Republik ini begitu menggandrungi kata panglima, sejak jaman Soekarno kata-kata Politik adalah panglima menyeruak di masyarakat sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959 diberlakukan. Era demokrasi terpimpin mengandaikan politik harus masuk dalam berbagai aspek, termasuk perkara sosial, seni, dan kebudayaan.
Berlanjut ke Orde Baru, ekonomi dan pembangunan dijadikan sebagai panglima. Tiap kebijakan, pergolakan, dan pergerakan pemerintah selalu didasari motif ekonomi dan pembangunan pada sampul depannya. Â
Nah, bergeser ke era Reformasi, agama mendapat panggung lebih ketimbang masa-masa sebelumnya. Kebangkitan kaum agamis ini ditandai meningkatnya nilai tawar dan persona agama dalam menentukan berbagai kebijakan dan sebagai tolak ukur sebuah fenomena.
Tiap kebijakan publik, dari yang strategis sampai populis tak bisa lepas dari pembahasan dari segi agama. Dalam kasus Indonesia, Islam sebagai agama yang dipeluk mayoritas kerap dijadikan alat bedah sebuah kebijakan.
Baru-baru ini, Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual kembali disoroti dari segi keagamaan, tanpa melihat secara komprehensif argumentasi hukum dan korelasinya dengan dinamika sosial di masyarakat.
Ada beberapa pihak yang berasumsi jika RUU ini tembus, akan ada demoralisasi dan degradasi dari segi ajaran islam (apakah ini mewakili pandangan seluruh umat islam, masih jadi pertanyaan yang sangat besar hingga kini)
Mulai dari anggapan bahwa RUU ini melegalkan aborsi, seks bebas, hingga mendukung LGBT, sampai anggapan bahwa RUU ini dapat menyebabkan berkurangnya nilai agama dalam masyarakat.
Ada beberapa hal penting yang hilang disini, pertama: RUU ini jika disahkan akan memberikan paying hukum yang jelas kepada penyintas kekerasan seksual. Anak-anak, orang dewasa, laki-laki, perempuan, siapa saja bisa mengalami kekerasan seksual. RUU ini jika disahkan dapat menjadi patokan dan landasan hukum yang jelas dalam menghadapi tindak kekerasan seksual.
Kedua: untuk perkara seks bebas, dalam UU kita sekalipun tidak ada peraturan yang jelas soal ini, selain pasal perzinahan bagi orang yang sudah menikah. Lagipula, RUU ini bertujuan memberikan perlindungan bagi korban pemerkosaan, kok disamakan dengan perilaku seks bebas?
Ketiga: untuk perkara aborsi, sudah ada UU tersendiri yang mengatur, yaitu UU Kesehatan no. 23 tahun 1992 yang secara jelas mengatur batasan umur dan kondisi apa saja yang diperbolehkan untuk melakukan aborsi; korban pemerkosaan termasuk di dalamnya
Disinformasi dan framing seperti ini harus segera kita luruskan. Jangan sampai terobosan seperti ini layu sebelum berkembang. Banyak korban yang membutuhkan keadilan, dan banyak pula pelaku yang perlu diberi efek jera atas perbuatannya
Lantas, kenapa membawa alasan agama (dalam konteks ini, Islam) untuk menilai sesuatu hal yang sejatinya bertujuan mendatangkan keadilan bagi sesama? Bukankah katanya Islam itu Rahmatan lil' Alamin?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H