Mohon tunggu...
Syahrir Alkindi
Syahrir Alkindi Mohon Tunggu... Konsultan - Mencari

Penulis dan konsultan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Arus Balik Politik Golongan Subalterna

5 Maret 2019   18:12 Diperbarui: 5 Maret 2019   19:07 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesemenanjaan politik praktis dan seluruh kontestasinya memang sering membuat muak, namun belakangan ini ada suatu fenomena menarik terkait perputaran arus kuasa dan corong atensi keberpihakan politik. Sebelumnya, elit-lah yang berlomba-lomba memperlihatkan pengaruh dan representasi mereka pada ruang publik.

Kini, tiap kekuatan politik berlomba-lomba untuk terlihat lebih generik dan dekat dengan Grass-root, bahkan menyamakan dan memasukkan diri mereka sebagai identitas yang sama; Wong Cilik. Padahal kita sama-sama lumrah dan tahu, mereka memiliki privilese yang lebih, aset dan modal sosial yang mumpuni, dan kemampuan finansial yang mendukung.

Kemiskinan dan kemelaratan telah bergeser dari status sosial menjadi sebuah simbol dan identitas masyarakat. Kemiskinan tidak lagi dipandang sebagai kelas semata, ada nilai tersendiri yang terkandung di dalamnya. Nilai inilah yang hendak disasar oleh para elit politik, berlomba-lomba menunjukkan kedekatan kepada rakyat miskin, bahwa mereka adalah bagian dari mereka, bahwa mereka adalah sahabat yang dapat dipercaya.

Imbasnya, kritik dan argumentasi seputar kelayakan seorang pemimpin menyempit diskursusnya. Spektrum yang dinilai menyempit dan mengerucut, berkutat seputar hal kemiskinan, kemelaratan, dan penderitaan rakyat kecil. Hal-hal tersebut memanglah penting untuk dibahas terus-menerus, namun apakah cukup sampai disitu?

Spektrum pemimpin dalam membuat kebijakan secara holistik memiliki beberapa dimensi utama: strategi diplomasi (baik dalam atau luar), kebijakan pangan, kesehatan, pendidikan, kebudayaan, administrasi publik, HANKAM, sektor industri, dan masih banyak lagi.

Variabel sebanyak itu tidak bisa dibungkus dalam satu kacamata dan tolak ukur; kemiskinan. Kemiskinan memang merupakan salah satu imbas sistem dan kebijakan yang tidak sepenuhnya berhasil, namun bukan melulu menjadi hal final yang harus terus-menerus dibicarakan dengan banal.

Atas nama keberpihakan, para calon pemimpin 'mau tak mau' mengikuti tren politik sekarang, yaitu menyapa rakyat, berkumpul bersama, bercanda tawa, memberikan janji-janji yang diakhiri sorak-sorai, dan berakhir dengan wefie berjamaah.

Baikkah hal tersebut? Jelas baik. Tapi jika dilakukan sebagai kampanye utama (bahkan satu-satunya) sektor-sektor lain akan luput dari perhatian publik dan akan sulit untuk di-kritisi dan dibedah secara argumentatif. Merebut atensi publik merumakan rumusan utama politik, tapi aspek dan variabelnya haruslah lengkap dan tidak melulu menyoroti hal yang paling seksi; kemiskinan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun