Mohon tunggu...
A. Al Kairana Mazaya. A
A. Al Kairana Mazaya. A Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa di Universitas Negeri Surabaya

Saya suka menghabiskan waktu luang saya dengan membaca buku, mendengarkan lagu, memasak dan menonton film thriller.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tergelembung dalam Purnama

14 Desember 2022   10:55 Diperbarui: 14 Desember 2022   11:09 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tiga insan meninggalkan puri tepat saat jam puri berdenting, tidak memperdulikan aturan puri yang melarang mereka keluar ketika tengah malam tiba. Mereka berlari tergesa-gesa menuju tebing Selatan seakan tidak ada hari esok.

Kabut malam menyelimuti hingar laut yang saling bersambutan, nampak Putri Radeya dan Pangeran Neshfal berdiri saling bertatapan satu sama lain membawa amarah yang bergejolak di dalam dada dengan tangan kanan memegang pedang yang siap mengantarkan salah satu dari mereka ke hadapan Tuhan. Suara hiliran ombak laut yang berdentang dari Utara ke Selatan membuat suasana semakin mencekam, tidak ada yang berani mengganggu mereka bahkan jangkrik yang siap mengeluarkan suaranyapun mengurungkan niatnya.

“Kutukan ini harus berakhir di dirimu sebagaimana kau membawanya ke kehidupan kita.” Ucap Neshfal memulai pembicaraan, pandangannya tak lepas dari kedua bola mata Putri Radeya.

Radeya menggeleng keras dan mencoba meraih tangan Neshfal, “Aku tidak pernah meminta kutukan itu, Neshfal. Tolong percayalah padaku.” Pinta Radeya bersamaan dengan air matanya yang mulai mengalir.

“Aku tidak pernah menginginkannya, Neshfal! Tidak pernah!” Lanjut Radeya dengan suara bergetar mencoba meyakinkan Neshfal.

Neshfal tidak menggubris ucapan Radeya, kemudian menepis sang Putri dengan kedua tangannya hingga terjatuh. Tangan kanan Neshfal mulai mengayunkan pedak miliknya ke arah Radeya dan suara teriakan yang begitu menyayat hati terdengar begitu kerasnya tepat setelah pedang emas bermata biru menyentuh kulit sang Putri di bawah bulan purnama.

Dalam sepersekian detik suasana menjadi hening, bau anyir darah mulai menusuk permukaan hidung. Cukup lama Neshfal berdiam diri hingga satu tarikan nafas dan ia bangkit kembali, kedua tangannya menarik tubuh Radeya ke ujung tebing lalu membuangnya. Pangeran dapat melihat di bawah sana tubuh yang tidak lengkap itu bergelinding dan menabrak bebatuan yang tak ada hentinya menusuk kulit.

“Semoga Tuhan mengampunimu.” Gumam Neshfal sembari memegang surai hitam yang tak lagi bersuara di bawah bulan yang berhasil menembus kabut menyinari terangnya di malam yang elok.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun