MELIHAT judul tulisan ini yang ditangkap mungkin kegiatan jurnalistik yang bertumpu pada WA, begitu kebanyakan orang menyebutnya. Terus apakah memang ada aliran jurnalistik WA, kalau ada siapa pencetusnya dan bagaimana nilai - nilai yang terkandung dalam jurnalistik WA tersebut.
Sebenarnya saya tidak ingin memberikan label WhatsApp Journalism dalam dunia jurnalistik. Saya hanya merasa miris dan prihatin saja dengan kondisi praktik jurnalistik yang dilakukan para jurnalis belakangan ini.
Saya bahkan sering merasa canggung dan merasa aneh sendiri ketika dalam menjalankan wawancara saat peliputan memegang bulpen dan blocknote sendiri. Sementara yang lain, semua memegang ponsel atau handphone dengan kesibukan jari tangannya atau sekedar menyodorkan ponsel ke sepatu nara sumber untuk merekam hasil wawancaranya.
Diseberang lainnya, tidak sedikit yang sibuk sendiri dengan ponselnya tanpa bertemu nara sumber, karena berita sudah datang sendiri lewat email maupun WA di ponselnya. Dalam hitungan menit, berita sudah jadi dan tinggal dikirim ke redaksinya.
Teknologi yang serba canggih melalui aplikasi - aplikasi yang memanjakan jurnalis membuat semua pekerjaan jurnalistik menjadi sangat mudah. Apalagi belakangan banyak instansi atau perusahaan yang sudah memiliki humas atau PR yang pandai membuat rilis.
Ada juga jurnalis yang malas hanya menunggu kiriman karya jurnalistik dari rekan yang sudah jadi dan tinggal dirubah - rubah sedikit saja.Â
Jujur saya seperti tidak rela profesi jurnalis yang luluh lantak kehilangan marwahnya, kehilangan jatidirinya, dan terkesan terlacurkan. Dalam situasi seperti ini saya jadi teringat seorang tokoh pers, sekaligus akademisi yang menggawangi Ilmu Komunikasi Fisipol Universitas Gajah Mada Yogyakarta.Â
Dialah Ashadi Siregar yang dikenal dalam bukunya, Sang Penjaga Akal Sehat dari Kampus Biru. Bang Hadi begitu sapaan akrabnya sudah banyak melahirkan jurnalis handal di negeri ini. Sosok Ashadi yang sudah pensiun sebagai dosen di UGM pada 2010 ini dikenal kalangan luas sebagai penjaga akal sehat pers Indonesia.
Lalu dimana lembaga - lembaga yang mewadahi jurnalis, yang seharusnya juga ikut menjaga martabat dan harga diri pers umumnya, khususnya jurnalis. Apakah mereka tertidur selama ini, tentu tidak. Banyak pula action - action yang dilakukan lembaga lembaga tersebut yang juga membawa kebaikan dunia jurnalistik.
Teknologi memang tidak bisa dibendung, tapi kan bukan berarti tidak bisa dikendalikan. Kita semua tahulah bahwa teknologi seperti sebuah pisau yang bisa digunakan untuk kebaikan dan bisa juga untuk kejahatan. Tinggal bagaimana kita mengelolanya, bagaimana kita menyikapinya, bagaimana kita memanfaatkannya
Dalam berbagai forum baik itu pelatihan, workshop atau apapun namanya tentang jurnalistik, hampir semuanya memberikan arahan yang sama. Semua menyampaikan hal yang sama terkait prinsip kegiatan jurnalistik, seperti halnya yang disampaikan Bill Kovach dalam sembilan elemen jurnalisme, salah satunya jurnalis harus mengacu pada panggilan hati nuraninya sendiri.
Bagi wartawan yang sering ikut pelatihan - pelatihan mungkin juga sudah sangat akrab dengan rumus standar jurnalisme, yakni A+B+C=C. Apa itu?, Accuracy + Balance + Clarity = Credibility.
Atau yang pada akhir tahun 1990-an banyak yang memegang panduan buku Seandainya Saya Wartawan Tempo,perihal pentingnya elemen wawancara dalam berita menjadi satu hal yang mesti dijaga seorang wartawan.
Tapi kemudian kenapa semua itu seakan terlindas oleh yang namanya teknologi. Iyaa, memang saat ini masih ada jurnalis yang memegang teguh prinsip jurnalistik itu, tapi kebanyakan mengabaikan prinsip prinsip tersebut.
Jika menengok ke belakang, dari literasi yang saya miliki, aliran jurnalisme muncul awalnya dikenalkan oleh ilmuwan Amerika Serikat Joseph Pulitzer pada abad ke-19 yang mengenalkan Front Page Journalism. Aliran yang dalam koran tidak mengenal headline dan foto utama. Semua sama seperti papan pengumuman.
Kemudian abad ke-20 dikenal dengan istilah Precicion Journalism atau jurnalisme presisi. Aliran jurnalistik yang berlandaskan pada data yang marak dipakai pada tahun 1960-1980. Kemudian pada 1970-1990-an muncul Literacy Journalism atau jusnalisme sastrawi.
Aliran jurnalisme damai mengemuka pada tahun 90-an saat pecah perang di timur tengah. Kemudian pernah ada aliran Inside Journalism atau jurnalisme makna (jurnalisme perasaan).
Di kalangan jurnalis pada tahun 2000-an juga muncul istilah Blackberry Journalism. Kegiatan jurnalistik yang mengandalkan ponsel blackberry. Dan kini setelah blackberry, muncul WhatsApp Journalism.
BlackBerry Journalism dan WhatsApp Journalism sebenarnya hampir mirip, yakni aliran jurnalistik yang mengutamakan kecepatan dalam proses kerja jurnalistik, hanya saja WhatsApp Journalism lebih canggih dalam fasilitas transfer data baik dalam bentuk tulisan, foto maupun gambar bergerak atau video. Dan prinsip - prinsip jurnalistik sama - sama sudah pudar pada kedua aliran  jurnalistik tersebut.
Soal penamaan istilah, saya kira tidak ada yang melarang dan sah - sah saja untuk kemudian dimunculkan. Toh, juga itu telah menjadi potret nyata yang terjadi di hadapan kita. Jika harus mengikuti standar akal sehat Bang Hadi, tentu BlackBerry Journalism dan WhatsApp Journalism sangat jauh dari harapannya.
Yaa, sekarang ada WhatsApp Journalism. Entah akan muncul apalagi kedepannya jika suatu saat nanti WhatsApp sudah dianggap tidak sesuai lagi dengan kebutuhan masyarakat. Teknologi akan selalu berganti dan selalu akan datang yang baru, soal berapa lama sebuah teknologi akan bertahan, semua tergantung dari realitas sosial yang ada di masyarakat.Â
Jika marwah profesi jurnalis tidak dijaga, maka sudah pasti semakin kedepan akan semakin babak belur. Semoga saja itu tidak terjadi dan profesi jurnalis akan kembali harum seperti sediakala dulunya lagi.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI