Entah kasihan atau merasa puas, aku mengamati efek yang dirasakan oleh beberapa teman akibat adanya perubahan di Yogya. Malam itu, sepulang dari cafe usai membaca buku, aku menyempatkan diri untuk mampir ke kos-kosan seorang teman. Teman-teman satu jurusanku biasa berkumpul di kosan tersebut, seolah-olah tempat itu sudah menjadi basecamp anak-anak seangkatan.Â
Seperti biasanya, kami menikmati momen berkumpul dan mengobrol bersama. Salah satu teman terlihat sedang kesal dan tidak bergairah untuk diajak bicara. Aku mencoba bertanya adakah sesuatu yang membuatnya kesal? Berapa kalipun ditanya, alasannya pun tak kunjung dijawab. Karena penasaran, aku terus mencari tahu alasanya dengan mengobservasi.
Dilihat dari barang bawaan si teman, ia membawa plastik dengan isi beberapa minuman, di antaranya; sebotol Sprite, 2 gelas torpedo, dan 3 botol yakult. Jenis-jenis minuman ini kiranya memberitahuku penyebab dari kekesalannya. Minuman-minuman ini adalah bahan-bahan yang biasanya dipakai oleh para peminum alkohol sebagai campuran, agar rasa minuman keras lebih bervariatif.
Kekesalan si teman ternyata karena ia tidak bisa membeli minuman keras di beberapa toko langganannya. Hal itu disebabkan oleh ditutupnya toko-toko minuman keras yang biasanya menjual minuman dengan harga murah. Tidak hanya toko miras, bahkan cafe-cafe yang menjual miras sebagai side menu diblokade karena tidak adanya perizinan. Nampaknya, kemampuan menjual miras dengan murah itu berasal dari tidak adanya kebutuhan untuk membayar TMP (Tarif retribusi izin tempat penjualan minuman beralkohol).
Yah... aku tidak memungkiri bahwa aku berteman dengan seorang pemabuk, bahkan beberapa. Sehingga tahu banyak.
Faktanya demo yang dilakukan oleh para santri pada 29 Oktober silam telah mendorong gebrakan besar. Aparat mulai "memburu" toko-toko miras ilegal yang biasanya mensuplai minuman beralkohol dengan harga murah. Belasan toko miras seperti Outlet hingga cafe yang terindikasi menjual alkohol dipasang garis polisi (Tempo: Pasca Ricuh Prawirotaman Yogya, Belasan Outlet hingga Kafe Penjual Miras Ditutup | 01/11/2024).
Pemerintah mulai bergerak guna memenuhi tuntutan dari berbagai elemen yang terlibat dalam "Aksi Solidaritas Santri". Peredaran miras ilegal di Yogya yang belum pernah mendapatkan perhatian penuh sebelumnya, kini difokuskan untuk diusut secara tuntas. Akankah ini membawa perubahan besar pada dinamika kultural di Yogya?
Fenomena "Darurat Miras" menggema bahkan sampai pada tingkat nasional. Merespon hal tersebut, Sultan Hamengku Buwono X mengeluarkan intruksi agar pemimpin daerah di berbagai wilayah Yogya untuk mengawasi peredaran miras secara ketat. Menurut Sosiolog UGM, Sunyoto Usman, peredaran miras berasal dari tradisi nongkrong yang memudahkan akses terhadap peredaran miras di Yogya. Ditambah lagi dengan kondisi era kekinian, sangat mudah bagi para pembisnis untuk mendapatkan akses distribusi miras. kemudahan tersebut kemudian juga dirasakan bagi para pembelinya (CNN: "Sosiolog soal Jogja Darurat Miras: Tak Lepas dari Kemudahan Beli Minol 1/11/2024).
Bisnis miras begitu mudahnya ditemui bahkan sudah lama menjamur di kota pelajar ini. Namun kini, kemudahan akses membeli miras tidak lagi bisa didapatkan oleh para pecandu miras karena penguatan struktural yang sedang digenjot oleh berbagai pihak. Efeknya juga dirasakan oleh temanku yang sangat kesal karena tidak bisa menjalankan rutinitas mabuknya.
Secara pribadi, aku berharap gebrakan ini akan menciptakan perubahan kultural di kota tercinta ini. Kasus miras bukanlah hal baru dan tetap menjamur walaupun diusut berkali-kali. Jelaslah bahwa hilangnya akses kemudahan terhadap miras merupakan bentuk perubahan kultural. Anak muda, yang dulunya bisa menikmati miras dengan harga murah, kini mulai cengap-cengap. Semoga gebrakan ini  perlahan akan membawa perubahan pada tingkat kenakalan remaja dan kriminalitas di Yogya.
Perubahan akses miras ini menarik kiranya untuk dibahas. Akses miras diperketat karena tekanan dari pemerintah tentunya. Namun, tekanan pemerintah yang datang baru-baru ini tidaklah timbul begitu saja. Bahkan kupikir ini bukanlah jasa pemerintah sepenuhnya. Ada banyak aspek yang menyebabkan gebrakan ini terjadi seperti; Struktur, Budaya, dan Agensi. NamunÂ
Morphogenesis (Margaret S Archer)
Margaret S Archer, seorang sosiolog asal Britania Raya, mengungkapkan bahwa tidak ada struktur yang merubah dirinya sendiri, atau budaya yang merubah dirinya sendiri (Archer, Social Morphogenesis, 2013; Hlm 30). Artinya, perubahan tidak akan bisa dipahami jika hanya dilihat dari satu sisi. Archer merupakan sosiolog dengan paradigma Critical Realism yang mengkritik analisis Anthony Giddens yaitu Strukturasi.
Morphogenesis merupakan meta-teori yang dikemukakan oleh Archer dalam menganalisis perubahan. Berbeda dengan Strukturasi yang hanya melihat dari struktur-agen, Morphogenesis melibatkan struktur-agen serta culture-agen secara bersamaan. Perubahan tercipta karena Agen berinteraksi dengan pemerintah sekaligus dengan budaya yang sudah tertanam.
Baiknya kita menelusuri penjelasan Morphogenesis secara perlahan. Ada tiga pola utama yang mempengaruhi perubahan; Condition -- Interaction -- Elaboration (Archer 2013; Hlm 7).
Dalam mengamati sebuah perubahan, perlu kiranya memahami formasi yang terdapat pada tatanan sosial. Kehidupan sosial terdiri dari dua struktur besar yakni Subjective Makro (Budaya) dan Objective Makro (Struktur Sosial/pemerintah). Budaya dan struktur sosial berkontribusi bagi tindakan yang dilakukan oleh Agensi (Kumbara 2023; Hlm 202).
Archer membedakan antara struktur budaya dan struktur pemerintah. Baginya, Individu tidak sepenuhnya kreatif (bertindak tanpa adanya pengaruh) seperti apa yang dikemukakan oleh Giddens. Tindakan individu akan dipengaruhi oleh kekuatan external, entah itu budaya atau struktur masyarakat. Simpelnya, individu bisa saja termotivasi oleh budaya dan struktur untuk melakukan sesuatu dan mendorong adanya perubahan (Archer, 2013; Hlm 26).
Kita semua tahu bahwa gebrakan "Darurat Miras" merupakan follow up dari tindakan sebelumnya, atau ramainya tuntutan miras pada demonstrasi. Demonstrasi adalah tindakan, dan yang terlibat adalah agensi. Â Tekanan yang muncul dari pemerintah bisa disebut sebagai impuls dari tindakan yang dilakukan agensi.
Demontstrasi tidak hanya didorong oleh kasus penusukan sebelumnya, terdapat pengaruh nilai dari agama. Demonstrasi ini tidak murni karena subjektivitas agen-agen demonstran yang terlibat. Agama Islam berperan penting dalam melarang peredaran miras, sehingga individu-individu sangat sensitif terhadap miras karena diharamkan. Apalagi jika memperhatikan betapa intensifnya interaksi kaum santri dengan nilai agama yang merepresentsikan kebudayaan kaum muslim (Cultural-interaction). Sedangkan demonstrasi itu sendiri menjadi mediator komunikasi antara masyarakat dengan pemerintah. Aparat bereaksi dengan tuntutan dan membuat sebuah gebrakan memberantas peredaran miras. Pola yang satu ini dikategorikan sebagai structural interaction.Â
Cultural-interaction dan structural-interaction memicu "Elaborasi" berupa diburunya toko-toko miras. Sulit untuk membayangkan bahwa Elaborasi ini hanyalah inisiasi dari salah pihak. Jika hanya pemerintah atau agama semata, keduanya akan menghadapi berbagai friksi. Oleh karena itu keberhasilan pemberantasan miras bergantung dari bagaimana struktur-culture-agen bekerja.
Memang benar bahwa perubahan harus dimulai dari tindakan agen sosial. Akan tetapi, tindakan agen tidak murni karena subjektivitas individual. Agen lebih banyak dan lebih dahulu berinteraksi dengan budaya, nilai, dan pandangan yang sebelumnya sudah dibangun. Demonstrasi peredaran miras sangat cepat terorganisir dan juga cepat dalam mendapatkan tindak lanjut karena nilai agama yang jauh sebelumnya sudah tertanam. Tindakan tidak akan massif apabila hanya didasari subjektivitas individual.
Saat ini, Pemabuk mulai sulit mendapatkan miras murah. Harapannya, ke depan akan merubah budaya di Yogya secara keseluruhan. Namun, tidak setiap pola Elaborasi menciptakan perubahan yang permanen. Elaborasi yang tidak dirawat hanya akan berakhir dengan kembalinya kondisi awal. Kegalalan dalam membangun perubahan disebut oleh Archer sebagai Morphotasis.
Morphotasis terjadi apabila Elaborasi yang didorong oleh alur sebelumnya gagal melakukan restrukturasi secara radikal. Dalam kasus peredaran miras, akhir-akhir ini aku juga memperhatikan para pemabuk nyatanya tetap mendapatkan akses miras melalui delivery-order secara diam-diam. Gebrakan mestinya dirawat secara permanen jika masalah kronis tentang peredaran miras ilegal benar-benar ingin dibersihkan dari tanah Yogyakarta.
Referensi :
Archer, Margaret S., ed. 2013. Social Morphogenesis. Dordrecht: Springer Netherlands.
CNN. n.d. "Sosiolog soal Jogja Darurat Miras: Tak Lepas dari Kemudahan Beli Minol." nasional. Retrieved November 10, 2024 (https://www.cnnindonesia.com/nasional/20241031191223-20-1161743/sosiolog-soal-jogja-darurat-miras-tak-lepas-dari-kemudahan-beli-minol).
Kumbara, A. A. Ngurah Anom. 2023. Paradigma & Teori-Teori Studi Budaya. Penerbit BRIN.
Tempo. 2024. "Pasca Ricuh Prawirotaman Yogya, Belasan Outlet hingga Kafe Penjual Miras Ditutup | tempo.co." Tempo. Retrieved November 10, 2024 (https://www.tempo.co/hiburan/pasca-ricuh-prawirotaman-yogya-belasan-outlet-hingga-kafe-penjual-miras-ditutup-1162337).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H