Mohon tunggu...
Allan Maullana
Allan Maullana Mohon Tunggu... Teknisi -

Bukan siapa-siapa. Bukan apa-apa. Hanya remah-remah peradaban.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kue Cubit Cisangkuy

2 Juli 2017   07:47 Diperbarui: 2 Juli 2017   08:34 710
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak kami berkomitmen untuk menikah saya dan Meita Eryanti (Kekasih saya) sepakat untuk menuliskan semua hal tentang perjalanan hidup kami. Dikemas dalam bentuk tulisan yang akan menjadi kisah tersendiri bagi kami berdua dalam membangun sebuah keluarga kecil. Menulis bagi kami menjadi kegiatan menyenangkan, dengan menulis kami seakan mendapatkan sumber kebahagiaan yang baru. Tak peduli ada yang baca atau tidak dan tak peduli ada yang suka atau tidak.

Cerita ini sederhana saja, ketika kami berada di Kota Kembang. Jalan aspal yang hitam pekat mengantar kami ke arah sebuah gubuk lusung nan reot beratap terpal warna biru. Pohon-pohon yang rindang, udara yang sejuk semakin menambah semangat untuk melangkah dan mencari tahu ada apa dengan gubuk tersebut. Sambil berpegangan tangan langkah kaki semakin cepat. Di sekitar gubuk tersebut tercium aroma manis yang khas. Banyak orang-orang berdatangan, mengerumuni gubuk itu bagaikan semut yang sedang mengerumuni setoples gula.

Semakin penasaran kami melihat lebih dekat. Masih tertutup dari kerumunan orang-orang, terlihat bayangan samar wanita berbaju merah nyentrik dengan apron di tubuhnya. Sosok wanita dengan tinggi badan sekitar 160cm sedang sibuk melayai orang-orang yang mengerumuni gubuknya. Perapiannya menyala. Aroma manis semakin menguat. Kami coba menembus kerumanan orang banyak. Terlihat wanita itu dengan sigap melayanin para pembeli, dengan cekatan ia memasak kue-kue yang ia jajakan di pinggir jalan yang bernama cisangkuy. Hangatnya perapian turut menghangatkan suasana Bandung dipagi yang dingin.

Kami pun ikut memesan kue yang ia jajakan. Kemudian wanita penjual kue bertubuh mungil itu mulai memasak satu per satu pesanan para pembeli yang menantinya sedari tadi. Memesan satu porsi kue yang akan segera disajikan dalam waktu 10menit. Wanita penjual kue dengan sigap merespon pesanan para pembelinya. Wajahnya terfokus pada setiap loyang-loyang adonan yang tersedia. Sepatula pada tangan kanannya dengan lincah menari membolak-balikan kue yang sedang dimasak dalam loyang-loyang berbahan besi. Di keningnya terlihat kristal-kristal keringat menandakan ia sedang berusaha keras menyajikan dengan cepat pesanan para pembeli.

Tak lama kue pun tersajikan di hadapan kami. Kue berbentuk bulat dengan ukuran kurang lebih 6cm dicetak dalam loyang besi. Kue yang dibuat dengan menggunakan campuran susu dan tepung terigu sebagai bahan dasar utamanya. Kue ini biasa dijajakan oleh para pedagang kaki lima di pinggir jalan pada umumnya berwarna hijau. Kue Cubit, orang-orang menyebut namanya. Yang tersaji di hadapan kami terlihat sudah terjadi modifikasi pada tampilannya. Enam buah kue yang pada dasarnya berwarna hijau ini duduk dalam wadah kotak persegi panjang. Di atasnya ada taburan coklat ceres yang menyelimuti bagai butiran salju. Sebatang astor coklat yang di dalamnya berisi cokelat juga tak ketinggalan ikut menemani. Dan tak lupa juga parutan keju berwana kuning yang mengugah selera pada bagian atas menjadi pelengkap kue cubit ini.

Kemudian kamipun segera menyantapnya, tetapi tidak dengan cara biasa. Meita menyuapkan potongan kue untuk ku, dan aku menyodorkan minuman jus jeruk untuknya. Dengan penuh rasa yang mengugah selera kami menyantap potongan kue-kue tersebut. Tak terlewat juga dengan penuh hati-hati dan mesra kami saling menyuapi satu sama lain.

Sehabis menyantap kue kami duduk di kursi taman yang teduh dengan banyaknya pepohonan. Daun-daun hijau yang bergerak terhembus oleh angin sepoi-sepoi membuat daerah yang bernama Cisangkuy ini semakin nyaman untuk di singgahi. kami menyaksikan awan-awan bergerak ke dalam satu bentuk binatang kemudian ke bentuk binatang lainnya dan ia bersandar di bahuku. Kami berpegangan tangan, sama-sama merasakan kehangatan hati yang menyelmuti keseharian kami.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun