Perkotaan dan kehidupan urban selalu menyisakan ruang kesenjangan dan ketidakadilan ekonomis. Kaum proletar pun lahir dari kondisi-kondisi semacam ini. Ruang-ruang kerja semakin sempit melalui spesialisasi dan monopoli. Meningkatnya daya saing yang diikuti dengan eksklusifitas akses pendidikan semakin mengerdilkan peluang kerja. Di tengah keputusasaan tersebut, muncullah berbagai macam profesi 'tabu' seperti prostitusi.
Bisnis esek-esek memang tiada habisnya, hotel, tempat hiburan dan berbagai destinasi vakansi lainnya banyak yang menjadikan prostitusi sebagai salah satu sumber pendapatan utama. Munculnya prostitusi berawal dari prekariasi masyarakat kelas tertentu yang terpinggirkan situasi ekonomi dan sosialnya.
Fenomena Red Light District seolah menjadi hal lumrah di kota-kota megapolitan. Bahkan, dari kalangan masyarakat atas sampai bawah dapat menikmati layanan prostitusi sesuai dengan kelasnya. Perdebatan soal prostitusi terdapat pada sekitar layak atau tidaknya profesi tersebut dilakoni dalam tatanan sosial.
Namun, belakangan ini prostitusi di kalangan elit yang menginginkan jasa dari 'kalangan elit' pula semakin mencuat ke permukaan. Banderol harga yang fantastis dan sosok-sosok terkenal yang terlibat di dalamnya menjadi ciri utama prostitusi 'kelas atas'.
Moral, Hukum, dan Religi menjadi kontraposisi utama bagi prostitusi. Profesi ini dianggap bertentangan dengan ketiga nilai tersebut. Namun, layakkah kita memberikan penghakiman atas pilihan seseorang yang sudah cukup umur dan yakin atas konsekuensi perbuatannya?
Distraksi muncul pada diri kita saat si penyedia jasa prostitusi tidaklah yang seperti kita bayangkan selama ini; gadis desa yang ditipu untuk bekerja di kota besar dan terperangkap jerat prostitusi karena ditipu dan diperdaya oleh mucikari-mucikari tak bertanggung jawab.
Rasa iba dan simpati kita masih bisa muncul pada kasus prostitusi semacam itu, namun jika yang terjadi adalah si penyedia jasa adalah orang terkenal, punya pekerjaan dengan penghasilan tetap, dan kerap tampil di ruang publik, kompas moral kita pun berontak dan dengan sangat mudah dan antusiasnya kita menghakimi si penyedia jasa beramai-ramai.
Toh, pilihan mereka dalam melakukan prostitusi mungkin didasari keinginan untuk 'naik kelas' secara ekonomi, mendapat pengakuan dari pergaulannya, atau memang yang bersangkutan suka bertindak demikian.
Dari segi hukum jelas mereka bersalah, dan layak diadili secara hukum. Namun, 'pengadilan' sosial baik di dunia nyata ataupun maya tampaknya jauh lebih berat untuk dijalani. Seumur hidupnya, mereka akan dicap sebagai sebuah komoditas yang dapat diperjual-belikan, bahwa otoritas mereka atas tubuh dapat diukur oleh uang.
Tulisan ini bukanlah pledoi pembelaan untuk para pelacur, bukan. Tulisan sederhana ini hanya ingin mengajak kita untuk sejenak berjarak dan memahami realita dari sudut lain. Pertama, bukankah para pelaku juga layak mendapat pengucilan dan olok-olok yang sama? Toh pasar prostitusi tetap bertahan karena selera konsumen terus bertahan dan bertambah dari masa ke masa! Kita malah asyik mempermasalahkan soal ketubuhan dan moral di penyedia jasa tanpa sedikit pun mencibir si pelaku, kenapa?
Karena relasi kuasa bermain disini, stigma victim blaming seharusnya sebentar lagi dinobatkan menjadi salah satu kearifan lokal di Indonesia. Kalau ingin menuntaskan prostitusi, pastikan dulu peminat dan pasarnya ditiadakan dahulu, baru kita boleh merasa bijaksana dan menghakimi si penyedia jasa.