Kebijakan terbaru pemerintahan Presiden Joe Biden yang menghentikan Asyelum(suaka politik) di perbatasan dan mengharuskan para migran untuk secara proaktif mengungkapkan ketakutan mereka terhadap deportasi adalah langkah yang tidak manusiawi dan berpotensi berbahaya. Kebijakan ini, yang disebut oleh para pendukung imigrasi sebagai "tes teriakan," menempatkan beban yang tidak adil pada para migran yang sudah rentan dan sering kali tidak memahami prosedur yang rumit ini.
 Penilaian yang Tidak Realistis
Sebelumnya, sejak 1997, agen Patroli Perbatasan secara aktif menanyakan kepada para migran apakah mereka takut dideportasi. Praktik ini memberikan kesempatan bagi para migran untuk mengungkapkan ketakutan mereka dan mendapatkan perlindungan yang mereka butuhkan. Namun, kebijakan baru ini mengharuskan para migran untuk mengungkapkan ketakutan mereka tanpa ditanya. Hal ini menimbulkan kekhawatiran serius karena banyak migran yang mungkin tidak mengetahui bahwa mereka harus mengungkapkan ketakutan mereka, atau mereka mungkin terlalu takut atau bingung untuk melakukannya.
 Ujian Ketakutan: Konsep yang Tidak Manusiawi
Mengandalkan para migran untuk "berteriak" ketakutan mereka, baik secara verbal atau nonverbal, adalah konsep yang tidak manusiawi. Ini mengabaikan kenyataan bahwa banyak migran mungkin terlalu trauma atau tidak paham dengan bahasa dan budaya untuk bisa mengungkapkan ketakutan mereka secara efektif. Contoh kasus Araceli Martinez dan Christian Gutierrez menunjukkan betapa mudahnya ketakutan mereka bisa diabaikan oleh sistem yang tidak bertanya tetapi mengharapkan pengungkapan proaktif.
 Standar yang Tidak Konsisten
Menteri Keamanan Dalam Negeri Alejandro Mayorkas menyatakan bahwa ada pedoman yang kuat untuk mengidentifikasi tanda-tanda ketakutan. Namun, kenyataannya di lapangan menunjukkan sebaliknya. Migran seperti Araceli Martinez dan Christian Gutierrez telah berbicara tentang ketakutan mereka, tetapi masih dideportasi tanpa diperiksa dengan benar. Ini menunjukkan adanya inkonsistensi dan ketidakjelasan dalam penerapan kebijakan ini.
 Dampak Terhadap Anak-Anak dan Keluarga
Kebijakan ini juga mengabaikan dampak terhadap anak-anak dan keluarga yang sudah menderita. Anak-anak seperti putra dari wanita Guatemala yang kelaparan dan tidak bisa bermain di fasilitas penahanan adalah korban langsung dari kebijakan yang tidak memperhitungkan kebutuhan dasar manusia. Ketidakmampuan ibu tersebut untuk memahami video instruksional juga menyoroti kurangnya akses informasi yang jelas dan efektif bagi para migran.
 Waktu yang Tidak Memadai untuk Persiapan Hukum
Waktu empat jam yang diberikan kepada para migran untuk menghubungi pengacara adalah jauh dari cukup. Kebijakan ini tidak memperhitungkan kenyataan bahwa banyak penyedia layanan hukum mungkin tidak dapat merespons dalam waktu sesingkat itu, terutama selama akhir pekan. Ini menempatkan para migran dalam posisi yang sangat tidak menguntungkan, di mana mereka harus menghadapi proses hukum yang kompleks tanpa dukungan yang memadai.
 Kesimpulan: Perlu Kebijakan yang Lebih Manusiawi
Pemerintah harus menyadari bahwa kebijakan ini tidak hanya tidak manusiawi tetapi juga tidak efektif. Penurunan penangkapan di perbatasan tidak boleh dianggap sebagai indikasi keberhasilan jika itu berarti ribuan orang dipaksa kembali ke kondisi berbahaya tanpa kesempatan yang adil untuk mencari perlindungan. Kebijakan ini harus segera ditinjau dan direvisi untuk memastikan bahwa setiap orang yang mencari suaka di Amerika Serikat diperlakukan dengan martabat dan kemanusiaan yang layak mereka dapatkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H