Mohon tunggu...
Al-Kalam
Al-Kalam Mohon Tunggu... -

Seperti Bintang, Menawan dari genangan air, atau Layaknya Asap, semakin tinggi semakin tiada keberadaannya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Belajar Meredam Amarah dari Mentari

12 April 2016   21:21 Diperbarui: 12 April 2016   21:33 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Alkisah, suatu ketika Mentari bertemu dengan Angin di pagi menjelang siang di suatu hari. Dengan ramahnya Mentari menyapa Angin. Lama mereka bercakap, akhirnya terjadilah suatu perdebatan hangat,

“Mentari, kulihat engkau selalu tersenyum setiap hari seperti tak ada yang menjadi beban dalam hidupmu.” Ujar Angin

“Oh ya?”

“Apakah kau bisa marah?”

“Aku tidak tahu.”

“Aku punya satu tantangan untuk kita bedua.”

“Apakah itu?”

“Kau lihat kakek tua dengan jaket tebalnya di kaki gunung tersebut?”

“Ya, aku melihatnya. Dia sedang berjalan seperti hendak menuju suatu tempat.”

“Aku menantangmu, siapa diantara kita yang mampu melepas jaket tebal itu dari tubuh kakek tersebut, bagaimana?”

“Dengan senang hati. Silakan engkau mencobanya terlebih dahulu.”

“Baiklah.”

Mentari pun bersembunyi di balik awan dan Angin mulai berhembus sekuat tenaga agar jaket sang kakek terlepas dari tubuhnya. Apa yang terjadi? Semakin kuat Angin behembus, semakin kuat pula kakek tersebut merekatkan jaket tersebut. Angin pun mulai marah dan terus berhembus melebihi kapasitas kemampuannya, semakin kuat dan semakin kuat. Sang kakek pun berlari bersembunyi di balik sebuah dinding yang kokoh sambil mengencangkan jaket, ia berpikir untuk bersembunyi karena angin terlalu kuat menerpanya. Hembusan Angin perlahan-lahan mereda, sampai ia berhenti karena lelah berhembus. Seketika Mentari muncul dari balik awan dan tersenyum kepada kakek tersebut. Sang kakek pun keluar dan melepas jaketnya.

Banyak hal yang dilalui dalam kehidupan ini dan tidak semua sesuai dengan harapan. Ada dari mereka memilih untuk cepat dan menggunakan cara instan, ada pula yang melalui kajian lebih dalam untuk menemukan cara dan seolusi. Dari banyaknya ketidaksesuaian tersebut, maka banyak pula karakter orang-orang muncul ke permukaan dalam menyelesaikan masalah, salah satunya adalah amarah.

Singkatnya kita belajar ketika Angin pun mulai marah dan terus berhembus melebihi kapasitas kemampuannya, semakin kuat dan semakin kuat. Sang kakek pun berlari bersembunyi di balik sebuah dinding yang kokoh sambil mengencangkan jaket, ia berpikir untuk bersembunyi karena angin terlalu kuat menerpanya.

Amarah membuat sesuatu yang dekat menjadi jauh, seperti sang kakek yang berlari bersembunyi karena kuatnya angin yang menerpa. Sebaliknya, ketika Mentari tersenyum, sang kakek keluar dan melepas jaketnya.

“Jangan Marah, Jangan Marah, Jangan Marah!” demikian sabda Rasululloh terulang kepada salah seorang sahabat yang datang kepadanya dan meminta wasiat

 

Semoga bermanfaat

 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun