Di tengah gurun tandus yang terbakar terik, tanah mengerang,
Manusia menggali perut bumi, mencari emas dan bara api.
Apakah yang tersisa ketika pohon-pohon berbisik lirih,
Dan angin membawa bisikan leluhur yang dulu damai?
Di sebuah kafe yang sederhana, empat mahasiswa duduk melingkar. Asap kopi mengepul, menari dalam cahaya lampu yang redup. Amin, Chandra, Ardi, dan Jack terlibat dalam diskusi hangat yang dimulai dengan percakapan ringan tetapi segera berubah menjadi diskusi yang lebih dalam.
Amin: "Kalian dengar tentang tambang baru yang dikelola ormas besar itu? Katanya mereka dapat izin langsung dari presiden."
Chandra: "Ya, aku dengar. Ironis sekali, bukan? Pemerintah seolah menutup mata terhadap dampak ekologisnya. Seolah-olah, dalam mencari kesejahteraan, kita lupa pada amanat UUD 1945 yang menekankan kesejahteraan umum dan keadilan sosial."
Ardi: "Ini semua tentang ketamakan. Tambang bukan hanya sekedar lubang di tanah; itu adalah jurang ketidakadilan. Alam kita dieksploitasi, sementara penduduk lokal merasakan dampaknya paling parah."
Jack: "Aku setuju, Ardi. Ketamakan manusia memang tak berbatas. Dalam nama pembangunan, kita sering melupakan etika lingkungan. Filsafat menyebutnya sebagai 'Antroposentrisme', dimana manusia menempatkan dirinya sebagai pusat alam semesta."
Amin: "Sungguh tragis. Kita lupa bahwa alam adalah bagian dari identitas kita, seperti tertuang dalam nilai-nilai pancasila dan dalam ruh UUD 1945. Kita adalah penjaga, bukan perusak."
Di dalam hati, bisik alam semakin nyaring,
Ia berkata tentang keseimbangan yang terlupakan.
Mengapa manusia harus menghancurkan
Apa yang seharusnya dijaga dengan cinta dan rasa syukur?
Chandra: "Menurutku, kita perlu mengembangkan kesadaran ekologis. Ilmu pengetahuan telah mengungkapkan dampak dari eksploitasi yang tidak bertanggung jawab ini. Namun, jika hanya mengandalkan pemerintah, aku pesimis."
Ardi: "Satirnya, di negeri yang katanya berlandaskan hukum, aturan bisa ditekuk demi kepentingan segelintir pihak. Presiden, dengan mudahnya memberikan izin, seolah masa depan bangsa ini tidak penting."
Jack: "Ya, padahal pertambangan telah terbukti membawa banyak masalah: polusi, deforestasi, dan ketidakadilan sosial. Namun, seolah para pemimpin kita buta terhadap kenyataan itu."
Amin: "Ini adalah paradoks besar. Mereka berbicara tentang pertumbuhan ekonomi, tapi mengabaikan kemerosotan lingkungan yang akhirnya akan merugikan kita semua."
Tanah air yang kaya akan sumber daya, mengapa engkau menangis?
Karena di balik setiap penggalian, ada kisah sedih yang terpendam,
Dari manusia yang kehilangan tanah, air, dan udaranya,
Hingga warisan untuk generasi mendatang yang direnggut.
Chandra: "Kita harus belajar dari sejarah. Lihat bagaimana bangsa ini dulu memperjuangkan kemerdekaan dan bagaimana alam menjadi bagian penting dalam perjuangan itu. Kini, seolah-olah kita kembali terjajah, bukan oleh bangsa asing, tapi oleh kerakusan kita sendiri."
Ardi: "Betul, Chandra. Para pendahulu kita berjuang untuk kebebasan dan keadilan. Mereka tak hanya memikirkan kesejahteraan saat ini, tetapi juga untuk anak cucu kita."
Jack: "Ada kalanya aku berpikir, jika saja kita lebih menghargai kebijaksanaan lama, seperti yang diajarkan dalam filsafat Timur, mungkin kita bisa menemukan cara hidup yang lebih selaras dengan alam."
Amin: "Filsafat sering dianggap sebagai ilmu yang jauh dari kenyataan, padahal ia menawarkan cara pandang yang kritis terhadap kehidupan dan bisa menjadi panduan dalam menghadapi masalah modern ini."
Alam berbisik dalam bahasa yang lembut,
Mengajak manusia untuk mendengarkan,
Meminta kita untuk tidak hanya mengambil,
Tetapi memberi dan menjaga harmoni.
Chandra: "Memang, perubahan besar tidak akan terjadi dalam semalam. Namun, sebagai mahasiswa, kita punya suara. Kita bisa memulai dengan mengedukasi diri sendiri dan orang lain, serta mendorong perubahan dari bawah."
Ardi: "Kita harus berani bertanya: apakah yang kita lakukan sekarang akan memberikan masa depan yang lebih baik? Atau hanya akan menjadi warisan kehancuran?"
Jack: "Dan kita harus menuntut transparansi dan akuntabilitas dari pemerintah. Dalam demokrasi, mereka adalah pelayan rakyat, bukan sebaliknya."
Amin: "Betul, Jack. Mari kita jadi generasi yang berani mengambil sikap, berdiri untuk apa yang benar, bukan untuk apa yang mudah."
Malam itu, di bawah langit yang dipenuhi bintang,
Empat sahabat berikrar untuk berjuang demi masa depan.
Mereka tahu bahwa perjalanan ini panjang,
Tetapi dengan keyakinan dan cinta, mereka percaya perubahan bisa terwujud.
Seiring berlalunya waktu, tanah yang berbisik ini akan bersaksi,
Bahwa suatu hari nanti, manusia dan alam akan hidup dalam harmoni.
Karena ketika manusia mendengarkan alam,
Itulah saat di mana kita benar-benar menemukan diri kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H