Setelah membaca artikel dari Pak Liliek Pur yang berjudul Sulitnya Menerapkan Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Bidang Bisnis, saya juga mengalami hal yang sama. Hari ini, ketika saya pulang bekerja. Saya tidak langsung pulang ke rumah. Saya mampir ke salah satu Mall yang ada di Bekasi, membeli minuman semacam Teh Thailand untuk Istri saya.
Sesampai di toko penjual minuman tersebut, saya segera mengantri, memesan, membayar, dan menunggu pesanan saya itu siap.
Tidak membutuhkan waktu lama, tibalah giliran saya, "Atas nama Kak Allan..." Teriak Mbak Pegawai toko itu. Saya segera menghampiri. Kemudian Mbak Pegawai bertanya kepada saya: "Mau minum di sini atau take away, Mas?"
"Saya mau bawa pulang, Mbak," Jawab saya. Singkat.
"Oh... Take away yah, Mas."
"Iya, Mbak. Saya bawa pulang."
"Iya, Mas. Take away namanya."
Saya keluar dengan senyum ironi. Ada perdebatan kecil dan rasa jengah di lubuk hati saya tentang kata take away yang seakan lebih benar secara harfiah daripada kata "dibawa pulang".
Tidak hanya di tempat umum saja istilah-istilah asing ini bertebaran secara masif. Di lingkungan bekerja, fenomena ini sangat sering terjadi tanpa kita sadari. Misalnya; "Mas, udah bales email dari Bapak Fulan?". Atau seperti ini; "Tadi gue lewat security, ada titipan delivery nih buat, Lo".
Sebetulnya, terkadang saya merasa kagum dengan beberapa teman yang bisa berbahasa asing dengan sangat lancar. Tapi kekaguman saya itu sirna ketika mendengar dan melihat kemampuan bahasa asingnya dicampur dengan bahasa Indonesia. Alhasil jadilah bahasa gado-gado.
Sebetulnya fenomena apa ini? Penggunaan istilah asing yang seakan sudah mendarah daging. Fenomena apa? Sampai-sampai ada bahasa Jaksel. Menurut saya, kalau sudah begini pengguna bahasa menjadi salah kaprah.