[caption id="attachment_415854" align="aligncenter" width="540" caption="Bangunan Sekolah Dasar Kunjungan (Kelas Jauh) Desa Tumbang Taberau, Kecamatan Seruyan Hulu, Kab. Seruyan, Kalimantan Tengah | Dok. Pribadi"][/caption]
Terpujilah wahai engkau ibu bapak guru, namamu akan selalu hidup dalam sanubariku, sebagai prasasti trima kasihku tuk pengabdianmu.... (Hymne Guru – Sartono).
Berpuluh tahun kita selalu mendengar guru disebut sebagai pahlawan tetapi tidak pernah menerima tanda jasa. Pemberian anugerah kamuflase ini masih saja menjadi slogan ketika kuda udah enggan gigit besi, disaat para guru berjibaku dengan segala keterbatasan masih saja dihibur bahwa pekerjaan sebagai guru adalah pengabdian.
Guru harus mampu dan mau mengembangkan kemampuan sementara fasilitas tidak memadai. Apalagi sekarang, tehnologi berkembang pesat, guru dikota sudah bisa pamer menggunakan Office 365 secara online, sementara rekannya yang bekerja di pelosok, gaji saja sering terlambat.
Perilaku orang tua siswa pun tidak kalah hebohnya, anak ‘dititipkan’ menuntut ilmu pada guru, tetapi ketika si anak ditegur, dikenai sangsi malah balik orang tua siswa yang balik menegur bahkan mengancam sang guru. Si anak pun seperti itu, karena merasa dimanjakan oleh orang tua secara salah, hanya karena guru mengeluarkan suara sedikit keras, lapor sama orang tua guru di sekolah membentak.
Pendidikan diharapkan menjadi matarantai pembelajaran, bukan saja bagi anak didik tetapi juga tenaga pendidik. Sekolah-sekolah dikota besar memiliki akses yang sangat baik untuk mendapatkan tenaga pendidik yang mumpuni, lulusan fakultas terbaik dan mampu memberikan pendapatan yang mencukupi sehingga para guru bisa fokus pada materi didik bagi siswa. Tidaklah demikian dengan guru-guru yang berada dipedalaman, selain fasilitas yang sangat minim, peran orang tua siswa yang hampir dikatakan nihil (masih beruntung orang tua tidak berlagak lebih pintar dari guru seperti dikota), mereka juga berkutat dengan kenyataan bahwa perhatian terhadap mereka sebagai pendidik masih dipandang sebelah mata bahkan kadang dianggap tidak ada.
Ketimpangan-ketimpangan seperti ini sebenarnya sudah menjadi makanan pokok para guru didaerah, sudah bertahun-tahun terjadi, sebagian dari mereka sudah sampai pada level pasrah dengan keadaan, tapi sebagian lagi memilih kabur meninggalkan tanggung jawab sebagai guru dan para pengambil keputusan ditingkatan atas hanya bisa menyalahkan tapi belum sampai menyentuh akar masalah mengapa guru-guru tersebut memilih meninggalkan tanggung jawabnya. Kita harus mengakui bahwa guru yang meninggalkan tanggung jawabnya sebagai guru bukanlah tindakan yang benar tetapi kita juga tidak bisa mengabaikan penyebab mereka melakukannya.
Tidak cukup dengan slogan “menjadi guru adalah pengabdian, menjadi guru berarti menjadi pahlawan tanpa tanda jasa”. Mereka juga sama seperti tenaga kerja lainnya, butuh sandang, pangan dan papan yang cukup, butuh pengakuan terhadap hasil kerja yang telah mereka perbuat dengan memberikan apresiasi yang memadai, bukan dengan slogan-slogan kosong. Bukan dengan hanya memberikan “angin surga”.
Pemerintah jangan mengharap terlalu banyak, orang tua siswa jangan bermimpi guru bisa segala-galanya, guru tidak akan berarti apa-apa tanpa dukungan dari pemerintah, guru tidak akan menjadi sebenarnya guru jika orang tua siswa masih menyerahkan sepenuhnya pendidikan kepada guru disekolah. Pemerintah tidak sepatutnya mempersamakan semua sekolah, harus ada klasifikasi antara sekolah yang berada dekat dikota dengan yang berada dipelosok, begitu juga dengan guru, tanpa bermaksud merendahkan kemampuan guru di daerah apalagi pedalaman, keterbatasan mereka semata-mata karena terbatasnya sumber informasi yang bisa mereka peroleh. Jangalah pula selalu beranggapan bahwa guru harus kreatif dengan segala keterbatasannya. Andai saja semua guru mampu idealis seperti itu, tidaklah perlu lagi ada Kementrian Pendidikan Nasional, justru keberadaan kementrian menjadi jembatan informasi terhadap keterbatasan yang dimiliki para guru.
Selain itu, keberadaan berbagai macam organisasi yang memayungi para guru (PGRI, misalnya), belum menunjukan perannya secara memadai untuk guru-guru yang berada didaerah. Alasan keterbatasan daya jangkau menjadi alasan basi yang tidak perlu lagi dikumandangkan, justru karena keterbatasan para guru, mereka berharap banyak, organisasi guru seperti PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia) bisa menjadi titian untuk mendapatkan perhatian dan penghargaan selayaknya sebagai tenaga pendidik.
Betapa menyedihkan, dengan penghasilan yang terbatas, tunjangan yang kurang memadai, harus membayar berbagai iuran wajib yang manfaatnya masih dipertanyakan, untuk kebutuhan sandang, pangan dan papan keluarga saja masih kurang tetapi harus membayar iuran untuk dunia antah berantah yang tak tentu juntrungnya.
Jangan lagi mengharapkan para guru mengabdi dengan segala keiklasan tanpa memberikan mereka reward yang memadai, bagi saya meminta mereka mengabdi tanpa memperhatikan kebutuhan dasar mereka sebagai pekerja sama saja dengan melecehkan profesi sebagai guru. Meminta mereka mengajar dengan baik haruslah diimbangi dengan penghargaan yang memadai, minimal kebutuhan dasar terpenuhi sehingga tidak ada lagi guru nyambi sebagai tukang ojek, nyambi jualan pakaian bekas dan lain-lain pekerjaan halal tetapi cukup mengganggu konsentrasi mereka sebagai tenaga pengajar. Penuhi kebutuhan mereka baru tuntut profesionalisme mereka sebagai guru, bukan menuntut profesionalisme mereka tapi mengabaikan kebutuhannya.
Selamat Hari Pendidikan Nasional (2/5/2015)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H