Mohon tunggu...
Rouzel Soeb
Rouzel Soeb Mohon Tunggu... Novelis - Penulis novel

Karya-karya novel saya di antaranya adalah "14 Hari di Poernama", "Suamiku, Pembunuhku?", Prelude, She's the Fifteenth, Senja di Siwalaya, Djenar, dll. Instagram: @rouzelsoeb

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Status Janda: Mengapa Ini Sering Dilekatkan dengan Stereotipe Negatif?

13 Juni 2023   14:54 Diperbarui: 13 Juni 2023   15:10 573
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

"Janda 'gitu, loh!"

Kalimat ini sering saya dengar dari mulut beberapa orang pria dengan nada nakal, atau juga sesama perempuan dengan nada mencibir. Saya tidak mengerti mengapa kata "janda" harus seperti selalu dikaitkan dengan hal-hal yang bernada kurang pantas, padahal status ini jelas bukanlah hal yang diinginkan oleh semua perempuan di dunia.

Seorang janda adalah seorang perempuan yang telah kehilangan suaminya melalui kematian atau perceraian. Di banyak budaya, status janda sering kali dilekatkan dengan stigma atau stereotipe negatif yang dapat mempengaruhi hidup kaum janda secara sosial, emosional, dan ekonomi. Padahal, banyak wanita dengan status ini justru seringnya menjadi janda setelah mengalami hal-hal yang membuat mereka sangat sedih, marah, atau traumatis.

Stigma buruk terhadap para janda sering kali disulut oleh masyarakat sendiri. Pemahaman kuno tentang peran gender dan ekspektasi sosial, dapat mempengaruhi persepsi buruk terhadap seorang janda. Media massa, cerita rakyat, dan gosip-gosip tetangga juga dapat memperkuat prasangka terhadap seorang janda sebagai sosok yang lemah, berpotensi menjadi "beban" dalam masyarakat, atau bahkan berbahaya bagi kaum wanita lainnya karena sering dianggap "nakal".

Janda sering kali menghadapi kesulitan ekonomi karena kehilangan suami yang biasanya bertindak sebagai tokoh utama pencari nafkah keluarga. Ketidakberdayaan secara finansial mungkin merupakan salah satu faktor yang membuat orang kemudian cenderung menganggap kaum janda akan bersedia 'melakukan apa pun' untuk finansial mereka. Padahal, ini tidak selalu terjadi.

Stigma buruk masyarakat ini dapat membatasi peluang kerja dan menghambat kemajuan karier kaum janda. Stigma ini jugalah yang dapat menyebabkan adanya isolasi sosial dan perasaan kesepian bagi seorang janda. Mereka bisa merasa terasing dan kurang merasa mendapat dukungan emosional dari sesama perempuan lainnya. 

Ini jelas dapat menyebabkan tekanan mental dan emosional yang signifikan bagi seorang janda. Seiring waktu, mereka mungkin akan terbiasa merasa terhina, meragukan diri sendiri, atau mengalami depresi karena pandangan negatif yang ditujukan pada mereka. Padahal, ini tidak seharusnya terjadi.

Hal-hal di ataslah yang membuat saya merasa stigma aneh ini sangat penting untuk dibahas. Saya bukan janda, tapi saya lahir dari seorang ibu yang sempat menjadi janda selama beberapa saat dan ia adalah salah satu wanita paling terhormat dalam hidup saya. Begitu juga dengan mayoritas janda lainnya yang saya kenal di sekitar saya selama ini. Mereka bekerja luar biasa keras hanya demi membiayai anak-anak mereka dan melakukannya dengan cara-cara halal.

Jadi, apa yang membuat orang leluasa melecehkan status ini dan kemudian pendapat buruk tentang mereka malah dijustifikasi oleh banyak orang lainnya, sampai ke pihak sesama perempuan sendiri?

Stigma buruk tentang janda bisa membuat banyak perempuan cenderung takut untuk berjuang bagi diri mereka sendiri jika merasa tertindas dalam sebuah hubungan rumah tangga. Banyak dari perempuan tradisional dan bahkan yang sudah cukup modern, takut menjadi janda. Bahkan seorang janda sekalipun menjadi sangat takut untuk tetap bertahan dengan statusnya akibat hal ini. 

Siapa yang tidak? 

Pemahaman tentang realitas hidup seorang janda seharusnya bisa menggugah kesadaran tentang stigma buruk yang para janda hadapi di Indonesia selama ini. Penting bagi para janda untuk memiliki ruang aman untuk berbagi pengalaman mereka dan menyuarakan suara mereka sendiri. Ini dapat membantu mematahkan stigma dan membuka dialog yang lebih luas tentang peran dan tantangan yang dihadapi oleh seorang janda dalam hidup bermasyarakat.  

Masyarakat sendiri perlu mengembangkan empati dan memberikan dukungan nyata bagi kaum janda. Ini tentunya akan melibatkan proses mendengarkan mereka dengan penuh perhatian, menghargai pengalaman mereka, dan memberikan dukungan praktis seperti kesempatan kerja dan akses ke sumber daya yang relevan.

Stigma buruk terhadap seorang janda adalah masalah yang nyata dalam masyarakat kita, bukan mengada-ngada. Dalam upaya untuk mengatasi stigma ini, penting bagi kita untuk memahami asal mula stigma tersebut dan dampaknya terhadap kehidupan seorang janda. Melalui pendidikan, kesadaran, dan upaya nyata untuk memberikan dukungan dan empati, kelak mungkin kita akan dapat melawan stereotipe negatif tentang kaum janda dan membangun masyarakat yang lebih inklusif dan adil bagi mereka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun