Sesungguhnya kita semua berhutang maaf pada Sengkuni
Sengkuni selalu kita kaitkan dengan ritus yang namanya kebohongan dan tipu muslihat. Tiap kita mendapati fenomena kerusuhan, kebohongan atau intrik politik tak ayal kita kaitkan dengan sosok Sengkuni. Tokoh wayang Mahabarata yang dikenal licik dan penuh tipu daya untuk mendapatkan seluruh keinginan dan ambisinya.
Selama ini kita terlalu sering mengutuk kebohongan, sampai lupa kalau kita sedang diam-diam merayakannya. Kerusuhan dan kealpaan nilai-nilai kemanusiaan menghiasi pemberitaan media Indonesia sehari-hari, dan diam-diam kita sedang merayakannya. Ikut memaki, memprovokasi dan menipu layaknya Sengkuni yang selalu kita caci maki.
Sengkuni selalu merasa bangga jika berhasil memperdaya, memperalat dan mengadu domba pihak-pihak yang ingin dipecah-belahnya. Upayanya pun beragam, mulai dari berbohong, berkhianat sampai memanipulasi fakta demi ambisi dan kepentingannya. Suka tidak suka, itulah yang sering kita lakukan terhadap satu sama lain belakangan ini.
Berita kekerasan bahkan terorisme selalu kita tanggapi dengan bermodalkan banalitas, cocoklogi dan pengabaian fakta dan nilai-nilai kemanusiaan dibalik tragedi tersebut. Korban nyawa hanya jadi angka, kerugian materi dan immateri hanya jadi data, dan trauma korban serta keluarga hanya menjadi alat pendulang simpati dan suara.
Tingkat hipokrisi atau kemunafikan warga Indonesia yang bahkan mungkin sudah yang melebihi tingkat kejahatan dan kelicikan Sengkuni sendiri. Dari kebiasaan para politisi mendompleng isu-isu kemanusiaan demi menyampaikan sikap dan kepentingan politik partisannya, sungguh bertentangan dengan keberagaman.
Kita juga seringkali acuh tak acuh terhadap kelompok-kelompok minoritas yang tersingkirkan keadilannya. Contohnya, warga Ahmadiyah, Syiah hingga Papua yang seringkali mendapat diskriminasi, penindasan, atau paling tidak pengabaian, sangat jauh dari kesetaraan. Kedua hal ini jelas-jelas lebih parah daripada perbuatan Sengkuni, karena setidaknya Sengkuni lebih jujur dan terbuka akan ambisi dan kejahatannya.
Tak usah-lah kita tiru Sengkuni dengan begitu semangat dan antusias, beliau kiranya rela menjadi peran antagonis dalam kisah pewayangan bukan untuk ditiru, tapi untuk dijadikan bahan pembelajaran
Saya tak bisa berkata banyak, karena jujur saya sendiri pun sering meng-Sengkuni-kan diri saya tiap berinteraksi dengan orang lain baik di dunia nyata ataupun maya. Tapi satu pesan yang dapat saya berikan, kalau Sengkuni saja punya batasan dan kehormatan, kenapa kita enggak??
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H