Sabtu 11 November kemarin, saya bersama Sang Istri mengisi akhir pekan dengan menonton sebuah teater yang diselenggarakan oleh Titimangsa Foundation bertempat di Teater Jakarta Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat. Teater ini membawa nama-nama artis papan atas seperti Reza Rahadian, Marsha Timothy, Chelsea Islan, Tara Basro, dan Sita Nursanti. Nama-nama artis papan atas tersebut membuat saya membayangkan sesuatu yang luar biasa dalam teater bertajuk Perempuan-Perempuan Chairil.
Siapa yang tak kenal dengan Chairil Anwar (diperankan oleh Reza Rahadian), seorang penyair bohemian yang dijuluki Binatang Jalang. Ia lahir di Medan 26 Juli 1922 dan meninggal di Jakarta 28 April 1949 pada umur 26 tahun. Ia diperkirakan menulis 96 karya, termasuk 70 puisi. Dari puisi-puisinya yang tercipta menunjukan tekad untuk hidup seribu tahun lagi. Ya, Chairil akan tetap hidup dalam puisi-puisinya.
Bagi Chairil, perempuan adalah inspirasi. Tapi kisah cintanya selalu berakhir dengan nestapa. Membuat hidupnya terhempas, terlepas, dan luput. Chairil diketahui sempat dekat dengan banyak wanita semasa hidupnya. Dalam pertunjukan Perempuan-Perempuan Chairil ini ditampilkan empat orang wanita yang berperan banyak dalam puisi yang dibuat oleh Chairil. Wanita-wanita itu adalah Ida Nasution yang diperankan oleh Marsha Timothy, Sri Ajati yang diperankan oleh Chelsea Islan, Sumirat yang diperankan oleh Tara Basro, dan Hapsah Wiriaredja yang diperankan oleh Sita Nursanti.
Pertunjukan dibuka oleh monolog Chairil yang menceritakan tentang kondisi Indonesia, temannya yang bernama Yasin, dan tentang perempuan. Salah satu yang dia ucapkan adalah Bung Karno yang pernah bilang: wanita malam itu tidak selamanya hina, ia memiliki sisi positif, bisa diperdayakan sebagai mata-mata untuk mencari informasi.Â
Lakon selanjutnya menampilkan Ida Nasution dan Chairil. Ida adalah seorang mahasiswi, penulis, pemikir kritis yang bisa menyaingi pengetahuan Chairil ketika mereka berada dalam situasi perdebatan. Chairil jatuh cinta pada Ida, ia selalu berusaha meraih hatinya dengan rayuan manis dan puisi-puisi miliknya. Namun Chairil tak mampu menaklukan hati Ida yang begitu idealis. Cintanya Chairil akhirnya bertepuk sebelah tangan. Meskipun begitu bayang-bayang sosok Ida terus melekat dalam pikirannya.
Setalah Ida ada sosok perempuan bernama Sri Ajati, ia juga seorang mahasiswi, bergerak di tengah-tengah pemuda-pemuda hebat pada jamannya, pemain teater, model lukisan, juga seorang gadis ningrat yang tidak membeda-bedakan seseorang untuk berkawan. Dalam lakon ini diceritakan suatu hari Chairil berkunjung ke rumah Sri. Tetapi Sri tidak ada prasangka kalau Chairil datang ingin menemuinya dan mendekati dirinya. Sri malah bertanya: "Kau datang ke rumah ku untuk makan siang atau untuk menemuiku?."Chairil langsung tersipu malu pada apa yang Sri ucapkan. Tidak lama Chairil kembali melancarkan rayuan manis ala pujangga kepada Sri.
Lakon berikutnya berlatar belakang di kamar Sumirat. Mirat adalah seseorang terdidik yang lincah dan mengagumi keluasan pandangan Chairil. Mirat yang pada saat itu ingin pergi ke rumah orang tuanya karena Mirat akan dijodohkan. Kemudian ditahan oleh Chairil. Pada Mirat, cintanya Chairil disambut. Mereka berpacaran tetapi cinta itu kandas karena Chairil tidak menunjukan keseriusan dalam hubungan mereka.
Di atas panggung menunjukan sebuah latar belakang meja makan dengan dinding bilik bambu. Ternyata rumah itu adalah milik Hapsah Wiriaredja. Setelah cintanya kandas dengan Mirat, Chairil melabuhkan hati pada Hapsah. Perawakan yang terilhat gemuk membuat Hapsah berbeda dengan perempuan-perempuan yang Chairil sukai sebelumnya.
Hapsah adalah seorang wanita biasa yang terlalu biasa untuk meyukai pusisi-puisi Chairil, bahkan Hapsah tidak mengerti arti dari puisi-puisinya Chairi. Hapsah begitu berani mengambil resiko untuk mencintai seorang penyair seperti Chairil. Chairil tidak memiliki pekerjaan, selalu bergelut dengan buku membuat Hapsah menjadi kesal dan memulai keributan dengan Chairil. Walaupun telah mengandung anak Chairil, Hapsah tetap mengambil resiko untuk mengakhiri hubungannya dengan Chairil karena tuntutan ekonomi.
Pertunjukan berakhir dengan latar belakang di galeri milik Afandi, tempat Chairil mengeluarkan keluh kesah tentang rumah tangganya dengan Hapsah. Kemudian Afandi menawarkan sebuah pekerjaan pada Chairil untuk membuat poster. Ketika Chairil terus diminta untuk memberi satu kalimat pada sebuah poster, Chairil berpikir keras kemudian kata-kata: "Bung, ayo Bung" terlontar dari mulut Chairil. Bagi Afandi ini adalah sebuah kalimat yang luar biasa, kalimat yang bisa membakar api semangat perjuangan bangsa Indonesia kala itu.
Pentas ini kurang lebih berdurasi dua setengah jam. Menurut saya pentas ini diperankan dengan baik oleh artis-artisnya. Namun karena pentas ini berisi banyak monolog, saya dan beberapa penonton lainnya yang berada di samping saya merasa terkantuk. Beberapa adegan jenaka sempat terlontar sebagai penyegar. Pentas ini menujukan sisi lain kehidupan Sang Penyair.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H