Mohon tunggu...
Allan Maullana
Allan Maullana Mohon Tunggu... Teknisi -

Bukan siapa-siapa. Bukan apa-apa. Hanya remah-remah peradaban.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tembok Besar yang Mengotak-kotakkan

5 Januari 2019   21:38 Diperbarui: 5 Januari 2019   22:00 276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Ilustrasi: Dokumen pribadi)

Mangga Dua Mall, Jakarta. 05 Januari 2019. Pukul 08.00 pagi, saya sudah duduk di anak tangga pintu masuk. Pintu-pintu masih terkunci. Di samping kanan saya, ada seorang laki-laki yang sedang duduk. Di samping kanannya lagi, ada seorang laki-laki yang juga sedang duduk.

Mereka saling tertunduk. Memandang gawainya masing-masing. Lalu laki-laki sebelah kanan saya, yang saya perkirakan usianya 50-an tahun, meminjam korek api ke laki-laki sebelah kanannya. Mungkin usianya baru seperempat abad.

Korek api sudah ia dapatkan. Sebatang rokok dinyalakan. Kemudian, kedua laki-laki itu terlibat obrolan. Sementara saya lanjut membaca buku. Beberapa saat kemudian obrolan terhenti. Lalu laki-laki paruh baya itu menoleh ke kiri. Ke arah saya.

"Suka baca buku, Dik ?" Tanyanya.

Saya tersenyum sambil menjawab, "Suka sedikit, Pak."

"Kamu mengingatkan pada anak saya. Muda, kurus, dan buku. Ya, anak saya suka banget baca buku. Banyak koleksi bukunya di rumah saya."

Saya kembali tersenyum seraya menutup buku yang sedang saya baca. "Saya punya anak dua, Dik. Tapi dua-duanya nggak akur. Udah sekian lama. Berhari-hari. Berminggu-minggu. Berbulan-bulan."

Di dalam keluarga, saya dua bersaudara. Adik saya laki-laki. Sedari kecil saya dan adik kerap ribut. Mulai dari merebutkan mainan, jajanan, sampai merebutkan suapan makan dari ibu. Saya ceritakan kisah itu padanya.

"Kedua anak saya ini parah, Dik. Sepanjang tahun selalu berdebat. Satu rumah nggak pernah tatap muka. Sebagai adik kakak, mereka acuh tak acuh."

Saya mengerutkan dahi. Laki-laki itu tersenyum, lalu menghisap rokoknya yang masih membara.

"Perkara pandangan politik, Dik. Persetan dengan politik. Yang perlu Adik tahu! Kedua anak saya itu bukan anggota partai apalagi caleg. Kedua anak saya cuma rakyat biasa. Rakyat yang terbelah menjadi dua kubu.

Dulu sewaktu tahunnya pilgub DKI. Anak saya yang pertama, sedikit-sedikit nyalahin Ahok. BBM naik nyalahin Ahok. Jakarta banjir nyalahin Ahok. Sampe makan nasi padang harganya naik seribu-dua ribu perak nyalahain Ahok.

Adiknya sama persis. Baca berita yang udah jelas itu hoak nyalahin Anies. Jalanan macet nyalahin Anies. Kali item nyalahin Anies. Banyak sampah nyalahain Anies.

Pernah di satu malam, entah apa yang mereka perdebatkan. Saya nggak ngerti. Mereka saling mengkafir-kafirkan satu sama lain. Medengar kata kafir, saya marah. Marah sekali. Sampai akhirnya saya bentak: 'Di rumah ini nggak boleh ada yang mengkafir-kafirkan.' Sebagai orang tua hati saya sedih, Dik. Hancur."

Laki-laki itu terdiam. Tampak sedikit emosi. Lalu menghisap rokoknya. Ia lanjut mengisahkan perseteruan demi perseteruan antara dua kubu yang terjadi pada orang-orang di sekitarnya. Terjadi pada teman-teman kerja, teman-teman mengaji, teman-teman ronda, dan tetangga sebelah kanan-kirinya.

"Kedua anak saya nggak pernah ngobrol. Bersuara kalo ada yang diperlukan. Misalnya nanya konci motor atau gembok pager rumah. Kaya ada duri di dalam daging. Baru beberapa bulan saya lega, Dik. Nggak ada perdebatan lagi di rumah. Eh, sekarang mulai lagi. Sekarang antara Prabowo dan Jokowi. Seperti ada tembok besar yang mengotak-kotakkan kita."

Laki-laki itu terdiam. Sejenak menarik nafas, menghisap rokoknya. Saya melihat jam tangan saya, ternyata sudah menunjukan pukul 08.53. Pintu masuk sudah dibuka. Saya segera pamit. Laki-laki itu tersenyum sambil mengangguk, "Mari. Dik."

Dalam langkah kaki memasuki gedung otak saya bekerja. Memproses kisah itu menjadi semacam otokirik pada diri sendiri. Kemudian, saya teringat pada sebuah 'Sajak Balsem untuk Gus Mus'.

***

(Sajak Balsem untuk Gus Mus - Joko Pinurbo, 2016)

Akhir-akhir ini banyak
orang gila baru berkeliaran, Gus.
Orang-orang yang hidupnya
terlalu kenceng dan serius.
Seperti bocah tua yang fakir cinta.

Saban hari giat sembahyang.
Habis sembahyang terus mencaci.
Habis mencaci sembahyang lagi.
Habis sembahyang ngajak kelahi.

Dikit-dikit marah dan ngambek.
Dikit-dikit senggol bacok.
Hati kagak ada rendahnya.
Kepala kagak ada ademnya.
Menang umuk, kalah ngamuk.

Apa maunya? Maunya apa?
Dikasih permen minta es krim.
Dikasih es krim minta es teler.
Dikasih es teler minta teler.

Kita sih hepi-hepi saja, Gus:
ngeteh dan ngebul di beranda
bersama khong guan isi rengginang.
Menyimak burung-burung
bermain puisi di dahan-dahan,
menyaksikan matahari
koprol di ujung petang.

Bahagia adalah memasuki hatimu
yang lapang dan sederhana,
hati yang seluas cakrawala.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun