[caption id="attachment_411415" align="aligncenter" width="630" caption="Retno Listyarti, Kepala SMAN 3 Setya Budi | megapolitan.kompas.com - "][/caption]
Tugas Kepala Sekolah, selain mendidik para siswa tentu saja melakukan koordinasi dengan berbagai pihak dalam penyelenggaraan kegiatan belajar dan mengajar di sekolah yang menjadi tanggung jawabnya sebagai Kepala Sekolah. Memberikan kekuatan mental dan spiritual kepada siswanya yang sedang menghadapi ujian, merupakan salah satu bentuk tanggung jawab moral sebagai kepala sekolah. Apa jadinya, kepala sekolah malah keluruyan ketika anak didiknya sedang menghadapi ujian nasional?
Kepada Sekolah SMAN 3 Setya Budi, Retno Listyarti, seakan menantang Gubernur Ahok untuk memecat dirinya sebagai kepala Sekolah, dengan mengatakan bahwa yang bersangkutan merasa bersyukur jika dipecat sebagai kepala sekolah. Namun Retno juga menegaskan bahwa pemecatan dirinya haruslah sesuai dengan aturan yang berlaku, karena selain sangsi pemecatan dirinya haruslah diberikan ruang dan kesempatan untuk membela diri.
Kekesalan Pak Gubernur bermula dari terkuaknya kenyataan bahwa Retno Listyarti tidak berada di tempat saat SMAN 3 sedang menyelenggarakan ujian nasional (UN), ibu kepala sekolah lebih memilih hadir di SMAN 2, Olimo, Jakarta Barat yang sedang dikunjungi oleh Presiden Jokowi, Gubernur Ahok dan Mendikbud Anis Baswedan. Bahkan pada saat itu, Retno terlihat melakukan wawancara dengan salah satu stasiun televisi swasta tentang kebocoran soal ujian nasional.
Sementara itu, Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Jakarta, melalui wakil ketuanya, Hasman Arsyad, mendukung langkah gubernur memberikan sanksi, karena tindakan yang dilakukan oleh Retno, menurut Hasman, sudah melampaui kapasitas, tugas, fungsi dan tanggung jawabnya sebagi kepala sekolah, selain itu pemberian sanksi ini sebagai pelajaran bagi kepala sekolah yang lain, agar kejadian semacam ini tidak terulang lagi dimasa yang akan datang.
Dari kejadian tersebut, saya mencoba menelaah beberapa permasalahan mendasar, yang menurut saya menjadikan Retno Listyarti berani “menantang” sang Gubernur dalam hal ini Dinas Pendidikan DKI Jakarta untuk memecat dirinya.
- Retno Listyarti, menganggap bahwa peran dirinya sebagai sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) lebih dilindungai oleh undang-undang (UU Nomor 14 tentang Guru dan Dosen), ketimbang perannya sebagai kepala sekolah selama Pelaksanaan UN (diatur oleh PP Nomor 53 Tahun 2010). "Sekarang lebih tinggi mana UU atau PP? Saya pun memilih melaksanakan tugas saya dulu. Toh saya juga tidak meninggalkan kewajiban saya," kata dia kepada Kompas.com, Selasa (14/4/2015). Sakitnya tuh disini (sambil menunjuk dada kanan dengan mulut mewek seperti bebek nggak makan tiga abad) mendengar sanggahan ibu Kepala Sekolah, alangkah naifnya cara siibu membela diri, apakah karena tidak mengerti atau memang tidak mau mengerti karena dirinya sudah salah sehingga sang ibu menelurkan pendapat seperti itu. UU tersebut lebih mengatur pada tanggung jawab anda sebagai bagian dari sebuah organisasi, sementara PP lebih mengatur pada tanggung jawab anda sebagai pengelola sekolah. Jika anda bandingkan UU dan PP, tentu saja kedudukan UU lebih tinggi dari PP, semua orang juga tahu. Tapi dimana letak moral seorang pendidik membiarkan siswanya berjibaku menghadapi UN sementara guru yang diharapkan mendampingi saat siswanya butuh pendampingan justru lebih memilih narsis ditelevisi nasional? Kehadiran seorang kepala sekolah dalam sebuah UN, tidak akan signifikan secara fisik, tetapi sangat-sangat signifikan secara psikis. Siswa merasa sangat terbantukan dengan hadirnya seorang kepala sekolah, memberikan mereka kekuatan psikologis dalam menjawab soal-soal UN. Kecuali kalau memang kepala sekolah dibenci oleh seluruh siswa yang sedang mengahadapi UN, kehadirannya tidak lagi diharapkan bahkan dianggap sebagai pengacau siswa menghadapi UN. Meninggalkan siswanya yang sedang menghadapi UN untuk melakukan wawancara dengan sebuah stasiun televise dianggap tidak meninggalkan kewajiban. Sebuah jalan pikiran yang tidak benar atau yang lebih keren disebut sesat pikir sang ibu kepala sekolah.
- Pernyataan Wakil Ketua PGRI Jakarta, bisa disalah artikan mencampuri urusan organisasi lain, karena Retno Listyarti bukan anggota PGRI yang dianggap sebagian orang sebagai perpanjangan tangan Orde Baru. Jika ini terjadi bisa menimbulkan kerunyaman baru, FSGI mungkin tidak terima jika salah satu anggotanya dikenakan sangsi (sampai saat ini belum terdengar statemen dari FSGI), dan ini lumrah terjadi pada organisasi yang ada di Indonesia, walaupun anggotanya terbukti bersalah, umumnya organisasi akan membela mati-matian bahkan bila perlu sampai titik darah penghabisan (lebay tingkat dewa). Disini, ujian terhadap FSGI sebagai organisasi yang mewadahi Retno dimulai, apakah organisasi ini membela anggotanya yang salah atau berpihak kepada siswa yang sedang melaksanakan UN.
- Kementrian Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, dalam kasus ini, peranan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan DKI Jakarta diuji netralitasnya, bukan karena kasus ini sudah diketahui dan di saksikan langsung oleh Gubernur, tetapi upaya mereka meletakan kasus ini pada porsi yang sebenarnya. Apakah kesalahan seorang kepala sekolah yang meninggalkan sekolah ketika siswanya sedang menghadapi UN layak menjadikan jabatannya hilang ataukah ada sangsi lain yang lebih baik. Pemecatan sebagai kepala sekolah mungkin sangsi maksimal yang bisa diterapkan ataukah ada sangsi lain yang telah diatur dalam ketentuan khusus. Disdikbud DKI Jakarta, harus mampu memberikan penjelasan kepada Gubernur, jika memang sudah tertulis sangsi lain terhadap kepala sekolah yang mangkir pada saat siswa menjalani UN, artinya sangsi tidak hanya diberikan berdasarkan statemen dari seorang gubernur.
Sangat disayangkan, kepada Sekolah yang pernah mendapat tantangan dari Gubernur Ahok (ketika itu pak Ahok masih Wakil Gubernur) ternyata keluyuran ketika sisawanya menghadapi situasi yang cukup genting (walaun UN tidak lagi menjadi penentu kelulusan).
Apapun sanggahan dan penjelasan Retno, idealnya kepala sekolah ini menyadari bahwa yang dia lakukan sudah salah. Memberikan wawancara kepada televisi nasional sebenarnya bukanlah perbuatan tabu, tetapi dengan mengabaikan fungsi pokok sebagai seorang pendidik dan kepala sekolah patut diberikan sangsi yang pantas. Memberikan pembelaan dengan mengatakan bahwa permbuatannya dilindungi oleh Undang-undang hanya akan menunjukan betapa sang pendidik hanya mementingkan kepentingan sendiri dan organisasinya, sementara tugas pokoknya adalah mendidik siswa dan mengayominya ketika sedang menghadapi ujian sebagai bentuk jiwa pendidik dan “orang tua” terhadap anak didiknya. Semoga tantangan si ibu bukan bentuk arogansi karena menjabat sebagai sekjen sebuah organisasi.
Sumber bacaan :
Kepala SMAN 3 Setya Budi, Menantang Untuk di Pecat
Ahok, Retno Listyarti Mesti di Pecat
Ahok Pernah Menantang Kepala SMAN 3, Jadi Kadisdik
Ahok Pastikan beri sangsi Kepala SMAN 3 yang keluruyan
PGRI Dukung Ahok Berikan Sangsik Kepala SMAN 3 Setya Budi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H