Mohon tunggu...
Rouzel Soeb
Rouzel Soeb Mohon Tunggu... Novelis - Penulis novel

Karya-karya novel saya di antaranya adalah "14 Hari di Poernama", "Suamiku, Pembunuhku?", Prelude, She's the Fifteenth, Senja di Siwalaya, Djenar, dll. Instagram: @rouzelsoeb

Selanjutnya

Tutup

Parenting

Depresi Postpartum & Psikosis Postpartum, Kondisi Berbahaya Pasca Melahirkan yang Jarang Diketahui

12 Juni 2023   15:40 Diperbarui: 12 Juni 2023   16:03 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Parenting. Sumber ilustrasi: Freepik

Proses menjadi seorang ibu baru dapat menimbulkan berbagai perubahan emosional dan fisik, bahkan sampai ada banyak ibu yang mengalami depresi pasca melahirkan. Kebanyakan orang hanya mengenal hal seperti ini dengan sebutan sindrom baby blues. Padahal, ada yang lebih buruk dari sekadar sindrom ini, yaitu depresi postpartum dan psikosis postpartum.

Andrea Yates, seorang bekas perawat di Amerika, membunuh lima orang anaknya dengan cara yang sangat sadis pada 20 Juni 2001. Usia semua anaknya masih berada pada rentang enam bulan sampai tujuh tahun, saat Yates yang mengalami puncak dari depresi postpartumnya.

Sebenarnya, apa yang terjadi?

Yates dan suaminya sebenarnya berasal dari kalangan terpelajar yang memiliki pekerjaan bagus. Namun setelah mereka menikah, Yates harus meninggalkan pekerjaannya. Ia kemudian memiliki lima orang anak dalam tujuh tahun pernikahannya bersama sang suami. Hal ini pun jelas menimbukan suasana rusuh bagi Yates setiap harinya dan akhirnya membuatnya depresi.

Puncak dari segalanya terjadi setelah Yates melahirkan anaknya yang kelima. Karena kondisi mentalnya, secara mendadak ia menenggelamkan satu per satu anaknya sampai mati dan kemudian menelepon polisi dan suaminya sendiri di tempat kerja untuk mengaku.

Menurut Yates, ia merasa setan mengatakan kepadanya kalau ia adalah seorang ibu yang buruk dan bahwa ia harus membunuh semua anaknya untuk menghindarkan mereka semua dari neraka. Dengan membunuh mereka, Yates yakin kalau semua anaknya yang tidak berdosa akan segera diangkat Tuhan ke surga.

Tentu saja pada akhirnya ia menjalani hukuman dan dimasukkan ke rumah sakit jiwa. Saat itu, Yates didiagnosis menderita serangkaian penyakit mental yang diantaranya adalah depresi, schizophrenia, dan tentunya psikosis postpartum.

Perkara ini tidak saja banyak terjadi di negara luar, bahkan di Indonesia ini bukan lagi kasus langka. Banyak dari kaum Ibu yang dengan tega menyakiti atau sampai membunuh anak mereka sendiri, karena tidak mengerti apa yang sedang terjadi pada diri mereka dan kurang mendapat bantuan dari lingkungan sekitar yang juga awam tentang masalah-masalah mental pasca melahirkan.

Apa sih sebenarnya psikosis postpartum itu? Untuk mengupas ini, kita harus terlebih dahulu mencerna perbedaan sindrom baby blues dan depresi postpartum pada seorang ibu, pasca mereka melahirkan seorang bayi.

Baby blues adalah kondisi umum yang dialami oleh banyak ibu setelah melahirkan, sementara depresi postpartum adalah kondisi lebih serius yang membutuhkan perhatian medis intensif. Baby blues dialami oleh sekitar 80% ibu setelah melahirkan. Gejalanya meliputi perasaan sedih, mudah marah, kelelahan, dan fluktuasi emosi lainnya. Biasanya ini berlangsung hanya beberapa minggu dan akan mereda dengan sendirinya.

Sementara depresi postpartum adalah kondisi yang lebih serius dan berkepanjangan. Gejala depresi postpartum meliputi perasaan sedih yang persisten, perasaan putus asa atau tidak berharga, kehilangan minat dalam aktivitas sehari-hari, kelelahan ekstrem, perubahan nafsu makan, gangguan tidur, perasaan bersalah yang berlebihan, dan bahkan pikiran tentang melukai diri sendiri atau bayi. 

Depresi postpartum mempengaruhi kualitas hidup ibu baru dan hubungan dengan bayinya, atau juga hubungannya dengan suaminya sendiri. Ini saja sudah menjurus bahaya. Namun dalam kondisi lebih parah dari ini, ada yang disebut dengan psikosis postpartum. Satu di antara seribu ibu yang melahirkan di dunia mengalami penyakit mental serius ini dan tak jarang, ini bisa berakibat hal fatal bagi anak Anda karena di titik ini penderita mulai mengalami delusi atau halusinasi.

Biasanya, penderita awalnya akan merasa sangat lelah, kebingungan, dan mengalami perubahan mood yang sangat drastis. Selanjutnya, penderita bisa berubah menjadi agresif dan kasar, mudah curiga atau paranoid, mudah gelisah dan emosional, menarik diri dari lingkungannya sendiri, sampai kemudian tidak segan-segan untuk melukai diri ataupun anak mereka sendiri.

Apa penyebab psikosis postpartum?

Biasanya ini sebenarnya genetik. Namun tidak menutup kemungkinan orang-orang yang mengalami perubahan hormon, pola tidur yang buruk, masalah pernikahan, dan beban baru yang berat sebagai seorang ibu, bisa membuat orang lalu mudah menyalahkan dirinya sendiri atas sesuatu dan kemudian menjadi depresi berat.

Bagi seorang suami, tidak seharusnya jika Anda melihat pasangan Anda mengalami ini, Anda memberikan kepercayaan penuh padanya dalam hal pengawasan bayi. Sudah seharusnya siapa pun yang ada di sekitar orang seperti ini untuk berani membicarakan masalah mereka baik-baik dan langsung meminta bantuan dari kaum profesional.

Depresi postpartum dan psikosis postpartum adalah kondisi serius yang membutuhkan intervensi medis dan dukungan yang tepat. Beberapa langkah yang dapat diambil untuk melindungi ibu yang mengalami depresi postpartum meliputi:

1. Pemantauan kesehatan mental: Menyadari dan memantau tanda-tanda depresi postpartum adalah penting. Pemantauan rutin oleh tenaga medis selama masa nifas dapat membantu mendeteksi dan mengobati kondisi ini secara dini.

2. Dukungan sosial: Membangun jaringan dukungan yang kuat termasuk dari keluarga, teman, atau kelompok. Banyak berbicara dengan para ibu baru lainnya atau sekadar menelepon teman-teman Anda di saat Anda merasa sesak, dapat membantu Anda untuk lebih rileks.

3. Penuhi kebutuhan diri sendiri: Minta bantuan keluarga terdekat atau jasa asisten untuk menangani anak Anda di waktu-waktu tertentu, lalu beristirahatlah. Usahakan untuk tetap melakukan apa yang Anda senangi dan buat diri Anda sendiri tetap terus merasa bahagia.

4. Jujurlah pada pasangan Anda tentang perasaan Anda dan temuilah seorang psikolog untuk berbicara lebih detail mengenai masalah Anda. 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun