Pencernaan sebagai sebuah proses sejatinya akan menghasilkan energi dan zat sisa. Terkait tren tertentu, pencernaan berarti menjadi penentu apakah tren tersebut akan dijadikan referensi dan preferensi baru atau berakhir dan terlewat begitu saja. Proses pencernaan membutuhkan asupan dan kesadaran indrawi, apakah hal tersebut menarik untuk dikonsumsi; baik secara visual, audio, ataupun dicerap sedemikian rupa oleh alat-alat reseptor di tubuh kita -- termasuk emosi, pikiran, dan perasaan.
Terkait era post-truth yang sudah digadang-gadang dengan cukup masif belakangan ini -- meskipun masih penuh perdebatan, setidaknya dapat kita sepakati ada pergeseran cara dan metode kita dalam mencerna sesuatu. Merebaknya sumber dan diskursus yang tidak bergantung pada otoritas menyebabkan tren menyebar dengan cepat tergantung pada segmentasi dan kecenderungan suatu kelompok terhadap tren tertentu.
Peran media sebagai medium utama perpindahan informasi menjadi faktor utama fenomena post-truth ini. Penyebaran informasi pun tidak lagi sepenuhnya bergantung pada otoritas dan instansi tertentu. Sekarang, siapa saja dapat memantik wacana dan diskusi melalui berbagai platform media sosial. Keramaian yang tercipta di media sosial inilah yang kemudian akan dikutip oleh media-media mainstream dan menyebarkannya kepada audiens umum.
Terlepas dari metode penyebaran dan penggunaan kaidah-kaidah jurnalistik -- yang kerap dilakukan secara banal oleh media mainstream dalam menyoroti sebuah fenomena, kecenderungan meliput hal-hal viral menjadikan pergeseran dan pergantian tren terjadi secara dinamis (baca:sporadis).
Eksperimen-eksperimen menciptakan tren baru itu sendiri sudah kita lakukan sejak dulu sekali, namun pada masa itu tren dibaca lewat apa yang sudah mapan terlebih dahulu dan membutuhkan waktu yang lama untuk menggantinya. Media pun kerap menyoroti tren-tren yang mereka yakini sudah dan akan mapan di era tersebut.
Sekarang, sudah tidak ada lagi batasan yang jelas antara definisi sebuah karya terhadap kategori tertentu. Dulu kita mengenal istilah kitsch sebagai penanda status sosial sebuah karya; karena kita menilai karya dari seberapa banyak orang dari 'kelompok tertentu' yang menikmati karya tersebut. Secara singkat kita pun menyebut karya kitsch sebagai karya berselera rendah yang untuk menikmatinya tidak dibutuhkan proses interpretasi dan apresiasi yang njlimet dan berbelit.
Makna kitsch pelan-pelan bergeser menjadi sesuatu yang viral, terlepas dari komposisi dan makna karya itu sendiri. Sebuah karya yang memiliki makna dan komposisi yang tinggi namun populer akan diliput oleh media sedemikian rupa sebagaimana media pada era sebelumnya menyoroti suatu karya kitsch. Sedangkan karya yang memenuhi syarat untuk dikatakan kitsch jika tidak menarik perhatian maka tidak akan menjadi santapan media alih-alih masyarakat luas.
Pergeseran ini tentu memberikan ruang lebih bagi siapa saja untuk bereksperimen dan menciptakan tren, tapi apakah sehat jika apa-apa yang kita konsumsi dan cerna hanya berdasarkan apa yang viral? Sedangkan hal-hal kontroversial dan provokatif pun dapat dengan mudah menjadi viral....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H