kariyu dan seorang rekan lainya yang saya kenal memiliki kemampuan yang sangat mumpuni dalam menenggak tuak. Dalam melaksanakan tugas ini, saya diharuskan membawa serta sebuah Toras dan satu tempayan tuak.
Ketika memasuki kampung, kami dihadang sebuah gerbang yang dinamakan Ompogn, yaitu berupa gerbang yang dihiasi dengan daun kelapa dan dilintangi dengan pohon bambu,atau pohon tebu atau pohon pisang muda.
[caption id="attachment_416289" align="aligncenter" width="474" caption="Pemotongan Ompogn, biasanya sebelum pemotongan dilakukan, si pemotong menari dengan membawa mandau dan setelah pemotongan ada beberapa pertanyaan yang harus dijawab | Dok. Pribadi"]
Setelah pemotongan ompogn, si pemotong akan diserahi satu mug tuak, untuk diminum bersama-sama dengan rombongan yang datang dan rombongan yang datang juga menyerahkan minuman yang sama (singkatnya, saling bertukar minuman dalam sebuah wadah). Masing-masing pihak diminta untuk menghabiskan tuak yang serahkan oleh pihak lawan dan dilanjutkan pemotongan hewan berupa ayam kampung sebanyak satu ekor bisa juga babi satu ekor.
Pada saat pemotongan ompogn dilakukan, semua yang hadir wajib mempersiapkan diri, karena ada sebuah permainan yang bisa memacing emosi, yaitu melumuri peserta dengan lumpur. Â Bagi saya, permainan ini tidak aneh karena sudah cukup sering menghadiri acara ngensudah maupun tiwah.
 Â
[caption id="attachment_416290" align="aligncenter" width="474" caption="Ihklaskan baju harus kotor karena dilumuri dengan lumpur, mereka sebelumnya akan permisi, percuma menolak toh mereka tetap akan melakukannya | Dok. Pribadi"]
Semua peserta tidak boleh marah karena marah merupakan pantangan, cara terbaik adalah membalas dan boleh kepada siapa saja atau menghindar sejauh mungkin dari lokasi acara.
Acara selanjutnya adalah mendirikan toras, sebelum toras didirikan, yang membawa toras harus memberikan tatah/tarah pada bagian bawah. Bukan sembarang tarah karena sipembuat tarah harus mampu menjelaskan maksud dan tujuan pembuatan tarah. Karena kepala sudah mulai bahat diang (berat atas; terjemahan bebasnya, kepala mulai pusing karena tuak) karena tuak, saya meminta bantuan Bpk. Timbas Kariyu untuk membuat tarah dan beliau dengan fasih menjelaskan maksud pembuatan tarah tersebut menggunakan bahasa Kahayan padahal beliau dari suku pangin.
 Â
[caption id="attachment_416291" align="aligncenter" width="474" caption="Pembuatan Tarah/Tanda pada bagian bawah toras, dilaksakan oleh Bpk. Timbas Kariyu, Tokoh Adat Kharismatik dari Desa Tanjung Paku, Kabupaten Seruyan | Dok. Pribadi"]
Setelah proses tarah, dilanjutkan dengan mendirikan toras, yang nantinya toras ini digunakan tempat menambat sapi yang akan dijadikan kurban.  Setelah toras berdiri, sapi yang dijadikan kurban diikat pada pada Toras dan harus diperhatikan, sapi yang diikat harus bebas bergerak mengelilingi toras, tujuannya agar sapi tidak koit sebelum acara dimulai. Saya sempat menanyakan kepada Tokoh Adat setempat, apakah benar dulunya dibawah toras juga ditanam kepala manusia. Menurut beliau dulunya memang ditanam kepala manusia hasil ngayau/kayau, tetapi sekarang sudah tidak ada lagi.
[caption id="attachment_416293" align="aligncenter" width="474" caption="Mendirikan toras secara gotong royong, tidak terasa berat karena dilakukan bersama-sama | Dok. Pribadi"]
[caption id="attachment_416294" align="aligncenter" width="474" caption="Hewan kurban berupa sapi diikat pada toras yang pada malam hari akan dikelilingi pada saat nganjan, bigal plus dangdut, perhatikan kandang pada bagian belakang, disana terdapat hewan kurban berupa babi dan ayam kampung | Dok. Pribadi"]
Seperti pada acara ngensudah, toras ini nantinya akan dikelilingi oleh seluruh peserta sembari menari Nganjan dan Bigal, kedua tarian dilakukan secara bergantian sampai larut malam (tidak sampai siang, karena esok harinya, nganjan dan bigal akan dilakukan lagi sebelum hewan dipotong), tua-muda, muda-mudi, kakek-nenek turun ber-nganjan dan ber-bigal, selain gong (disini nganjan dan bigal, hanya diiringi dengan Gong sebanyak tiga buah dengan nada yang berbeda), panitya juga menyediakan sound system dan nakalnya, jika peserta sudah mulai lelah menganjan dan berbigal, mereka merangsangnya dengan lagu dangdut dari sound system dan tuak meredar mesra membasahi kerongkongan. Biasanya, kalau irama berubah dangdut yang berjoget semakin ramai dan waspadalah tuak menunggu anda.
[caption id="attachment_416297" align="aligncenter" width="474" caption="Inilah akibat ulah panitia yang "]
Permasalahan muncul, karena saya sebagai orang yang bertugas membuka tuak mali, menolak minum yang disodorkan bisa dianggap melecehkan (ingat, minum tuak tidak dipaksakan, tetapi jika orang yang lebih tua menyodorkan gelas tuak dianggap tidak patut menolaknya).
------
Keesokan harinya, acara dimulai sekitar jam 8 pagi, pelaksanaan dimulai dengan membawa tempayan yang berisi tuak mali. Karena dikhawatirnyan terjadi sesuatu dan lain hal, membawa tempayan tuak mali dilaksanakan secara simbolis, artinya tempayan yang dibawa hanya tempayan kosong.
[caption id="attachment_416301" align="aligncenter" width="474" caption="Mengantar Tuak Mali dalam tempayan ke rumah yang melaksanakan tiwah | Dok. Pribadi"]
Orang yang bertugas membawa tempayan diharuskan menggunakan caping dan mandau (senjata khas orang dayak) yang terselip dipinggang, setelah tiba di tempat pesta tempayan disimpan atas wadah yang tebuat dari susunan kayu yang didalamnya terdapat ternak kurban.
Setelah semuanya siap, perserta diminta untuk mengajan dan berbigal masing-masing sebanyak tiga kali dan selalu diselingi teriakan tariu ditengah hari yang cerah dan panas. Â Tamu kehormatan diberi satu helai kain sebagai penanda dan side effect yang harus diterima, harus ikut nganjan dan bigal secara keseluruhan plus beberapa cangkir tuak. Â Uch...
Disaat nganjan dan bigal, saat itu pula tuak kembali beredar dan tuak yang beredar ini menjadi istimewa karena dihidangkan menggunakan tanduk kerbau sebagai wadah. Dan menurut sebagian orang, tuak yang dihidangkan menggunakan tanduk kerbau lebih memabukan jika dihidang secara biasa.
[caption id="attachment_416304" align="aligncenter" width="474" caption="Tokoh Masyarakat Setempak Bpk. Sandin, sedang menjadi "]
Setelah tarian selesai, dilanjutkan dengan memotong hewan kurban. Di Riam Batang, pemotongan hewan dilakukan dengan cara menombak, orang akan dianggap hebat jika mampu membunuh hewan kurban hanya dengan sekali tombak. Tetapi, karena rombongan kami banyak yang Islam, penombakan hewan dilakukan secara simbolis, keluarga korban menombak kurban seadanya yang penting mengenai tubuh hewan kurban dan selanjutnya hewan dipotong dengan cara normal.
[caption id="attachment_416309" align="aligncenter" width="474" caption="Penulis sedang melaksanakan penyembelihan hewan kurban setelah penombakan secara simbolis oleh keluarga | Dok. Pribadi"]
Sama dengan Acara Ngensudah, seluruh masyarakat mendapat bagian walaupun sedikit, saya dan rombongan karena menjadi orang yang bertugas membuka tuak mali dan memotong hewan mendapat bagian paha sapi untuk dibawa pulang. Daging ini tidak boleh ditolak, harus dibawa pulang, dengan harapan orang-orang yang mendengar adanya tiwah ditempat tinggal saya juga mendapat bagian.
Sehabis makan siang, acara dilanjutkan dengan acara terakhir yaitu pembukaan tuak mali, semuanya berjalan lancar dan beberapa pertanyaan dapat dijawab dengan lancar, tetapi kepala sudah terasa berat. Secara keseluruhan acara selesai sekitar jam 16:00 WIBA dan pada jam 17:00 WIBA kami pamit meninggalkan Desa Riam Batang.
[caption id="attachment_416312" align="aligncenter" width="474" caption="Hahahaha...makanya Om, kalau nggak kuat ngombe tuak ojo sok, ini nih akibatnya, bukannya jadi lincah tapi malah mengkeret | Dok. Pribadi"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H