Mohon tunggu...
Rizki RamdaniHarahap
Rizki RamdaniHarahap Mohon Tunggu... Guru - Tholibul 'ilmi, Mahasiswa

Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sumatera Utara Jurusan Pendidikan Agama Islam

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Jadilah Guru PAI yang Ikhlas

10 Agustus 2020   11:06 Diperbarui: 11 Agustus 2020   00:07 405
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Guru secara sederhana memiliki makna yaitu orang yang memiliki ilmu pengetahuan lalu mengajarkanya kepada anak didiknya. Semua guru ingin anak didiknya menjadi orang yang baik, berhasil, sukses, dan bermanfaat bagi agamanya, negaranya dan bangsanya. Tidak ada satupun pekerjaan atau profesi yang lebih mulia daripada perkerjaan sebagai guru ataupun pendidik. Tak terkecuali guru PAI atau yang biasa kita sebut dengan guru agama. 

Karena semakin tinggi dan bermanfaat ilmu pengetahuan yang diajarkan maka semakin tinggi dan mulia pula orang yang mengajarkannya. Menurut saya tugas guru PAI lebih berat dari guru umum atau guru mapel non agama. Selain memberikan ilmu pengetahuan, guru PAI mempunyai tugas menanamkan pemahaman tentang Islam secara komprehensif atau menyeluruh kepada anak didiknya agar mereka mengetahui dan memahami nilai-nilai Islam sekaligus mempunyai kesadaran yang dalam untuk mengamalkanya. 

Guru PAI juga bertugas menanamkan akhlaqul karimah kepada para peserta didiknya agar mereka dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan pendidikan akhlak ini dapat mengantarkan mereka menjadi insan yang semakin mengerti akan kedudukan dan tugasnya sebagai hamba dan khalifah di bumi. Dan yang terakhir guru PAI bertugas mengembangkan potensi anak didiknya agar memiliki pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, agamanya, masyarakat, bangsa, dan negara.

Pada dasarnya menjadi guru tidaklah mudah, selain harus membekali diri dengan ilmu pengetahuan dan wawasan yang luas untuk dapat ditularkan ke anak didiknya. Seorang guru harus memiliki integritas, keteladanan, bersikap amanah, tanggung jawab dan senantiasa bersabar. Seorang guru PAI harus memiliki sifat Ikhlas dalam artian memiliki niat dan hati yang tulus serta ikhlas hanya karena Allah Ta’ala semata. 

Ikhlas secara sederhana bermakna menyaring sesuatu sampai tidak bisa bercampur dengan yang lainnya. Sedangkan dalam Syari’at Islam, ikhlas yaitu suci dan bersihnya niat, bersihnya hati dari kesyirikan dan sifat Riya’. Sehingga dengan Ikhlas, seseorang melakukan sesuatu semata-mata hanya menginginkan dan mendapatkan Ridha-Nya Allah baik dalam hal kepercayaan, perkataan dan perbuatan (Abu Farits, Tazkiyatunnafs, 2006).

Imam an-Nawawi mengungkapkan bahwa Ikhlas yaitu  membersihkan pancaindranya dengan lahir dan bathin dari segala sifat yang tercela. (Nawawi As-Syafi’i, Bahjatul Wasaail Bisyarhil Masaail). Imam al-Junaid, seorang ulama Tasawwuf dikutip oleh Al-Ghazali dalam “Mutiara Ihya ‘Ulumuddin” mengatakan bahwa Ikhlas adalah membersihkan perbuatan sari kotoran. 

Adapun menurut al-Imam Asy-Syahid, Ikhlas adalah sebuah sikap dan perilaku kejiwaan seorang muslim yang selalu berprinsip dan beranggapan bahwa semua amal dan jihadnya karena Allah Ta’ala. 

Dapat disimpulkan bahwa Ikhlas adalah melakukan suatu perbuatan dengan niat yang benar tanpa ada pendorong untuk meraih duniawi, mengharapkan pujian dari manusia dan sebagainya sehingga semata-mata hanya mengharapkan keridhaan Allah Ta’ala dan untuk bertaqarrub kepada Allah. Keikhlasan yang demikian tidak akan tercipta melainkan dari orang yang benar-benar memiliki rasa cinta kepada Allah.

Pada hakikatnya, ikhlas itu merupakan urusan hati, walaupun urusan hati, ikhlas bisa dilihat pula dari perilaku atau perbuatan seseorang. Namun sifat ikhlas akan terasa sulit dinilai jika ikhlas itu hanya pada lampiasan dari bibir atau mulut saja, "Saya ikhlas jadi guru. Percayalah tujuan saya ikhlas hanya ingin mengajar dan mendidik murid-murid." 

Benarkah rasa ikhlas bisa ditakar dan diukur lewat kata-kata saja? Ikhlas itu merupakan amalan hati, tidak perlu disebut atau diungkapkan dengan kata-kata. Bisa jadi saat seseorang mengatakan dirinya ikhlas, akan tetapi malah menunjukkan tanda ketidak ikhlasan akan dirinya. Karena keikhlasan tersimpan di lubuk hati yang terdalam. Maka dari itu hanya Allah Subhaanahu Wata’aala saja yang pasti mengetahui ikhlas atau tidaknya seseorang dalam beramal (QS at-Taghabun: 4).

Diantara buah hasil keikhlasan sebagaimana yang disebutkan oleh ‘Audah al-‘Awasyiah dalam Keajaiban Ikhlas yaitu:

  • Mendapat kedudukan tinggi di akhirat
  • Dihindarkan dari kesulitan-kesulitan duniawi dan diselamtkan dari kesesatan di dunia
  • Ketentraman hati dan kebahagiaan
  • Orang yang Ikhlas akan diberi taufiq oleh Allah sehingga memiliki kesempatan berteman dan bersahabat dengan orang-orang yang ikhlas juga
  • Orang yang ikhlas diterima baik di muka bumi dan dicintai penduduk langit.
  • Akan ditolong oleh Allah sehingga sanggup memikul segala kesulitan hidup di dunia.
  • Doanya makbul dan mendapat husnul khatimah.

Siapa guru yang ikhlas itu? Ali bin Abi Thalib RA berkata, "Orang yang ikhlas adalah orang yang memfokuskan pikirannya agar setiap amalnya diterima Allah Ta’ala." Bahkan, ada  seorang ulama mukhlisin yang bernama Ayyub As-Sakhtiyaany Radhiyallaahu ‘anhu, berkata:

 "Demi Allah, tidaklah seorang hamba itu yang benar-benar ikhlas kepada Allah, kecuali dia merasa senang apabila dirinya seolah-olah tidak mengetahui kedudukan dirinya." Guru yang ikhlas harus memahami dan menyadari bahwa segala amal perbuatannya mestilah bersih dari sikap riya, oleh karena itu segala amal perbauatannya hanya diniatkan untuk mendapatkan ridha Allah SWT semata.

 Mu’allim saya pernah menjelaskan bagaimana cara mendapatkan ilmu ikhlas. Beliau tersenyum kemudian berkata, “Ilmu ikhlas itu tidak bisa di dapat hanya dengan membaca buku, mendengarkan ceramah, membantu orang-orang, tapi ikhlas itu didapat ketika kamu berguru dengan guru yang sudah memiliki keikhlasan di dalam hati dan jiwanya”. Saya termenung mendengar ungkapan beliau, lama saya memikirkanya. Akhirnya saya mengerti bahwa hanya belajar dengan guru yang ikhlaslah maka sifat ikhlas itu muncul.

Ikhlas itu diidentikkan dengan perasaan sepenuh hati untuk melakukan sesuatu tanpa mengharapkan apapun. Walaupun demikian, bagi sebuah profesi terutama disini adalah profesi guru, tentu ikhlas yang saya maksud disini bukan berarti kita harus merelakan segala hal, dalam artian guru tidak mengambil upah atau gajinya ketika mengajar di suatu lembaga pendidikan. 

Karena dalam sebuah profesi tentulah ada yang namanya hak dan kewajiban, hak diberikan sedangkan kewajiban harus dijalankan dengan sungguh-sungguh dan setulus hati. Oleh karena itu inilah yang dapat dikatakan ikhlas.

Mengenai hak, disebutkan dalam al-Quran bahwa seseorang yang mensyiarkan, mendakwahkan dan menyebarkan agama Islam termasuk ke dalam golongan fi sabilillah dan memiliki hak mendapatkan bagian dari zakat walaupun ia memiliki kekayaan. Ketika seorang guru menerima atau mendapatkan upah, sungguh dia tidak menghilangkan keikhlasanya, karena ikhlas tidak ada hubungannya dengan menerima atau menolak upah. 

Demikian juga apabila seorang guru meminta upah atau gaji setelah memberikan pelajaran, sejauh guru tersebut menuntut upah itu karena tau bahwa Allah dan Rasulnya memerintah dan menyuruhnya untuk menuntut haknya, maka dia masih terglong orang yang ikhlas. Justru menjadi tidak ikhlas ketika seseorang guru tersebut menolaknya, sementara dia sangat membutuhkannya. Terlebih lagi jika penolakan tersebut beralasan karena tidak ingin disebut sebagai orang yang tidak ikhlas. (Nurdin, Kiat Menjadi Guru Profesional, 2008)

Saya ambil contoh misalnya ada seseorang yang memiliki hafalan 30 juz yang mutqin, memahami pembelajaran bahasa Arab beserta kaidah-kaidahnya sehingga menjadikannya mahir dalam membaca kitab-kitab turats. Dia memiliki mimpi menjadi guru yang memiliki ekonomi yang cukup sehingga kelak ia akan mampu membuka program-program pelatihan al-Quran dan Bahasa Arab secara gratis kepada masyarakat sekitarnya. Dia ingin mengubah pola pikir mereka bahwa belajar al-Quran dan Bahasa Arab itu wajib bagaimanapun keadaanya dan tidak susah selagi masih mempunyai keinginan yang kuat dan istiqomah dalam menuntut ilmu.  

Apa maknanya dari contoh diatas? Saya berharap kepada semua guru-guru khususnya guru-guru PAI termasuk juga calon guru PAI, boleh mengajar di berbagai sekolah, berbagai lembaga pendidikan, kemudian mengambil upah atau gaji dari mengajar tersebut karena itu haknya sebagai seseorang yang memiliki profesi guru. Karena seorang guru juga butuh uang untuk menjalankan kehidupan ini, kalau kata orang-orang hari ini gak butuh uang? Ke WC umum aja bayar.

Jadi tidak masalah jika seorang guru atau pendidik mengambil upah dari hasil keringat menagajar. Tapi jangan niatkan mengajar itu untuk mendapatkan gaji yang banyak, mendapatkan sertifikasi, atau menjadi guru PNS, Ini yang salah!!!!. Tapi niatkan ikhlas karena Allah sehingga apa yang diajarkan dapat bermanfaat bagi anak didik. 

Kemudian Jika suatu hari nanti seorang guru sudah banyak mengajar di berbagai lembaga pendidikan dan memiliki ekonomi yang mencukupi, luangkan dan sisihkan waktu untuk mengajar secara gratis atau tanpa bayaran bisa itu di masjid atau di rumah meskipun hanya sekali dalam seminggu. 

Walaupun gratis bukanlah identik dengan sikap ikhlas setidaknya dengan gratis tersebut dapat menyelamatkan generasi-generasi bangsa ini dari kebodohan dan telah membantu mereka yang tidak bisa merasakan duduk dan belajar di lembaga pendidikan formal yaitu sekolah atau madrasah. 

Ada seorang guru PAI tapi mahir dalam hal MM, ataupun Bahasa Inggris, atau minimal mengajar baca tulis al-Qur’an, buka tempat-tempat belajar seperti majlis ta’lim, ataupun lembaga nonformal lainnya, ajarkan keahlian tersebut kepada anak didik dengan ikhlas tanpa bayaran. 

Disinilah posisi ikhlas yang saya maksud, sehingga bisa menjadi amal jariyyah bagi guru tersebut, karena jika anak didik paham akan apa yang diajarkan, mereka akan mengajarkanya ke orang lain secara terus menerus dan pahala mereka mengajarpun akan juga mengalir kepadanya. Dan satu hal yang paling besar yaitu Secara tidak langsung guru tersebut telah menanamkan sifat ikhlas kepada mereka.

Dari artikel ini dapat disimpulkan bahwa menjadi seorang guru khususnya guru PAI harus memiliki sifat dasar yaitu Ikhlas. Sehingga segala pembelajaran dan pengajaran yang ia berikan semata-mata ingin meraih Ridho-Nya Allah Subhaanahu Wata’ala. Semoga artikel ini bermanfaat dan menyadarkan kita akan pentingnya sifat Ikhlas. Dan saya berharap kepada para guru khususnya guru PAI agar selalu menjaga keikhlasan dalam dirinya. Lebih kurangnya saya mohon maaf. Wallahu A’lamu Bi Showaab. Wassalamu ‘Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. :)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun