Di penghujung bulan ramadhan, kurang afdhol jika kita tidak membicarakan soal mudik. Eskalasi pemberitaan tentang mudik hampir menyebar di seluruh media massa maupun media elektronik. Biasanya, pemberitaan tentang mudik dijadikan liputan khusus dengan tagline berita “Arus Mudik”. Mudik selalu menarik dibicarakan, karena mudik sudah menjadi bagian dari budaya dan tradisi turun-temurun yang dilakukan setiap kali menjelang lebaran. Apakah mudik hanya relevan dibicarakan saat akan lebaran saja? Tentu tidak. Bagi setiap kita yang sedang merantau dan kemudian ingin pulang ke kampung, maka kita bisa menyebutnya sebagai mudik. Meskipun demikian, secara faktual, mudik sudah terlanjur identik dengan momentum lebaran. Jika kita membicarakan mudik di luar momentum lebaran, maka kemungkinan terliput oleh media hampir tidak ada. Beda halnya jika mudik itu kita bicarakan dan lakukan saat menjelang lebaran, maka disitulah mudik menemukan momentumnya untuk dijadikan liputan khusus, reportase, dan sejenisnya hingga kemudian pemberitaan tentang mudik menjadi trending topic. Ini wajar karena menjelang lebaran yang akan mudik jumlahnya banyak dengan daerah yang dituju berbeda-beda.
Mudik sederhananya dapat diartikan “pulang ke kampung halaman”. Sedangkan pemudik ialah orang yang pulang ke kampung halaman. Bagi para pemudik, salah satu nikmat di penghujung bulan ramadhan adalah dengan menunaikan mudik agar bisa berkumpul dengan sanak keluarga dan kerabat. Banyak cara yang dilakukan oleh pemudik untuk bisa pulang ke kampung halaman. Ada yang mudik dengan naik pesawat; naik kapal; kereta; bus; hingga mudik dengan menggunakan kendaraan pribadi baik roda dua maupun roda empat. Transportasi apapun dinaiki yang penting bisa pulang ke kampung halaman. Soal waktu, ada yang mudik H-7; H-6, H-5, dan seterusnya sampai H-1. Ada juga yang mudiknya justru setelah lebaran. Maka, urusan transportasi dan kapan waktu menunaikan mudik itu merupakan sebuah pilihan. Bahkan mudik atau tidak mudik itu juga merupakan sebuah pilihan.
Di atas semua itu, bagi saya mudik bukan hanya urusan “pulang ke kampung halaman”, bukan pula hanya urusan tradisi yang setiap kali dilakukan menjelang lebaran. Jika kita mau mengupas tuntas tentang mudik, maka sebenarnya mudik memiliki makna yang jauh lebih luas daripada itu semua. Ada makna filosofis dan sosiologis yang mengiringinya.
Tujuan Hidup
Secara filosofis, khususnya bagi orang jawa, mudik dianggap sebagai latihan untuk melaksanakan ajaran ilmu Sangkan Paraning Dumadi (Asal dan Tujuan Hidup). Ajaran ini berangkat dari dua pertanyaan yang mendasar yaitu sesungguhnya kita hidup ini berasal dari mana dan akan kemana setelah itu. Manusia dituntut untuk mengetahui dan paham darimana dia berasal. Manusia juga diberikan akal dan pikiran untuk memilih apa yang menjadi tujuan hidupnya, terutama di akhir hayat nanti. Jika dikorelasikan dengan ajaran agama, Tuhan melalui firman-Nya mengingatkan bahwa manusia itu sesungguhnya berasal dari tanah dan akan kembali ke tanah. Di bagian yang lain, Tuhan juga telah mengingatkan kita semua bahwa setiap yang bernyawa pasti akan mati : tidak peduli sehebat apapun dia didunia, sekuasa apapun dia dunia, semua akan mati. Kita diciptakan, kita juga dimusnahkan.
Dengan filosofi ini, mudik yang sederhananya tadi hanya dimaknai “pulang ke kampung halaman”, menjadi bertambah maknanya bahwa mudik bisa dijadikan sebagai sarana untuk menemukan jawaban dari pertanyaan “darimana kita berasal”. Dari sini kita bisa semakin mengetahui : sesungguhnya di alam raya yang sangat besar, kita ini siapa. Selanjutnya, kalau mudik sudah tertunaikan, maka ada pertanyaan “akan kemana kita selanjutnya”. Dari sini kita dapat menentukan apa yang sesungguhnya menjadi tujuan hidup dan kehidupan kita. Oleh karena itulah mudik sering digunakan sebagai contoh penerapan ajaran Sangkan Paraning Dumadi. Mudik membawa pesan agar kita sebagai manusia harus ingat asal dan harus menentukan tujuan hidup kita kelak.
Secara sosiologis, mudik bisa digunakan sebagai sarana untuk menjalin dan mengeratkan silaturahmi terutama di kampung halaman. Setelah tidak pulang dengan jangka waktu yang lama, maka mudik dapat dimanfaatkan untuk berkumpul dan bersenda gurau dengan keluarga, kerabat, dan tetangga di kampung. Dari forum-forum silaturahmi inilah bisa jadi berbagai permasalahan sosial dapat di atasi. Seperti misalnya, bagi pemudik yang sukses bisa membawa kerabat atau tetangganya yang masih pengangguran untuk diajak merantau mencari pekerjaan. Pemudik yang sukses bisa membantu kerabat atau tetangganya yang kurang mampu, dan lain sebagainya.
Bagi pemudik, mudik tidak boleh hanya sekedar dimaknai pulang ke kampung halaman. Memaknai mudik hanya pulang ke kampung adalah sebuah kesalahan memahami makna mudik itu sendiri. Jika mudik hanya dimaknai hanya pulang kampung saja, maka mudik tak ubahnya seperti rutinitas – prosedural belaka. Mudik dapat kita jadikan sebagai sarana belajar untuk memahami apa itu Sangkan Paraning Dumadi. Mudik juga dapat dimanfaatkan untuk menjalin dan mengeratkan silaturahmi. Selamat mudik bagi yang menunaikan. Bagi yang belum sempat menunaikan, jangan bersedih hati. Mudik tidak harus saat lebaran, melainkan bisa dilakukan kapan saja. Inilah menariknya hidup : selalu ada pilihan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H