Mohon tunggu...
Syahrir Alkindi
Syahrir Alkindi Mohon Tunggu... Konsultan - Mencari

Penulis dan konsultan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Agama adalah Panglima

2 Februari 2019   15:21 Diperbarui: 2 Februari 2019   17:15 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Republik ini begitu menggandrungi kata panglima, sejak jaman Soekarno kata-kata Politik adalah panglima menyeruak di masyarakat sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959 diberlakukan. Era demokrasi terpimpin mengandaikan politik harus masuk dalam berbagai aspek, termasuk perkara sosial, seni, dan kebudayaan.

Berlanjut ke Orde Baru, ekonomi dan pembangunan dijadikan sebagai panglima. Tiap kebijakan, pergolakan, dan pergerakan pemerintah selalu didasari motif ekonomi dan pembangunan pada sampul depannya.  

Nah, bergeser ke era Reformasi, agama mendapat panggung lebih ketimbang masa-masa sebelumnya. Kebangkitan kaum agamis ini ditandai meningkatnya nilai tawar dan persona agama dalam menentukan berbagai kebijakan dan sebagai tolak ukur sebuah fenomena.

Tiap kebijakan publik, dari yang strategis sampai populis tak bisa lepas dari pembahasan dari segi agama. Dalam kasus Indonesia, Islam sebagai agama yang dipeluk mayoritas kerap dijadikan alat bedah sebuah kebijakan.

Baru-baru ini, Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual kembali disoroti dari segi keagamaan, tanpa melihat secara komprehensif argumentasi hukum dan korelasinya dengan dinamika sosial di masyarakat.

Ada beberapa pihak yang berasumsi jika RUU ini tembus, akan ada demoralisasi dan degradasi dari segi ajaran islam (apakah ini mewakili pandangan seluruh umat islam, masih jadi pertanyaan yang sangat besar hingga kini)

Mulai dari anggapan bahwa RUU ini melegalkan aborsi, seks bebas, hingga mendukung LGBT, sampai anggapan bahwa RUU ini dapat menyebabkan berkurangnya nilai agama dalam masyarakat.

Ada beberapa hal penting yang hilang disini, pertama: RUU ini jika disahkan akan memberikan paying hukum yang jelas kepada penyintas kekerasan seksual. Anak-anak, orang dewasa, laki-laki, perempuan, siapa saja bisa mengalami kekerasan seksual. RUU ini jika disahkan dapat menjadi patokan dan landasan hukum yang jelas dalam menghadapi tindak kekerasan seksual.

Kedua: untuk perkara seks bebas, dalam UU kita sekalipun tidak ada peraturan yang jelas soal ini, selain pasal perzinahan bagi orang yang sudah menikah. Lagipula, RUU ini bertujuan memberikan perlindungan bagi korban pemerkosaan, kok disamakan dengan perilaku seks bebas?

Ketiga: untuk perkara aborsi, sudah ada UU tersendiri yang mengatur, yaitu UU Kesehatan no. 23 tahun 1992 yang secara jelas mengatur batasan umur dan kondisi apa saja yang diperbolehkan untuk melakukan aborsi; korban pemerkosaan termasuk di dalamnya

Disinformasi dan framing seperti ini harus segera kita luruskan. Jangan sampai terobosan seperti ini layu sebelum berkembang. Banyak korban yang membutuhkan keadilan, dan banyak pula pelaku yang perlu diberi efek jera atas perbuatannya

Lantas, kenapa membawa alasan agama (dalam konteks ini, Islam) untuk menilai sesuatu hal yang sejatinya bertujuan mendatangkan keadilan bagi sesama? Bukankah katanya Islam itu Rahmatan lil' Alamin?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun